Ini Lima Permasalahan Hukum dalam Penerapan Jaminan Fidusia

Ini Lima Permasalahan Hukum dalam Penerapan Jaminan Fidusia

Diperlukan penyempurnaan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penerapan jaminan fidusia.

Oleh:
HAG
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Penerapan jaminan fidusia rupanya masih menemui permasalahan hukum. Oleh sebab itu, diperlukan penyempurnaan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hal tersebut. Dalam acara Rapat Koordinasi Pelayanan Fidusia antara Ditjen Administrasi Hukum Umum dengan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Seluruh Indonesia, Hakim Agung Sudrajad Dimyati memaparkan permasalahan-permasalahan hukum dalam penerapan jaminan Fidusia.

Pertama, masih ada penerima Fidusia yang belum mendaftarkan Akta Jaminan Fidusia Ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Sebagaimana diatur dalam UU No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan berbagai peraturan pelaksanaanya, penerima fidusia berkewajiban untuk mendaftarkan Akta Jaminan Fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia agar bisa mendapatkan sertifikat Jaminan Fidusia yang memiliki titel eksekutorial. Bahkan, mungkin masih ada yang membuat Akta Jaminan Fidusia tidak di hadapan notaris.

Hal ini kemungkinan terjadi dengan alasan untuk menghindari biaya yang timbul, yaitu biaya pembuatan akta yang besarnya 2,5% untuk nilai penjaminan sampai dengan Rp100 juta dan biaya pendaftaran ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Ada pula yang membuat dan mendaftarkan Akta Jaminan Fidusia itu ketika konsumen sudah menunjukan tanda- tanda macet pembayaran angsuran.

“Akibat hukum bagi penerima Fidusia yang tidak membuat akta jaminan fidusia dalam bentuk akta notaris ataupun tidak mendaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia, maka ia tidak dapat langsung mengajukan eksekusi, tetapi harus terlebih dahulu mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri, sehingga prosesnya panjang. Namun untuk nilai sengketa kurang dari Rp200 juta, saat ini MA menerbitkan PERMA No.2 Tahun 2015 tentang Penyelesaian Gugatan Sederhana. Dengan tidak adanya sertifikat Jaminan Fidusia maka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia tidak dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 29 UU No 42 Tahun 1999,” ujarnya di Bogor, Selasa (3/5).

Kedua, masih ada penerima fidusia yang melakukan eksekusi penarikan benda jaminan. Dia menjelaskan seharusnya jika penerima fidusia akan menarik benda jaminan, maka persyaratannya harus dipenuhi terlebih dahulu, antara lain memiliki Sertifikat Jaminan Fidusia, fidusia itu telah didaftarkan, dan sudah dilakukan teguran sebelumnya kemudian mekanisme penarikannya dengan meminta bantuan aparat kepolisian.

“Namun pada praktiknya seringkali ketentuan tersebut tidak dipenuhi sehingga muncul permasalahan hukum yang baru,” tambah Sudrajad.

Ketiga, ketentuan Pasal 36 UU No 42 Tahun 1999 yang merupakan lex spesialis, namun sanksinya lebih ringan dari Pasal 327 KUHP. Menurut Sudrajad, hal ini juga menjadi salah satu alasan Penerima Fidusia enggan mendaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia.

Pasal 36 UU 42 Tahun 1999 mengatur ketentuan pidana bagi pemberi Fidusia yang menggadaikan atau mengalihkan objek jaminan fidusia, yaitu ancaman pidanan penjara paling lama dua tahun dan dengan paling banyak Rp50 juta. Sayangnya, kata Sudrajad, ini lebih ringan dari ketentuan Pasal 327 KUHP.

“Ketentuan ini adalah lex spesialis, namun sanksi pidananya justru lebih ringan daripada ketentuan Pasal 372 KUHP. Ini juga mungkin yang menjadi salah satu alasan penerima fidusia enggan mendaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia,” ujarnya.

Keempat, adanya titik singgung antara cara penyelesaian melalui BPSK dengan pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri. Menurut Sudrajad, pada umumnya akta Jaminan Fidusia maupun perjanjian pokoknya masih dalam bentuk perjanjian standar yang kemungkinan besar juga mengandung klausula baku. Sehingga, membuka peluang pemberi fidusia untuk mengajukan permasalahan tersebut kepada BPSK.

Kelima, masyarakat masih belum mengetahui cara mengakses ke web tentang suatu benda yang didaftarakan sebagai jaminan fidusia. Sudrajad mengatakan, akses masyarakat umum untuk mengetahui apakah suatu barang telah terdaftar sangat penting. Artinya, mengingat masih adanya praktik di masyarakat yang menggadaikan barang jaminan fidusia.

“Hal ini penting untuk mengurangi praktik ilegal tersebut, diharapkan jika masyarakat mengetahui suatu barang telah dibebani jaminan fidusia, maka ia tidak akan menerima gadai terhadap barang tersebut,” jelas Sudrajad.

Tags:

Berita Terkait