Ini Isi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Versi Komnas Perempuan
Berita

Ini Isi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Versi Komnas Perempuan

Sanksi pidana paling berat penjara seumur hidup bagi pemerkosaan dengan pemberatan.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Kasus yang dialami Yuyun di Bengkulu membuka mata publik bahwa kekerasan seksual mengancam kehidupan anak dan perempuan. Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan, Sri Nurherwati, mengatakan bahwa kondisi darurat kekerasan seksual terjadi bukan hanya karena jumlah kasusnya yang banyak. Ia menuturkan, penanganan kasus tersebut juga sangat buruk. Akibatnya, korban sulit untuk mendapatkan akses terhadap kebenaran, keadilan, dan pemulihan.

Dirinya menjelaskan, menurut catatan Komnas Perempuan, dari 80% korban kekerasan seksual kini telah terbuka untuk memilih penyelesaian melalui jalur hukum. Namun dari jumlah itu, hanya 10% yang akhirnya diselesaikan melalui pengadilan. Sementara itu, 50% jumlah kasus diselesaikan melalui mediasi, dengan alasan tidak cukup bukti, korban kelelahan dengan proses hukum yang dijalani, atau dinikahkan dengan pelaku.

“Kebanyakan kasus yang diselesaikan melalui mediasi itu, dilaporkan kepada Komnas Perempuan. Para korban meminta Komnas Perempuan bisa mendorong aparat penegak hukum untuk menyelesaikan kasus mereka,” ujar Nurherwati dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (11/5).

Menurut Nurherwati, salah satu faktor yang menyebabkan mandeknya penyelesaian hukum kasus kekerasan seksual karena belum adanya lex specialis yang mengatur tindak pidana tersebut. Ia mengakui, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah mendorong para korban kekerasan dalam rumah tangga untuk berani berbicara.

Sayangnya, di dalam undang-undang itu belum diatur secara khusus mengenai kekerasan seksual. Hal ini, menurutnya menjadi hambatan tersendiri bagi para korban kekerasan seksual untuk mendapatkan pemulihan.

Ia menegaskan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat mendesak untuk segera disahkan. Pasalnya, di dalam naskah akademik dan draft RUU yang dirancang oleh Komnas Perempuan, diatur secara rinci penanganan kasus kekerasan seksual. Misalnya, pengaturan mengenai berbagai macam bentuk kekerasan seksual sesuai dengan gradasinya.

Ada delapan bentuk kekerasan seksual yang diatur di dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual versi Komnas Perempuan. Adapun bentuknya adalah pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan prostitusi, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.

Selain itu, di dalam draf RUU itu juga diatur mengenai sistem pemidanaan bagi para pelaku. Pidana pokok yang bisa dijerat tidak hanya berupa kurungan, tetapi juga meliputi rehabilitasi khusus bagi pelaku yang masih anak-anak, dan restitusi terhadap korban. Pidana kurungan maksimal yang diatur adalah 40 tahun, dan hukuman seumur hidup bagi pemerkosaan dengan pemberatan jika dilakukan kepada anak-anak, wanita hamil, atau penyandang disabilitas.

Sementara itu, pidana tambahan mencakup pembatasan ruang gerak pelaku agar tidak mendekati korban yang diadopsi dari ketentuan dalam UU PKDRT, kerja sosial, pencabutan hak politik, pengumuman keputusan hakim, dan sanksi administratif.

“Prinsip penghukuman yang kami gunakan adalah bagaimana hukuman yang mendidik, manusiawi, dan tidak merendahkan martabat. Sekaligus, memenuhi rasa keadilan korban dan bisa mencegah replikasi,” timpal Ketua Komnas Perempuan, Azriana.

Tak Setuju Hukuman Kebiri
Wakil Ketua Komnas Perempuan, Yuni Chuzaifah, mengatakan pihaknya tidak setuju dengan wacara hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana kekerasan seksual. Ia mengatakan, bentuk hukuman itu tidak bisa menjamin berakhirnya lingkaran setan kekerasan seksual di Indonesia. Sehingga, menurutnya tetap perlu melestarikan lembaga pemasyarakatan sebagi institusi untuk memasyarakatkan kembali para pelaku tindak pidana, tak terkecuali kekerasan seksual.

“Kalau hukuman kebiri itu yang dihukum alat genitalnya. Dengan menerapkan hukuman itu, berarti penyelesaian kekerasan seksual hanya sebatas pada alat genital. Padahal ini menyangkut isi kepala. Kita harus menuntaskan hingga akar masalahnya,” ujar Yuni.

Untuk diketahui, data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), mencatat sejak tahun 2012 Indonesia telah mengalami darurat kekerasan seksual. Pasalnya, setiap hari setidaknya ada 35 anak dan perempuan yang mengalami kekerasan seksual.

“Itu pun data yang kita dapat dari korban yang melapor. Tentu ini seperti fenomena gunung es, bahwa yang tidak dilaporkan lebih banyak lagi kasusnya,” ungkap Komisioner Komnas Perempuan, Masruchah.

Masruchah menambahkan, kasus pemerkosaan kolektif juga cenderung meningkat. Ia mengatakan, sebelum publik mendengar kisah pilu Yuyun, di berbagai daerah di Indonesia telah banyak perempuan yang mengalami pemerkosaan kolektif. Oleh karena itu, menurutnya, kasus Yuyun jangan hanya menimbulkan rasa kasihan lantaran paradigma yang melihat kejadian itu menimpa anak-anak.

“Ini lebih dari sekadar kasus anak. Harus dilihat bahwa ini menyangkut pola pikir. Posisi perempuan yang timpang di masyarakat membuat perempuan sangat rentan terhadap tindak pidana kekerasan seksual,” tambahnya.

Tags:

Berita Terkait