Revisi UU Pemasyarakatan, Upaya Menonjolkan “Kemolekan” Rupbasan
Berita

Revisi UU Pemasyarakatan, Upaya Menonjolkan “Kemolekan” Rupbasan

Saat ini sedang disusun Naskah Akademik RUU Sistem Pemasyarakatan. Selain persoalan Rupbasan, ada perubahan konsep pemasyarakatan yang selama ini berlaku.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Suasana diskusi dalam rangkaian Rapat Kerja Teknis Pemasyarakatan bertema “Penguatan Peran Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu” di Jakarta (25/4). Foto: RES
Suasana diskusi dalam rangkaian Rapat Kerja Teknis Pemasyarakatan bertema “Penguatan Peran Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu” di Jakarta (25/4). Foto: RES
Setengah abad lebih Pemasyarakatan berdiri di Indonesia. Tepat pada Rabu (27/4) nanti, akan diperingati hari Bhakti Pemasyarakatan yang ke-52 tahun. Sayangnya, hingga mencapai usia “emas” masih saja terjadi sejumlah permasalahan yang belakangan menjadi perhatian masyarakat terkait kisruh di beberapa Lembaga Pemsyarakatan (Lapas). Tak cuma di Lapas, masih terjadi permasalahan di Balai Pemasyarakatan (Bapas), Rumah Tahanan (Rutan), serta Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan).

Sejumlah upaya sebenarnya telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM. Namun, praktik di lapangan ternyata menunjukkan hal yang berbeda. Ketua Tim Ketua Tim Penyusunan Naskah Akademik RUU Sistem Pemasyarakatan Eva Achzani Zulfa mengatakan bahwa wacana yang berkembang berkaitan dengan pemasyarakatan begitu sangat pesat. Selain berkembang sangat pesat, beberapa aspek pun kini saling beririsan dengan aspek pemasyarakatan.

Problemnya, sejumlah aturan seperti UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan belum mengakomodir perkembangan itu. Sebagai contoh, penanganan diversi pada sistem peradilan pidana anak (SPPA) yang menjadi kewenangan Bapas belum dapat dilaksanakan dengan optimal. Hal yang lain, lanjut Eva, terkait dengan isu asset recovery hasil dari tindak pidana.

Dikatakan Eva, isu asset recovery selama ini acapkali dikaitkan dengan PPATK, KPK, dan Kejaksaan Agung. Padahal, secara teori dan organisasi isu tersebut menjadi wewenang Rupbasan. Dalam Naskah Akademik RUU Sistem Pemasyarakatan nantinya wacana pengelolaan barang dengan kualitas dan spesifikasi khusus terkait dengan perkembangan jenis tindak pidana, seperti illegal fishing, illegal mining, illegal trading, narkotika dan nuklir akan ditegaskan bahwa Rupbasan yang diberi wewenang.

“Rupbasan akan menjadi institusi yang ‘seksi’ nantinya,” ujar Eva saat diskusi dalam rangkaian Rapat Kerja Teknis Pemasyarakatan bertema “Penguatan Peran Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu” di Jakarta (25/4).

Selain hal itu, sejauh yang dapat disampaikan oleh Eva berkaitan dengan Naskah Akademik RUU Sistem Pemasyarakatan tertangkap beberapa poin penting. Pertama, sebagai hukum pelaksanaan pidana. Pada prinsipnya, hukum pidana sebagai pranata sosial dalam masyarakat. Artinya semua dasar-dasar dan aturan-aturan dalam menyelenggarakan ketertiban hukum berpedoman pada hukum pidana materil, hukum pidana formil atau hukum acara, dan hukum pelaksanaan pidana.

Dalam konteks pemasyarakatan, hukum pelaksanaan pidana diterjemahkan sebagai keseluruhan ketentuan atau peraturan yang berisi tentang cara bagaimana melaksanakan putusan hakim terhadap seseorang yang memiliki status sebagai terhukum. Sebagai contoh, pelaksanaan putusan pengadilan di luar konteks eksekusi merupakan kewenangan Lapas. Pidana bagi orang, seperti mati, penjara, denda, kerja sosial, pelaksanaan putusan adat, dan ganti rugi. Dan pidana bagi korporasi, seperti pencabutan izin, denda korporasi, dan pencabutan hak-hak tertentu.

“Pemasyarakatan harus siap. Sehingga pemasyarakatan bukan lagi seperti TPA (Tempat Pembuangan Akhir),” kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.

Kedua, pemasyarakatan sebagai sistem tersendiri. Kalau selama ini pemasyarakatan dipahami sebagai subsistem dari peradilan pidana, nantinya, pemasyarakatan akan dibuat sebagai sistem tersendiri. Belum dapat dipastikan apakah berbentuk sistem yang terintegrasi atau berbentuk holding. Tapi yang jelas, dalam Naskah Akademik RUU Sistem Pemasyaratakan peran pemasyarakatan akan lebih menonjol dalam sistem peradilan pidana.

Sebagai perbandingan, bila institusi yang lain merupakan institusi mandiri atau bukan di bawah Kementerian, mengapa pemasyarakatan tidak diberlakukan hal yang sama? Wacana “pemisahan” diri itu, kata Eva, juga disinggung dan dikupas dalam Naskah Akademik tersebut. Wacana menjadikan Pemasyarakatan sebagai institusi yang independen dan mandiri itu lantaran Ditjen Pas punya karekteristik yang berbeda jika dibandingkan dengan Direktorat lain di bawah Kemenkumham, seperti Ditjen AHU dan Ditjen Imigrasi.

“UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA menunjuk Bapas sebagai pengawas dalam hal dilakukannya diversi. Disinilah akan terjadi permasalahan jika Ditjen Pas yang membawahi Bapas ketika eksekusinya,” katanya.

Ketiga, terkait dengan administrasi. Selama ini sejumlah aturan membatasi institusi dalam membuat keputusan. Misalnya terkait pemberian remisi atau pelaksanaan grasi hanya berada pada tataran keputusan yang bersifat administratif dari pelaksanakan pembinaan di Lapas. Padahal, terjadi perluasan peran dan tanggung jawab di Pemasyarakatan untuk mengelola lembaga-lembaga baru yang menjadi perintah undang-undang termasuk dalam RKUHP, seperti peran Bapas untuk pidana korporasi.

Oleh karenanya, keputusan-keputusan administratif tersebut membuat kebutuhan bagi Lapas untuk tetap berada di bawah kementerian, dalam hal ini Kemenkumham. Padahal, Pemasyarakatan punya andil mulai dari proses pra ajudikasi, ajudikasi, hingga post ajudikasi. “Tak Cuma Lapas, Bapas, Rupbasan juga akan menonjol perannya lewat RUU Sistem Pemasyarakatan ini,” tuturnya.

Keempat, pengadaan Sumber Daya Manusia (SDM). Ini juga menjadi salah satu permasalahan yang krusial yang juga menjadi concern tim penyusun Naskah Akademik RUU Sistem Pemasyarakatan. Jika proses rekrutmen untuk petugas dan pegawai di Ditjen Pas selama ini menggunakan seleksi ASN (dahulu dikenal dengan CPNS), Eva menilai hal itu kurang tepat jika dilakukan untuk menjaring SDM yang mengabdi di pemasyarakatan.

“Jangan disamakan dengan rekrutmen ASN pada umumnya, karena itu akan jadi masalah,” tutupnya.

Di tempat yang sama, Anggota Forum Pemerhati Pemasyaraktan Dindin Sudirman juga punya pandangan yang sama dengan Eva. Menurutnya, titik rawan permasalahanan di pemasyarakatan, khususnya di Lapas terletak pada pegawai dan petugas pemasyarakatan. Dalam pandangannya, antara pegawai pemasyarakatan dengan petugas pemasyarakatan memiliki makna yang berbeda.

Menurutnya, pegawai pemasyarakatan adalah seluruh pegawai yang melakukan pekerjaan terkait dengan tugas pemasyarakatan baik teknis maupun administratif. Sementara petugas pemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum dalam bidang pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan. Hal itu sejalan juga dengan aturan PBB dalam The Standard Minimum for the Treatment of Prisoner tahun 1955 (Mandela Rules) dan Implementation of The Standard Minimum Rules for The Treatment of Prisoner tahun 1968.

Meski telah ada aturan perilaku yang berstandar internasional, namun masih saja ada penyalahgunaan yang dilakukan oleh petugas pemasyarakatan. Dikatakan Dindin, petugas pemasyarakatan adalah profesi luhur yang memiliki titik tekan pada pengabdian atau pelayanan yang mereka berikan sebagai suatu panggilan. Alasannya, profesi pemasyarakatan ini secara formal diakui dalam Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 1995.

Namun, dalam praktik belum diakui bahwa petugas pemasyarakatan adalah sebuah profesi. Sebagai contoh, masih ada tugas-tugas pemasyarakatan seperti pelaksanaan penahanan dan perawatan barang sitaan negara (basan) dan barang rampasan negara (baran) dikelola oleh instansi lain seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK. “Pengambilalihan wewenang oleh instansi lain adalah salah satu indikator yang valid dari kondisi ini,” katanya.

Bukti lain bahwa petugas pemasyarakatan adalah sebuah profesi adalah adanya organisasi profesi bernama Ikatan Petugas Pemasyarakatan Indonesia yang juga memiliki kode etik petugas dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.MH.16.KP.05.02 Tahun 2011. Namun, keberadaannya di luar kedinasan membuat hal itu sulit untuk diimplementasikan.

“Perlu diperjelas dalam Permen menyangkut istilah pegawai dan petugas pemasyarakatan. Ke depan harus juga disusun Permen Kode Etik yang baru,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait