Eksekusi Mati Dinilai Tak Mengurangi Kejahatan
Berita

Eksekusi Mati Dinilai Tak Mengurangi Kejahatan

Minta diubah menjadi hukuman seumur hidup.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi eksekusi mati. FOTO: BAS
Ilustrasi eksekusi mati. FOTO: BAS
Indikasi pelaksanaan eksekusi mati tahap ketiga masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla sudah mulai tampak. Sejumlah terpidana narkotika sudah dipindahkan ke Nusa Kambangan. Sejumlah pihak menangkap sinyal akan ada eksekusi mati dalam waktu dekat, meskipun Pemerintah belum memberikan pernyataan resmi. Jaksa Agung M Prasetyo menegaskan waktu eksekusi belum ditentukan.

Rencana Pemerintah melaksanakan hukuman mati terhadap sejumlah terpidana, seperti biasa, mendapat reaksi keras dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti Hukuman Mati. Dalam pernyataan sikapnya di Jakarta, Rabu (11/5) kemarin, Koalisi meminta hukuman mati dibatalkan.

Anggota Koalisi, Al Araf, menuding Pemerintah punya ilusi hukuman mati seolah-olah eksekusi mati terpidana bisa mengurangi jumlah kejahatan. Berkaca dari dua tahap eksekusi terdahulu, Al Araf tak percaya ilusi itu. Menurut dia, eksekusi terpidana mati tak berdampak signifikan terhadap penurunan jumlah kejahatan.

Menurut Al, begitu ia bisa disapa, yang mestinya disasar Pemerintah adalah akar kejahatan seperti tata kelola pemerintahan yang buruk sehingga memunculkan ketidakadilan di masyarakat. Pemerintah juga perlu memperbaiki penegakan hukum, dan menangani pengangguran dengan baik, serta menghukum aparat yang terlibat dalam kejahatan. “Pemerintah terjebak ilusi hukuman mati yaitu meyakini jumlah kejahatan akan berkurang ketika hukuman mati diterapkan,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (11/5).

Ia juga berpandangan penerapan hukuman mati di Indonesia sangat diskriminatif. Hukuman mati hanya menyasar terpidana yang tidak punya akses terhadap kekuasaan, ekonomi dan modal. Al mengusulkan agar Pemerintah mengubah hukuman mati menjadi seumur hidup untuk terpidana yang telah menjalani pidana lebih dari 5 tahun.

Jika tetap dieksekusi mati maka terpidana itu mengalami hukuman ganda berupa pidana dan eksekusi hukuman mati. Menurutnya pemerintah bisa melakukan itu karena sudah banyak negara yang mengubah hukuman mati menjadi seumur hidup. “Sesuai Nawacita yang mengusung penghormatan dan penegakan HAM, Presiden Joko Widodo harus memerintahkan Jaksa Agung untuk membatalkan eksekusi terhadap terpidana hukuman mati,” tegas Al. Menurutnya hukuman mati bertentangan dengan HAM karena merampas hak hidup seseorang. Padahal pemenuhan hak untuk hidup sifatnya tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun (non derogable rights).

Pjs Direktur Eksekutif HRWG, Muhammad Hafiz, menegaskan koalisi tidak pernah mendukung segala bentuk kejahatan. Namun, apapun kejahatannya hukuman mati bukan solusi. Pemerintah berkeras ingin mengeksekusi terpidana mati terutama kasus narkotika. Jika narkotika disebut sebagai kejahatan luar biasa, pemerintah harus membuktikannya lewat data yang konkrit.

Hafiz melihat dalam eksekusi terpidana mati gelombang pertama dan kedua pemerintah beralasan Indonesia darurat kejahatan narkotika dengan mengklaim 50 orang mati setiap hari karena penyalahgunaan narkotika. Kemudian BNN mengubah data itu menjadi 30 orang mati per hari. Setelah dikonfirmasi ke pihak Universitas Indonesia yang melakukan penelitian tersebut ternyata datanya belum bisa dikatakan valid. “Hukuman mati bukan solusi memberantas kejahatan. Pemerintah menjalankan eksekusi terhadap terpidana hukuman mati, tapi kejahatan narkotika di Indonesia makin berkembang,” urai Hafiz.
Tags:

Berita Terkait