Pakar Pidana: Pembunuh Yuyun Tak Bisa Dihukum Lebih Berat
Berita

Pakar Pidana: Pembunuh Yuyun Tak Bisa Dihukum Lebih Berat

Ketentuan pidana di Indonesia mengatur bahwa pelaku tindak pidana anak hanya bisa dihukum paling berat sepuluh tahun penjara.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Curup, Heny Farida, memutuskan untuk menghukum 10 tahun terhadap 7 pelaku pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun, siswi SMP di Bengkulu. Para perlaku dinyatakan terbukti secara meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana telah melakukan kekerasan, memaksa anak persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dan membiarkan turut serta yang membiarkan kekerasan terhadap anak, sehingga menyebabkan anak mati.

Berbagai reaksi pun bermunculan, ada yang menilai bahwa hukuman yang dijatuhkan oleh majelis hakim cukup ringan. Ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa, memaklumi reaksi masyarakat yang menuntut agar para pelaku dihukum lebih berat lagi. Ia mengatakan, tindak pidana terhadap korban cenderung sangat keji sehingga menimbulkan kegeraman bagi masyarakat.

“Keinginan masyarakat agar pelaku dihukum seberat-beratnya merupakan reaksi sesaat dari kengerian yang timbul di masyarakat. Kejadian ini menurut saya menjadi shock therapy yang menyadarkan semua pihak bahwa telah ada perubahan norma di kalangan anak muda kita yang selama ini hanya dinilai kenakalan biasa,” ujar Eva kepada hukumonline, Selasa (10/5).

Sayangnya, menurut Eva hukuman terberat pun tidak menjamin remaja lain menjadi jera untuk tidak melakukan tindakan yang sama. Ia menegaskan, tidak selamanya hukuman yang berat menjadi obat mujarab penyakit sosial. Menurutnya, untuk mencegah kejadian yang sama terulang, harus dituntaskan dari akar masalah.

Eva mengatakan, di Indonesia hukuman terhadap suatu tindak pidana sangat bergantung pada subjektivitas hakim. Kadangkala, subyektivitas ini menurutnya tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Ia mengakui, saat ini Indonesia memang belum dikenal sentencing guideline yang menjadi panduan semacam matematis bagi hakim untuk menghitung hukuman yang adil dengan menghitung berbagai variabel.

“Lagi pula, hakim telah menjatuhkan hukuman terberat bagi para pelaku. Di dalam hukum pidana ada prinsip nulla poena sine lege, artinya tidak ada sanksi pidana yang tidak diatur di dalam ketentuan undang-undang. Hukuman bagi para pelaku sudah sesuai prinsip legalitas,” tandasnya.

Dirinya menjelaskan, saat ini di Indonesia berlaku hukuman mati sebagai hukum terberat yang bisa dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana. Hanya saja, karena para pelaku pemerkosaan dan pembunuhan korban Yuyun masih masuk kategori anak, maka berlaku pengecualian. Menurut UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pengganti hukuman mati bagi anak adalah penjara selama sepuluh tahun.

Dengan demikian, menurut Eva, hakim telah menjatuhkan hukuman maksimal bagi para pelaku. Ia mengingatkan, hakim tidak bisa menghukum lebih berat lagi karena tersangkut azas legalitas. Sebab, menurut ketentuan undang-undang tidak ada hukuman yang lebih berat yang bisa dijatuhkan kepada anak selain penjara selama sepuluh tahun.

“Walaupun mereka sudah masuk remaja, tetapi menurut ketentuan undang-undang usia sampai dengan 18 tahun masih disebut sebagai anak,” terang Eva.

Lebih lanjut, Eva memaparkan ada filosofi tersendiri penggantian hukuman mati bagi anak dengan penjara 10 tahun. Ia mengatakan, anak dianggap masih memiliki masa depan. Selain itu, diharapkan anak-anak yang telah melakukan tindak pidana masih bisa dididik agar di kemudian hari menjadi lebih baik.

Eva juga menuturkan, sistem penjara di Indonesia saat ini masih belum ramah terhadap anak. Ia justru khawatir, jika anak dipenjara lebih lama maka ada kemungkinan pidana tersebut justru membuat perilaku anak lebih buruk. Sehingga menurutnya, penjara yang lama bukan solusi untuk mengatasi pidana yang dilakukan oleh anak.

“Tetapi menurut saya, seharusnya pidana penjara saja tidak cukup. Hakim sebetulnya bisa saja memberikan pidana tambahan untuk memerintahkan para pelaku menjalani rehabilitasi sosial dan medis,” tambahnya.

Ia mengatakan, rehabilitasi sosial dan medis bisa menjadi pidana tambahan. Menurut Eva, pidana tambahan itu boleh diberikan oleh hakim kendati belum ada ketentuan yang mengatur. Pasalnya, saat ini Indonesia menganut sistem double track antara pidana dan tindakan. Sehingga, penjara dapat dikategorikan sebagai pidana dan rehabilitasi menjadi tindakan.

“Tindakan ini bisa berdiri sendiri bisa pula dilaksanakan bersama-sama dengan pidana pokok. Jadi, hakim boleh-boleh saja memberikan pidana tambahan rehabilitasi sebagai sebuah tindakan,” ungkapnya.

Tags:

Berita Terkait