Catatan KY untuk Sistem Penanganan Perkara MA
Berita

Catatan KY untuk Sistem Penanganan Perkara MA

MA disarankan kembali mengadopsi asas sidang terbuka untuk umum agar potensi penyimpangan bisa diminimalisasi.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung KY. Foto: SGP
Gedung KY. Foto: SGP
Tertangkapnya Andri Tristianto Sutrisna   terkait penundaan salinan putusan kasasi perkara korupsi yang melibatkan pengusaha, dan penangkapan seorang panitera, Edy Nasution, tamparan keras dunia peradilan Indonesia. Ditambah lagi pencegahan bepergian ke luar negeri Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi.

Di tengah reformasi peradilan yang terus digaungkan sejak 2003 masih saja ada celah bagi oknum aparatur peradilan ‘bermain-main’ perkara. Salah satu celah yang dijadikan ‘mata pencaharian’ adalah prosedur penanganan perkara di MA.

Beberapa pihak menilai sistem penanganan perkara yang diatur SK KMA 214 Tahun 2014 tentang Alur Penanganan Perkara di MA tidak efisien. Sebab, distribusi perkara prosesnya cukup panjang. Sebab, melibatkan beberapa unit kerja, seperti biro umum, direktorat badan peradilan, kesekretariatan, dan kepaniteraan. Totalnya memakan waktu maksimal 250 hari atau 8 bulan. Di antaranya, pemeriksaan majelis hakim agung ditentukan selama 3 bulan, minutasi perkara 103 hari, hingga dikirim kembali ke pengadilan pengaju.

Kondisi persoalan ini pun menjadi perhatian Komisi Yudisial (KY) sebagai mitra strategis dalam upaya mewujudkan peradilan bersih yang dipercaya publik. Karena itu, KY memberi catatan evaluasi sistem penanganan perkara tingkat kasasi dan peninjauan kembali (PK). “Ada empat titik strategis sebagai catatan perbaikan sistem penanganan perkara di MA,” ujar Juru Bicara KY Farid Wajdi kepada hukumonline, Selasa (26/4).

Keempat titik strategis itu adalah proses penanganan perkara, rasio tumpukan perkara, case tracking system, dan keterbukaan sidang-sidang di Mahkamah Agung.

Farid Wajdi mengungkapkan persoalan utama penanganan perkara adanya jeda waktu yang lama dan cenderung tidak seragam antar tahapan proses. Masalah ini jadi celah bagi beberapa oknum ‘bermain’ ketika ada jeda terutama dari mulai putusan, minutasi, hingga penyampaian putusan ke pengadilan awal. “Perbedaan waktu tidak seragam membuka peluang besar bagi siapapun untuk bisa mengklaim dan memberi pengaruh terutama kepada para pihak,” kata dia.

Persoalan lain, kata Farid, antara rasio tumpukan perkara di MA dan jumlah SDM (hakim agung, asisten termasuk juru ketik) tidak sebanding turut menyumbang permasalahan klasik ini terus berulang. “Ini juga punya pengaruh pada lamanya waktu di antara jeda proses. Sebetulnya MA sudah memiliki aturan soal standar waktu penyelesaian, tetapi karena load (beban) terlalu besar seringkali aturan ini tidak bisa ditepati,” ungkapnya.

Meski otomatisasi sistem administrasi perkara secara online (case tracking system/CTS) sudah diterapkan. Namun, CTS ini belum sepenuhnya optimal karena proses minutasi sebagian besar review putusan dalam majelis hakim masih secara manual. “Review ini dari satu ruangan hakim kepada ruang hakim lain. Padahal, jika proses bisa ditransformasi dengan sistem IT, hal tersebut berkontribusi pada percepatan waktu minutasi perkara.”

Dia menyarankan perbaikan manajemen penyelesaian perkara patut mempertimbangkan kembali penerapan asas sidang terbuka untuk umum dalam perkara tingkat kasasi atau PK. Sebab, dahulu peradilan Indonesia pernah menerapkan asas sidang terbuka umum di semua tingkat peradilan dari mulai tingkat pertama hingga tingkat MA. “Dalam disertasi akademisi Belanda Sebastian Pompe, diketahui dahulu sidang peradilan Indonesia mengadopsi konsep terbuka untuk umum semua tingkat peradilan,” ujarnya.

Menurutnya, proses persidangan kasasi/PK di MA yang selama ini tertutup sedikit banyak turut mendorong terjadinya penyalahgunaan oknum peradilan demi keuntungan pribadi. Sebab, sidang kasasi, para pihak hanya diberikan kesempatan memberikan jawaban melalui memori kasasi/kontra memori kasasi. Padahal, esensi terbukanya sidang untuk umum guna meminimalisasi potensi abuse of power dalam proses persidangan.

“Ada baiknya, MA bisa kembali mengadopsi asas sidang terbuka untuk umum agar potensi penyimpangan bisa diminimalisasi,” sarannya.

Pasca kasus judicial corruption ini, sebelumnya MA mengakui ada kelemahan dalam manajemen perkara di MA terutama dalam hal minutasi putusan. MA menegaskan perkara Andri Tristianto dan Edy Nasution di luar kontrol Bawas MA. Karena itu, persoalan penyederhanaan manajemen perkara dalam rangka percepatan proses penanganan perkara terutama minutasi perkara menjadi perhatian serius pimpinan MA yang baru dengan menambah jumlah operator pengetikan putusan.
Tags:

Berita Terkait