KPK Kembangkan Suap Raperda ke Dugaan "Barter" Izin Reklamasi
Berita

KPK Kembangkan Suap Raperda ke Dugaan "Barter" Izin Reklamasi

KPK pertanyakan, apa dasar hukum "barter" izin reklamasi dengan tambahan kontribusi.

Oleh:
NOV/ANT
Bacaan 2 Menit
Proyek reklamasi Teluk Jakarta. Foto: RES
Proyek reklamasi Teluk Jakarta. Foto: RES
Kasus dugaan suap pembahasan Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Jakarta Tahun 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta yang kini disidik KPK berkembang ke dugaan "barter" atau timbal balik pengeluaran izin pelaksanaan reklamasi.

Dugaan "barter" yang dimaksud adalah dugaan pemberian tambahan kontribusi 15 persen dari pengembang dengan penerbitan izin pelaksaan reklamasi. Dalam hal ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta meminta tambahan kontribusi di awal sebelum penerbitan izin pelaksanaan reklamasi oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Atas temuan-temuan baru tersebut, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, terbuka peluang untuk mengembangkan kasus ini lebih lanjut. "Jadi, kita sedang menelusuri dasar hukumnya barter apa? Ada atau tidak payung hukumnya. Proses sedang berjalan lah. Dari situ, nanti kita melangkah. Makanya, digali, mudah-mudahan kita bisa temukan," katanya, Kamis (12/5).

Di samping itu, Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati Iskak menjelaskan, meski penyidik hingga kini masih fokus pada dugaan suap pembahasan Raperda, pengembangan kasus dimungkinkan berdasarkan keterangan-keterangan para saksi. Tentunya, penyidik juga akan mendalami semua hal yang terkait dengan izin reklamasi.

Sebenarnya, mengenai "barter" ini sudah pula ditanyakan penyidik dalam pemeriksaan mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi. Mengacu pernyataan pengacara Sanusi, Krisna Murthi, di ujung pemeriksaan, penyidik sempat menanyakan apakah Sanusi mengetahui tentang penggusuran Kalijodo yang dibiayai pihak swasta (pengembang reklamasi).

Namun, Krisna mengaku kliennya kaget ketika ditanyakan hal itu. Ia mengungkapkan, Sanusi tidak tahu-menahu mengenai apa komitmen antara pengembang dengan Ahok atau pihak Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Sanusi hanya mengetahui mengenai pertemuannya dengan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL), Ariesman Widjaja.

Setidaknya, Ahok telah mengeluarkan empat izin pelaksanaan reklamasi, yaitu PT Muara Wisesa Samudra (cucu perusahaan PT APL) untuk pelaksanaan reklamasi Pulau G, PT Jakarta Propertindo Pulau F, PT Jaladri Kartika Pakci Pulau I, dan PT Pembangunan Jaya Ancol Pulau K. Sebelum Ahok, ada izin pelaksaan reklamasi Pulau C dan D yang telah diterbitkan untuk PT Kapuk Naga Indah (anak usaha Agung Sedayu Group).

Diduga, sebelum mengeluarkan izin, Ahok meminta para pengembang reklamasi menyetorkan tambahan kontribusi di awal. Diduga tambahan kontribusi itu dikonversi menjadi beberapa proyek. Diduga pula ada yang digunakan untuk biaya penggusuran Kalijodo. Padahal, Raperda yang memuat ketentuan tambahan kontribusi 15 persen belum disahkan Akan tetapi, Ahok sudah membantah jika penggusuran Kalijodo menggunakan biaya dari pengembang reklamasi.

Direktur Legal APL Miarni Ang yang hari ini diperiksa KPK pun mengaku tidak tahu-menahu soal adanya pengeluaran dana untuk penggusuran Kalijodo. Herjanto Widjaja Lowardi, pegawai legal APL yang juga kuasa hukum Miarni menambahkan, pihaknya tidak mengetahui bila ada kesepakatan antara APL dan Pemprov DKI Jakarta untuk membayar tambahan kontribusi di awal.

"Sekarang gini, kalau di bayar di depan, kan nggak mungkin lisan, harusnya ada tertulis. Dari dulu Pak Ahok selalu begitu. Kita juga selalu mendukung apa yang dimau Pemprov, karena kita bukan orang yang membangkang. Jadi, jangan berpikiran, jika ada pembahasan itu, kemudian dijadikan isu. Nggak ada. Tolong ingat, untuk APL itu bukan masalah yang harus diungkapkan," terangnya.

Sebelumnya, pengacara Ariesman, Adardam Achyar, melalui pesan singkat kepada hukumonline juga telah membantah jika APL membiayai penggusuran Kalijodo. Ia juga tidak mengetahui perihal realisasi tambahan kontribusi di awal dalam bentuk pembiayaan proyek yang nanti akan dikonversikan dan dikurangkan ke dalam besaran tambahan kontribusi pengembang.

Sebaliknya, Adardam mempertanyakan, bagaimana bisa ada realisasi tambahan kontribusi 15 persen di awal jika Raperda yang mengatur mengenai tambahan kontribusi belum disahkan di DPRD DKI Jakarta. "Kalau bicara 15 persen, kan 15 persen belum disahkan dalam bentuk Perda. Jadi, apa yang mau diimplementasikan?," ucapnya.

Memang, pembahasan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta yang memuat ketentuan kontribusi tambahan 15 persen untuk para pengembang reklamasi masih belum disahkan. Pembahasan Raperda masih terganjal karena belum adanya kesepakatan antara DPRD dan Pemprov DKI Jakarta.

Mulanya, ketidaksepakatan hanya mengenai besaran tambahan kontribusi. DPRD DKI Jakarta meminta agar tambahan kontribusi diturunkan menjadi 5 persen dan dapat diambil di awal dengan mengkonversi besaran kontribusi tersebut. Namun, Pemprov DKI Jakarta masih bertahan dengan besaran tambahan kontribus 15 persen.

Entah mengapa, setelah Sanusi ditangkap KPK atas dugaan suap pembahasan Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Jakarta Tahun 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, ketidaksepakatan DPRD DKI Jakarta beralih ke seluruh poin tentang tambahan kontribusi.

Usai diperiksa KPK beberapa waktu lalu, Ketua Badan Legislasi DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik yang juga merupakan kakak Sanusi sempat menyatakan, tambahan kontribusi tidak mempunyai dasar hukum. Padahal, sebelumnya, DPRD DKI Jakarta justru berupaya menurunkan besaran kontribusi tambahan dari 15 persen menjadi 5 persen dan dapat diambil di awal.

Bahkan, Taufik menambahkan, yang menjadi permasalahan dalam pembahasan Raperda adalah mengenai izin. Ia berpendapat, untuk apa ketentuan terkait izin reklamasi dimasukan di dalam Raperda. Toh, sebelum Raperda disahkan, Ahok telah menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi untuk beberapa pengembang.

Belum diketahui apa maksud pihak DPRD DKI Jakarta. Yang pasti, dalam kasus ini, KPK telah menetapkan tiga orang tersangka, yakni Sanusi, Ariesman, dan Trinanda. Sanusi diduga menerima suap dari Ariesman sejumlah Rp2 miliar melalui Trinanda. Pemberian uang diduga untuk mempengaruhi pembahasan Raperda di DPRD DKI Jakarta.

Dari hasil penangkapan Sanusi, KPK menyita uang sejumlah Rp1,14 miliar. Kemudian, KPK kembali menyita uang sekitar Rp850 juta dari ruang kerja Sanusi dan AS$10 ribu dari brankas Sanusi. Akan tetapi, dugaan suap ini telah dibantah pengacara Sanusi maupun pengacara Ariesman. Uang AS$10 ribu juga diakui Sanusi sebagai hasil bisnis properti. 
Tags:

Berita Terkait