Ini Sejumlah Catatan Terhadap Buku II RKUHP
Berita

Ini Sejumlah Catatan Terhadap Buku II RKUHP

Mulai meningginya ancaman pidana, hingga berpotensi melanggar hak asasi manusia.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih dilakukan antara pemerintah dan Panja RKUHP di Gedung DPR. Kedua belah pihak pun bakal beranjak ke pembahasan rumusan sejumlah pasal dalam Buku II RKUHP. Banyak catatan dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP terhadap sejumlah pasal dalam Buku II RKUHP. 

“Dari sejumlah pasal-pasal tersebut masih ditemukan pengaturan ketentuan umum tindak pidana yang berpotensi menimbulkan perdebatan,” ujar anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Supriyadi W Eddyono, di Jakarta, Kamis (19/5).

Dikatakan Supri, setidaknya beberapa catatan utama Buku II RKUHP antara lain tindak pidana terkait posisi individu terhadap negara. Sebab, dalam rumusan pasal-pasal proteksi terhadap negara cukup menguat. Misal penghinaan presiden, penghinaan terhadap pemerintahan yang sah, dan penghinaan terhadap badan umum.

Kemudian, tindak pidana terkait dengan kepentingan publik. Menurut Supri, aturan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat belum banyak diatur dalam Buku II RKUHP. Misal tindak pidana perdagangan orang, korupsi, kejahatan narkotika dan lainnya.

Tak kalah penting, tindak pidana terkait dengan moral yang cenderung mengalami over kriminalisasi seperti perzinahan, hidup bersama, prostitusi jalanan. Terkait dengan prostitusi jalanan, rumusan Pasal 489 dinilai diskriminasi, sebab hanya menyasar prostitusi jalanan. Sedangkan terhadap pengguna dan mucikari justru tidak tersentuh. Hal itu berbanding terbalik dengan KUHP produk kolonial Belanda yang menyasar korban perdagangan manusia.

Catatan lainnya, meningkatnya ancaman pidana dengan menggunakan pendekatan pemenjaraan. Menggunakan pendekatan pemenjaraan justru bakal memungkinkan kapasitas penghuni lapas maupun rutan bakal meluap. Kemudian, sistem kodifikasi yang diterapkan dalam RKUHP dipandang tidak jelas.

“Dari gambaran problem itu, maka dapat dilihat bahwa Buku II RKUHP bersifat eksesif dan ‘menjajah’ warga negara sendiri pada KUHP buatan kolonial yang saat ini berlaku,” ujar Supri yang juga menjabat Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).

Anggota aliansi, Ahmad Sofian menambahkan doktrin RKUHP terlalu over kriminalisasi. Menurutnya, banyak hal yang berpotensi mempidanakan masyarakat. Akibatnya, masyarakat memiliki kekhawatiran yang sedemikian tinggi. Misal kasus perzinahan, penghinaan dan mengekang kebebasan menyatakan pendapat. Menurutnya, tindak pidana perzinahan dalam RKUHP cenderung eksesif dan over kriminalisasi.

“Yakni, terhadap pelaku perzinahan yang dilakukan tidak terikat hubungan suami istri, ancaman pidana sampai 5 tahun. Artinya, pelaku dapat dilakukan penahanan,” ujarnya.

Dosen Fakultas Hukum Univesitas Bina Nusantara itu mengatakan, kehidupan pribadi masyarakat yang awalnya tidak masuk delik, dalam Buku II RKUHP justru menjadi delik. Ia mengkritisi hal-hal moral yang dijadikan tindak pidana. Mestinya, kata Ahmad, yang berkaitan moral cukup diatur tanpa harus memberikan sanksi pidana.

“Dalam beberapa praktik, pengaturan seperti ini kemudian nyata-nyata menimbulkan persoalan pelanggaran hak asasi manusia yang serius,” ujar pria yang juga menjabat Koordinator Nasional End Child Prostitution Child Pornography and Traficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) itu.

Anggota Aliansi, Andi Muttaqin mencatat ada dua tindak pidana yang pengaturannya cenderung represif. Pertama tindak pidana makar. Menurutnya, dalam Pasal 222 – Pasal 227 Buku II RKUHP seseorang dapat dipidana meski belum memenuhi unsur ‘penyerangan’. Dengan kata lain, dalam Buku II RKUHP, tindak pidana subversif dihidupkan kembali. Kedua, terkait dengan ideologi.

Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Maysarakat (ELSAM) itu berpandangan, pengaturan terkait ideologi terbilang serampangan. Misal, ketika sekelompok orang berdiskusi terkait dengan beragam ideologi dapat dijerat pidana. Dampaknya, aturan tersebut justru dapat mengekang kebebasan hak asasi manusia.

Kemudian, Pasal 219 – Pasal 220 mengatur penyebaran ajaran komunisme dan marxisme dipandang bakal menimbulkan perdebatan. Sebab rumusan pasal tersebut tidak jelas. Sehingga dapat dijadikan alat pelanggaran hak asasi manusia berpa pengekangan model baru.

Direktur Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Choky Ramadhan, menilai banyak pasal dalam RKUHP mesti sinkron dengan perkembangan jenis tindak pidana dan mesti ditegakkan dalam penegakan hukum. Sebab bila tidak, maka masyarakat tak akan percaya dengan sistem hukum yang ada.

Selain itu, banyaknya pasal krusial dikhawatirkan bakal bertentangan dengan program pemerintahan Joko Widodo yang ingin mengurangi jumlah narapidana di Lapas. Pasalnya, bukan tidak mungkin banyak aturan yang masuk ke ranah privat memungkinkan banyak orang masuk ke balik jeruji besi.

“Kalau aturannya seperti itu apakah sejalan dengan program Jokowi yang akan mengurangi narapidana,” kata Choky.

Tags:

Berita Terkait