Dua Ahli Hukum Ini Bongkar Kelemahan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor
Berita

Dua Ahli Hukum Ini Bongkar Kelemahan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor

Kesalahan administrasi tidak serta-merta mengandung unsur perbuatan melawan hukum tipikor.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Dua Ahli Hukum Ini Bongkar Kelemahan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor
Hukumonline
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Prof Eddy OS Hiariej menilai                

Persoalan lain yang sering jadi perdebatan apakah adanya kerugian keuangan negara serta merta berujung pada tipikor? Menurutnya, anggapan ini telah mengalami sesat pikir aparat penegak hukum. Soalnya, tidak selamanya adanya kerugian keuangan negara otomatis tipikor karena dapat saja kerugian negara terjadi dalam lingkup (kesalahan) administratif atau perdata.

“Sebenarnya Pasal 32 UU Tipikor telah memberi jalan keluar ketika unsur kerugian negara terjadi secara nyata, tetapi bukan tipikor melalui gugatan perdata oleh Jaksa Pengacara Negara. Tetapi, praktis pasal ini hampir tidak pernah digunakan,” katanya.

Apalagi, United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang diratifikasi UU No. 7 Tahun 2006  tidak spesifik mencantumkan unsur kerugian negara lantaran cakupan delik korupsi sudah diurai secara limitatif. Seperti, suap, penggelapan dalam jabatan, memperdagangkan pengaruh, penyalahgunaan jabatan, pejabat publik memperkaya diri tidak sah, suap sektor swasta, penggelapan di perusahaan swasta, pencucian uang hasil kejahatan, menyembunyikan kejahatan korupsi, menghalangi proses peradilan.

“Rumusan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor telah mendistorsi UNCAC khususnya korupsi di sektor swasta. Lagipula, tidak satupun negara memiliki rumusan pasal korupsi seperti rumusan kedua pasal itu.”

Dia menambahkan penerapan kedua pasal tersebut ibarat ”pedang bermata dua”. Satu sisi, sangat efektif menjerat para pejabat negara, politisi, pebisnis secara sendiri-sendiri atau berkolaborasi merampok uang rakyat dengan modus operandi canggih demi kepentingan pribadi, golongan, atau parpol tertentu. Di sisi lain, tak jarang kedua pasal itu menjadikan aparat penegak hukum terjerambab dalam kubangan mafia peradilan untuk memeras calon tersangka atau menyingkirkan lawan-lawan politiknya.

Kerancuan
Hal senada disampaikan Pakar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Indra Perwira. Dia menilai frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menimbulkan kerancuan dan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam praktik penegakan hukum.

Dia menilai sejak terbitnya UU Tipikor, pejabat atau aparatur administrasi negara cenderung tidak berani mengambil keputusan dalam lingkup administrasi karena takut terjerat tipikor. Padahal, mereka melakukannya dalam rangka pelayanan publik dan pemenuhan hak-hak masyarakat. “Tindakan seperti ini justru kategori tidak menjalankan kewajiban hukumnya sebagai bentuk perbuatan melawan oleh penguasa,” kata Indra dalam persidangan.

Menurutnya, apabila ada kesalahan administrasi dari kebijakan yang diambil cukup dilakukan penyempurnaan prosedur administrasi atau tindakan sanksi administratif, bukan dipidanakan. Apabila dalam pemeriksaan itu diduga ada unsur tindak pidana (delik korupsi), atas permintaan penyidik dapat dilakukan pemeriksaan untuk tujuan tertentu yang disebut investigation audit.

“Intinya, kesalahan administrasi tidak serta-merta mengandung unsur perbuatan melawan hukum (tipikor) dan perbuatan melawan hukum itu dapat dilakukan tanpa adanya kesalahan administrasi. Untuk itu, aturan tersebut mesti dikoreksi,” harapnya.

Kedua ahli memberikan keterangan sebagai ahli dalam perkara yang dimohonan beberapa warga negara. Lewat tim kuasa hukum, Firdaus, Yulius Nawawi, Imam Mardi Nugroho, HA Hasdullah, Sudarno Eddi, Jamaludin Masuku, dan Jempin Marbun mempersoalkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor. Mereka meminta MK menghapus kata “dapat” dan frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” di dua pasal itu. Keduanya pasal itu dinilai multitafsir, ambigu, penerapannya tidak pasti, dan potensial disalahgunakan aparat penegak hukum.

Pemohon menilai pemaknaan kata “dapat” Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan bagi Para Pemohon yang berstatus sebagai terdakwa/terpidana korupsi. Praktiknya, adanya kata “dapat” menimbulkan rasa takut dan khawatir bagi orang yang sedang menduduki jabatan pemerintahan. Sebab, setiap mengeluarkan keputusan atau tindakan dalam jabatannya dalam ancaman delik korupsi.

Menurut pemohon, pemahaman ini disebabkan implikasi Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 yang telah mengkualifikasi korupsi sebagai delik formil, sehingga pemaknaan unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian” tidak harus nyata. Faktanya tak jarang, unsur kerugian negara tersebut baru dihitung setelah penetapan tersangka korupsi.

Para pemohon menganggap sejak UU Adminitrasi Pemerintahan  terbit, kesalahan administrasi yang merugikan keuangan negara belum tentu memenuhi unsur tipikor. Jadi, aparatur sipil negara (ASN) yang diduga melanggar peraturan administrasi karena kesengajaan, kelalaian atau tidak patut baru menjadi delik korupsi apabila ada niat jahat (mens it rea), bukan karena jabatannya. Ini setelah menempuh prosedur penyelesaian hukum administrasi terlebih dulu.
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3UU No. 31 Tahun 1999sebagaimana  diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tidak memenuhi asas lex certa. Pasal itu juga multitafsir sehingga membahayakan kepastian hukum. Terutama menyangkut frasa “dapat merugikan keuangan negara” di kedua pasal tersebut.

“Kedua pasal itu multitafsir yang membahayakan kepastian hukum dalam upaya pemberantasan korupsi,” ujar Eddy saat dimintai pandangannya sebagai ahli dalam sidang lanjutan uji materi UU Tipikor di Mahkamah Konstitusi, Selasa (10/5).      

Dia menjelaskan kata “dapat” dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor menunjukkan delik tersebut dikonstruksikan secara formal (delik formil) yang menitikberatkan pada perbuatan, bukan akibat. Artinya, pembuktian unsur kerugian keuangan negara tidak harus nyata terjadi, cukup adanya potensi kerugian keuangan negara. “Tataran praktis, kerugian keuangan negara harus dihitung secara pasti,” kata Eddy.

Menurutnya, penafsiran unsur “dapat merugikan keuangan negara” tidak seragam disebabkan tidak ada sinkronisasi dan harmonisasi dengan Undang-Undang (UU) yang berlaku. Misalnya, UU Perseroan Terbatas dan UU BUMN menyebut sumber keuangan yang berasal dari negara ketika ditempatkan dalam perseroan terbatas atau BUMN merupakan kekayaan terpisah dan tidak termasuk kategori keuangan negara.

“UU Keuangan Negara dan UU BPK lain lagi, segala pendapatan yang bersumber dari keuangan negara adalah termasuk terminologi keuangan negara,” paparnya.

Selain itu, hal lain yang menjadi persoalan lembaga mana paling berwenang menentukan adanya kerugian keuangan negara? “Apakah BPK, BPKP, akuntan publik, atau inspektorat jenderal kementerian? Ironisnya, banyak kasus korupsi di persidangan, hasil audit BPK berbeda dengan hasil audit BPKP. Yang satu menyatakan ada kerugian negara, yang satunya tidak,” ungkap ahli yang sengaja dihadirkan pemohon ini.
Tags:

Berita Terkait