Mengkhawatirkan, Pelarangan Hak Berkumpul dan Berekspresi
Berita

Mengkhawatirkan, Pelarangan Hak Berkumpul dan Berekspresi

Penangkapan aktivis oleh militer tak sesuai kewenangan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Mengkhawatirkan, Pelarangan Hak Berkumpul dan Berekspresi
Hukumonline
Hak untuk berkumpul, berekspresi dan berpendapat terus mendapat tantangan. Saat ini, tantangan itu datang dari berbagai elemen yang sering mempersoalkan pemutaran film, diskusi, dan pameran. Salah satu dalih yang dipakai untuk memaksa bubar pemutaran film atau diskusi adalah komunisme.

Di media sosial juga muncul video penangkapan seseorang yang menggunakan lambing palu arit. Di Maluku Utara, dua aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara ditangkap militer gara-gara memakai kaos bertuliskan Pecinta Kopi Indonesia (PKI). Militer juga merazia toko buku yang menjual buku-buku yang berbau komunis.

Koalisi masyarakat yang tergabung dalam Gema Demokrasi mengecam terjadinya aksi-aksi pembubaran pemutaran film dan diskusi di beberapa tempat. Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa, menilai gejala semacam ini menunjukkan ada pihak yang tidak senang dengan upaya Pemerintah menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama tragedi pembunuhan massal 1965-1966. “Ada pihak yang tidak mau adanya pelurusan sejarah,” ujarnya jumpa pers di Jakarta, Kamis (12/5).

Menurut Algif, bentuk-bentuk pelanggaran hak berkumpul, berekspresi dan berpendapat sama seperti yang dilakukan pemerintahan Orde Baru. Itu juga mengindikasikan militerisme kembali menguat. Padahal, peraturan perundang-undangan sudah sangat jelas mengamanatkan militer untuk menjaga pertahanan Indonesia dari ancaman luar negeri. Ancaman keamanan dalam negeri menjadi ranah kewenangan Polri. “Militer tidak punya dasar hukum untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap masyarakat sipil,” tegasnya.

Dalam melakukan tindakan, dikatakan Algif, Polri wajib mematuhi peraturan yang ada. Misalnya, Peraturan Kapolri (Perkap) No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan KUHP. Pasal 28, 28E ayat (2) dan (3) serta pasal 28 F UUD 1945 secara tegas melindungi hak warga untuk berkumpul, menyatakan pendapat dan berekspresi.

Dalam melakukan penangkapan, penggeledahan dan penyitaan, aparat kepolisian tidak bisa sembarangan karena ada prosedurnya. Misalnya, Pasal 32-34 KUHAP mengatur penggeledahan harus mendapat izin terlebih dulu dari Pengadilan Negeri. Ketika izin penggeledahan itu sudah dikantorngi, aparat yang bertugas harus menunjukkan identitasnya dan menjelaskan dasar dilakukannya penggeledahan atau penyitaan. Barang yang digeledah pun harus berkaitan dengan kasus yang dituduhkan.

Peneliti Imparsial, Gufron Mabruri, menilai reformasi berjalan paradoks. Secara politik, reformasi membuahkan sistem politik yang relatif demokratis dan maju. Banyak regulasi yang diterbitkan mengatur pemenuhan dan penegakan HAM. Namun dalam perjalanannya demokrasi kadangkala mengalami kemunduran. “Itu ditandai dengan maraknya pelanggaran terhadap kebebasan berkumpul, berpendapat dan berekspresi yang terjadi belakangan ini, itu paradoks dengan reformasi,” urainya.

Gufron berpendapat kondisi itu berkaitan dengan meningkatnya peran militer dalam menangani urusan keamanan di dalam negeri. Masyarakat bisa melihat itu secara jelas misalnya militer terlibat dalam mengamankan demonstrasi buruh, mengamankan fasilitas publik seperti stasiun kereta api dan penggusuran. “Sekarang dengan dalih ancaman “Komunisme” militer melakukan pembredelan dan penangkapan terhadap masyarakat sipil,” tukasnya.

Dalam legislasi, upaya mengembalikan peran militer seperti era Orde Baru juga terlihat. Misalnya, lewat RUU Keamanan Nasional militer bisa masuk ke ranah keamanan dalam negeri, begitu pula dengan RUU Terorisme.

Gufron menegaskan tugas militer sudah sangat jelas diatur dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Regulasi itu mengatur pelibatan militer untuk urusan dalam negeri harus melalui keputusan otoritas sipil yaitu Presiden. “Reformasi telah mengembalikan militer sesuai perannya yakni pertahanan. Militer harus kembali ke barak,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait