Ingat!! Tak Semua Data Terkait Pengampunan Pajak Bersifat Rahasia
Berita

Ingat!! Tak Semua Data Terkait Pengampunan Pajak Bersifat Rahasia

Harus ada pengklasifikasian data yang menjadi rahasia dan data yang boleh diakses oleh publik maupun instansi terkait.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: YOZ
Ilustrasi: YOZ
Pengaturan di dalam rancangan undang-undang (RUU) Pengampunan Pajak seharusnya tidak merahasiakan semua data terkait pengampunan pajak. Hal ini penting untuk menghindari munculnya petugas pajak seperti Gayus yang menilap pajak. Selain itu, juga untuk mengantisipasi ketidakefektifan pemanfaatan program hasil repatriasi.

Demikian diungkapkan Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) Abdulhamid Dipopramono dalam keterangan tertulis yang diterima hukumonline, Kamis (28/4). Abdulhamid menjelaskan bahwa seharusnya diklasifikasikan mana data yang boleh dibuka kepada publik maupun instansi terkait. Di samping itu, dipisahkan data-data yang memang selayaknya dirahasiakan.

“Data terkait pengampunan pajak yang saat ini RUU-nya sedang dibahas pemerintah dan DPR, tidak boleh semuanya dirahasiakan ke publik atau lembaga terkait,” katanya.

Dirinya pun mengkritisi pernyataan Menteri Keuangan Bambang PS Brojonegro tentang ancaman pidanapengungkapan data mengenai pengampunan pajak. Ia menilai ungkapan itu terlalu prematur. Bahkan, menurut Abdulhamid, Menteri Keungan terkesan menakut-nakuti.

Menurutnya, jaminan rasa aman kepada para calon penerima ampunan pajak tidak perlu disampaikan dengan cara mengancam pihak lain. Dengan demikian, pemerintah harus memilah-milah mana informasi yang harus dirahasiakan dan mana yang boleh diakses oleh publik. Namun, ia mengingatkan kembali bahwa tidak semua data harus dirahasiakan, apalagi kepada penegak hukum.

“Jaminan rasa aman kepada para calon penerima ampunan pajak tidak perlu mengancam pihak lain.Tidak semua data harus dirahasiakan, apalagi kepada penegak hukum,” tandasnya.

Abdulhamid mengakui, data mengenai pribadi penerima ampunan pajak bagi non-pejabat publik memang harus dirahasiakan. Akan tetapi, menurutnya hal itu tidak berlaku bagi pejabat publik. Karenanya, data yang menyangkut pejabat publik harus boleh diakses publik.

“Pejabat publik yang tercantum di dokumen Panama Papers dan sejenisnya yang belum terungkap, sesuai ketentuan Pasal 18 (2) huruf b UU No. 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik, tidak boleh dirahasiakan,” jelasnya.  

Ia mengatakan, di era demokrasi dan keterbukaan informasi saat ini menjadi pejabat publik memang tidak gampang. Ia menegaskan, jika tidak siap transparan maka jangan menjadi pejabat publik. Sebab, menurut Abdulhamid, pejabat publik harus jujur, transparan, dan tidak boleh lalai dalam urusan kebijakan maupun kehidupan pribadi.

“Mereka harus bisa dipercaya lewat sikap yang terbuka dan bisa menjadi contoh rakyat dalam berperilaku,” katanya.

Sementara itu, Abdulhamid juga memberikan catatan mengenai privasi pejabat non-publik. Ia menilai meski data pribadi non-pejabat publik penerima amnesti bersifat rahasia, tetapi jumlah dana yang diperoleh dan penggunaannya oleh pemerintah harus dibuka ke publik. Sebab, hal ini untuk menghindari penyelewengan penerimaan pajak dan pemanfaatannya.

“Potensi penyelewengan bukan hanya pada penerimaan tapi juga pemanfaatannya. Pemanfaatan repatriasi harus ada pengawasan sehingga efektif mengenai sasaran dan bermanfaat bagi negara,” tambahnya.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengatakan bahwa ia yakin data penerima ampunan pajak tak akan terbongkar kepada pihak yang tidak berkepentingan. Menurutnya, Direktorat Jenderal Pajak harus menjaga kerahasiaan data wajib pajak. Sehingga, ia mengatakan bahwa para pejabat yang namanya tercantum di dalam Panama Papers tak perlu khawatir.

"Rahasia pasti dijamin oleh Ditjen Pajak. Tidak usah ragu ikut pengampunan pajak dan bawa pulang duit ke dalam negeri," kata Yustinus.

Dirinya mengungkapkan, program pengampunan pajak sudah tepat untuk diberlakukan di Indonesia. Terlebih setelah terkuaknya dokumen Panama Papers. Ia menilai peristiwa tersebut membuktikan bahwa ada begitu banyak orang-orang Indonesia yang memiliki rekening di negara Tax Heaven.

“Jadi, momentumnya pas untuk menerapkan pengampunan pajak setelah adanya Panama Papers. Pengampunan pajak ini untuk menarik kembali dana-dana WNI yang diparkir di luar negeri,”katanya.

Menurut Yustinus, program pengampunan pajak seharusnya tak perlu digagalkan. Akan tetapi, ia juga menilaipemerintah juga perlu lebih gencar dalam mensosialisasikan program pengampunan pajak. Hal ini menurutnya salah satu kunci agar realisasi program tersebut bisa sukses. Sebab, masih banyak masyarakat yang belum memahami sepenuhnya esensi dari pengampunan pajak.

"Sebagian besar masyarakat pasti belum membaca substansi RUU Pengampunan Pajak, karena itu perlu upaya lebih gencar dalam mensosialisasikannya," ujar dia.

Tags:

Berita Terkait