Ini Peran Penegak Hukum Terhadap Barang Sitaan dan Rampasan Negara
Berita

Ini Peran Penegak Hukum Terhadap Barang Sitaan dan Rampasan Negara

Ada beberapa peran penting bagi penegak hukum selaku penanggung jawab yuridis baru yang diatur dalam Rancangan Peraturan Presiden versi Ditjen Pemasyarakatan.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Pemerintah sedang menyusun aturan terkait pengelolaan benda sitaan (basan) dan barang rampasan negara (baran). Aturan itu akan nantinya berupa Peraturan Presiden Tentang Optimalisasi Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara Pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara.

Terkait hal ini, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM masih terus melakukan pembahasan dan telah menjaring masukan dari sejumlah ahli, LSM, maupun pakar hukum. Berdasarkan berkas Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) versi Ditjen Pas yang diterima hukumonline, terdapat sejumlah hal baru yang diatur terkait dengan pengelolaan basan dan baran pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan).

Salah satunya adalah munculnya beberapa peran baru penanggung jawab yuridis sebagai pihak yang berperan cukup penting dalam pengelolaan basan dan baran. Pasal 1 angka 5 Rancangan Perpres tersebut mendefinisikan penanggung jawab yuridis sebagai “Pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis atas basan sesuai dengan tingkat pemeriksaan”.

Berdasarkan penelusuran hukumonline, sejumlah aturan yang sudah ada terkait dengan Rupbasan tidak mengatur secara spesifik dalam hal peran aparat penegak hukum berdasarkan tingkat pemeriksaannya, mulai dari penyidikan, penuntutan, hingga persidangan.

Misalnya, baik dalam PP Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang telah diubah dua kali dengan PP Nomor 58 Tahun 2010 dan PP Nomor 92 Tahun 2015 hanya beberapa pasal yang mengatur, salah satunya penggunaan basan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.

Namun, peran penanggung jawab yuridis bukanlah peran penting satu-satunya terkait dengan Rupbasan. Peran Kepala Rupbasan selaku penanggung jawab fisik dan penanggung jawab administrasi tetap penting dalam hal penyimpanan dan pengelolaan terhadap basan. Berikut ini adalah sejumlah peran yang menjadi kewajiban dan kewenangan penanggung jawab yuridis sebagaimana diatur dalam Rancangan Perpres tersebut.

Pertama, dalam hal melakukan pelelangan terhadap basan. Pasal 8 ayat (1) Rancangan Perpres mengatur jika basan termasuk benda yang dapat lekas rusak, membahayakan atau menimbulkan biaya pengelolaan yang tinggi, maka terhadap basan itu dapat dijual secara lelang. Teknisnya, Kepala Rupbasan memberikan rekomendasi kepada penanggung jawab yuridis untuk menjual lelang atau mengamankan terhadap basan yang mudah rusak tersebut. Hasil lelang dapat digunakan sebagai barang bukti dan disimpan dalam rekening bank atas nama Rupbasan.

Kedua, dalam hal pinjam-meminjam basan. Pada prinsipnya, basan dilarang digunakan selain untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. Namun, penggunaan untuk kepentingan proses peradilan itu juga dibatasi dalam aturan ini. Pasal 9 ayat (2) Rancangan Perpres membatasi jangka waktu selama dua hari untuk penggunaan basan.

Ketiga, dalam hal perkembangan pelimpahan perkara. Pasal 12 Rancangan Perpres mengatur bahwa jangka waktu penyimpanan pengelolaan basan dan baran di Rupbasan wajib mengikuti proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Dalam keadaan telah lewat dari jangka waktu dan tidak ada kejelasan pelimpahan perkara, maka Kepala Rupbasan wajib melakukan klarifikasi kepada penanggung jawab yuridis.

Jika tidak mendapat klarifikasi, Kepala Rupbasan wajib meminta penetapan hakim atas basan. Nantinya, penetapan hakim atas basan itu diumumkan oleh Kepala Rupbasan pada media yang dapat diakses oleh masyarakat. Selanjutnya, 30 hari setelah pengumuman itu Kepala Rupbasan berhak melaksanakan penetapan pengadilan tersebut. Hasil lelang terhadap basan dalam bentuk uang itu nantinya dimasukan ke kas negara untuk dan atas nama Rupbasan.

Keempat, dalam hal penyerahan basan dan baran kepada Rupbasan. Dalam aturan ini, penanggung jawab yuridis wajib melaporkan dan menyerahkan basan dalam jangka waktu tujuh hari setelah dilakukannya penyitaan kepada Rupbasan. Hal yang baru, jika penanggung jawab yuridis tidak melaporkan dan menyerahkan basan dan baran, maka Kepala Rupbasan berwenang meminta penetapan hakim untuk memerintahkan penyidik dan penuntut umum agar menempatkan basan di Rupbasan.

Sementara itu, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendorong pemerintah serius merespon kondisi carut marut persoalan pengelolaan aset kejahatan dengan melakukan reformasi tata kelola aset kejahatan di Indonesia. Dalam catatan ICJR, ada sejumlah persoalan krusial terkait dengan tata kelola aset kejahatan yang terjadi saat ini.

“Sudah saatnya Pemerintah Jokowi mengatur ulang pengelolaan benda sitaan dan aset kejahatan dengan mendorong RUU Pengelolaan Aset kejahatan yang komprehensif,” tulis ICJR dalam siaran persnya.

Catatan pertama, setiap institusi merasa berhak mengatur sendiri-sendiri manajemen dan eksekusi hasil sitaan. Tak adanya sanksi dan minimnya pengawasan semakin memperparah pengelolaan aset basan. Sehingga, basan dan baran sangat rentan sekali untuk dikorupsi. Mestinya, pengelolaan basan dan baran mesti dilakukan dalam ‘satu pintu’.

Pada dasarnya, basan dan baran wajib disimpan dan dikelola di Rupbasan. Tujuannya untuk menjamin keselamatan dan keamanan dalam rangka memberikan perlindungan, pemenuhan dan penegakan terhadap HAM dan penyelamatan aset negara. Namun, apabila tidak memungkinkan, cara penyumpanan diserahkan kepada Kepala Rupbasan. Namun sayangnya, lembaga ini minus dari sisi sumber daya, anggaran, serta unit penyimpanan.

Catatan kedua, yakni tidak tersedianya data resmi yang menunjukkan fakta mengenai berapa jumlah basan dan baran secara keseluruhan yang dapat di-update secara berkala. Pangkal permasalahan itu berangkat dari tidak dijalankannya operasional terhadap basan dan baran dalam ‘satu pintu’. Selain itu, problem lemahnya pengelolaan basan dan baran yang berdampak pada rusaknya nilai-nilai benda tersebut.

“Oleh karena itulah pemerintah tidak boleh hanya berhenti pada rencana mempersiapkan Rancangan Perpres mengenai pelelangan benda sitaan. Pemerintah harus mendorong tata kelola aset kejahatan yang lebih komprehensif di masa depan. Persoalan lelang benda sitaan hanyalah masalah kecil di dalam tata kelola aset kejahatan di Indonesia,” tulis ICJR.
Tags:

Berita Terkait