Demi Kepastian Hukum, Task Force Tax Amnesty Dibentuk
Berita

Demi Kepastian Hukum, Task Force Tax Amnesty Dibentuk

Koordinatornya Menkeu dan Dirjen Pajak. Ada beberapa aspek yang mesti diperhatikan dalam menyikapi dana repatriasi ini, salah satunya terkait dampak lanjutan.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi: HLM
Foto ilustrasi: HLM
Pemerintah resmi membuat tim bersama semacam task force terkait dengan repatriasi dana dari luar ke dalam negeri apabila RUU Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty disahkan. Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan bahwa task force dibentuk dalam rangka memberikan kepastian hukum serta kenyamanan bagi siapapun yang akan melakukan repatriasi atau memasukan uang ke Indonesia.

“Tim ini akan dikoordinasikan oleh Menteri Keuangan bersama dengan Dirjen Pajak,” ujar Pramono usai rapat terbatas di sebagaimana dikutip dari laman resmi Setkab, Senin (25/4).

Lebih lanjut, Pramono mengatakan bahwa task force ini nantinya akan terdiri dari Kapolri, Jaksa Agung, Kepala PPATK, Menteri Hukum dan Ham, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, dan Menteri Luar Negeri. “Sekali lagi akan dibuat tim task force bersama atau tim gabungan yang dikoordinasikan Menkeu bersama Dirjen pajak karena satu entitas,” tegasnya.

Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan UU Tax Amnesty bukan sekadar untuk memperbesar penerimaan pajak tetapi lebih dari itu. "Tax amnesty adalah alat kita untuk mengajak semua warga negara Indonesia yang kebetulan lebih beruntung untuk juga memikirkan bangsanya dengan menginvestasikan uangnya di Indonesia, jadi tidak semata-mata di luar negeri," katanya.

Terpisah, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D Hadad mengatakan bahwa dana hasil repatriasi yang masuk ke Indonesia semestinya bisa memberikan sejumlah dampak yang positif pada sektor jasa keuangan. Namun, dengan catatan dana besar akibat repatriasi itu dimasukan pada instrumen investasi keuangan yang lebih bersifat jangka panjang. Setidaknya OJK mencatat ada tiga instrumen investasi yang dapat diambil.

Pertama, dalam bentuk investasi langsung pada industri jasa keuangan. Pada prinsipnya, ketika terjadi peningkatan modal dan likuiditas, secara bersamaan juga akan meningkatkan kapasitas industri keuangan serta ketahanan lembaga keuangan ketika terjadi gejolak ekonomi global. Hal itulah yang mendorong konsolidasi dan meningkatkan permodalan serta memperkuat likuiditas lembaga jasa keuangan.

“Peningkatan modal dan likuiditas ini akan meningkatkan kapasitas industri, baik perbankan, IKNB, maupun perusahaan efek dalam menghadapi era MEA,” kata Muliaman dalam siaran persnya yang diterima hukumonline.

Kedua, dana tersebut mendukung pendalaman pasar keuangan. Terhadap sejumlah instrumen keuangan, seperti deposito jangka panjang, surat utang, obligasi pemerintah (SBN), obligasi korporasi, saham, kontrak investasi kolektif seperti Reksa Dana Penyertaan Terbatas (RDPT) mestinya bisa dimanfaatkan sebagai wadah ketika dana hasil repatriasi tersebut masuk ke Indonesia.

“Dengan masuknya dana repatriasi ke pasar modal, ketahanan pasar modal akan semakin baik dengan meningkatkan likuiditas pasar modal dan meningkatnya porsi kepemilikan efek oleh investor lokal,” sebutnya.

Sementara, masuknya dana repatriasi ke sektor perbankan dapat mendorong turunnya cost of fund sekaligus membuka peluang turunnya suku bunga kredit. Bagi sektor IKNB, masuknya dana repatriasi dapat mempercepat pengembangan sektor prioritas pemerintah mulai dari pembiayaan perumahan, ekonomi kreatif, pertanian, maritim, infrastruktur, pariwisata, hingga energi terbarukan.

Ketiga, mendorong inklusi keuangan di tengah upaya pemerintah untuk mempercepat inklusi keuangan melalui pembiayaan proyek-proyek start up, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), hingga industri kreatif di berbagai daerah lewat konsep modal ventura khususnya di sektor maritim, pariwisata, energi, dan pangan.

“Namun ada beberapa aspek yang mesti diperhatikan dalam menyikapi dana repatriasi ini, di antaranya dampak lanjutannya. Bagaimana sektor keuangan mampu menyalurkan kembali dana-dana besar dalam penyedaan pembangunan,” pesan Muliaman.

Sebab, kata Muliaman, kegagalan penyaluran dana tersebut ke dalam aset produktif akan mengakibatkan peningkatan biaya. Dan terparah, lanjutnya, likuiditas berlebihan pada sektor perbankan dikhawatirkan dapat mendorong naiknya tingkat inflasi. Meski begitu, industri jasa keuangan saat ini dalam kondisi yang baik untuk memanfaatkan dana repatriasi. Instrumen investasi jangka panjang di berbagai sektor juga terbuka luas.

“Kami sadar beberapa resiko yang perlu menjadi perhatian. Kami akan berkoordinasi dengan Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, serta pelaku di industri jasa keuangan,”pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait