Atasi Masalah Penyidikan, KPK Rancang SPDP Online
Berita

Atasi Masalah Penyidikan, KPK Rancang SPDP Online

Setiap memulai penyidikan perkara, penyidik wajib mengunggah SPDP ke dalam sistem bersama.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi sistem pelaporan SPDP. Foto: MYS
Ilustrasi sistem pelaporan SPDP. Foto: MYS
Salah satu kejanggalan tahap prapenuntutan yang terungkap dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi adalah kejanggalan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP). Jumlah perkara yang disidik kepolisian (Sprindik) dan SPDP yang diteruskan ke Kejaksaan tak sesuai. Jumlah SPDP yang diterima penuntut umum tak sesuai dengan perkara yang disidik kepolisian.

Pasal 109 ayat (1) KUHAP menyebutkan jika penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penuntut memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Setelah menerima pemberitahuan itu penuntut umum mempelajari dan meneliti berkas. Dalam waktu 7 hari ia memberitahukan kepada penyidik apakah berkas sudah lengkap atau belum.

Tahapan prapenuntutan diduga berpotensi menjadi ajang ‘permainan’ kasus. Ada perkara yang dihentikan diam-diam, ada pula perkara bolak balik antara penyidik dan penuntut umum, ada perkara yang nasibnya digantung selama bertahun-tahun, atau pengiriman SPDP yang terlambat.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan tak mengetahui masalah dalam sistem peradilan pidana itu. Guna mencegah hal itu terjadi dalam perkara korupsi, KPK menginisiasi sistem SPDP daring (online) bersama. Melalui sistem ini, setiap penyidik di Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK memberitakukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum.

Selama ini, di lingkungan internal Polri, Kejaksaan, dan KPK sudah ada mekanisme pelaporan penanganan perkara masing-masing. Tetapi untuk SPDP masih cenderung dilakukan manual. Melalui sistem ini, koordinasi penyidikan perkara korupsi oleh ketiga lembaga bisa terbangun. Sistem daring ini diyakini akan membuat proses penyidikan efisien, efektif, dan transparan.

Bahkan, Koordinator Unit Koorsup Penindakan KPK, M. Rum, mengatakan SPDP online bisa mencegah konflik kewenangan antar lembaga penyidik. Jika penyidik KPK, misalnya, sudah menyampaikan SPDP secara daring, maka penyidik di lembaga lain bisa langsung mengetahui suatu perkara sudah disidik KPK. Demikian pula sebaliknya. “Ini untuk memudahkan hindari konflik kewenangan,” kata Rum kepada hukumonline di Jakarta, Selasa (03/5).

Mekanisme kerjanya sederhana. Setiap penyidik yang memulai penyidikan wajib mengunggah (upload) SPDP ke dalam sistem. Penuntut umum dan penyidik dari lembaga lain otomatis tahu. Sistem akan membuat early warning. Jika suatu perkara bolak-balik dari penyidik ke penuntut umum sampai tiga kali atau lebih, sistem akan menunjukkan tanda merah. Demikian pula jika penyidikan suatu perkara belum kelar selama setahun, tanda merah pada early warning menyala.

Koordinator Jaksa pada Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Pathor Rahman, mendukung langkah KPK. “Kita mendukung. Itu kan untuk mempercepat (penanganan perkara),” ujarnya.

Pathor Rahman mengatakan selama ini penyampaian SPDP perkara korupsi sudah berjalan. Namun Rum menyebut sistem pelaporannya masih belum cepat karena ada yang menggunakan sistem pelaporan berjenjang, bukan sistem pelaporan langsung.

KPK sudah menyampaikan gagasan SPDP online itu kepada Kepolisian dan Kejaksaan, antara lain saat melakukan ekspose perkara di daerah. Kepolisian Daerah (Polda) dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) sudah diinformasikan. Sebagai tahap awal, sistem ini diberlakukan di Jakarta dan sekitarnya. Kelak, akan diberlakukan di seluruh Indonesia. “Mudah-mudahan tahun ini bisa uji coba di Jakarta,” harap Rum.
Tags:

Berita Terkait