Dipolisikan Notaris, 2 Advokat Duduk di Kursi Terdakwa
Utama

Dipolisikan Notaris, 2 Advokat Duduk di Kursi Terdakwa

Terkait kasus dugaan pemalsuan surat dan penghinaan.

Oleh:
KAR/YOZ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Dua orang advokat, Sudarmono dan Sutarji, tengah duduk di kursi pesakitan di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Keduanya terjerat kasus dugaan pemalsuan surat dan penghinaan. Sudarmono dan Sutaji didakwa melanggar Pasal 263 serta Pasal 311 dan Pasal 317 KUHP juncto Pasal 55 KUHP.

Menurut kolega kedua advokat tersebut, Rizal Haliman, kasus yang membelit Sudarmono dan Sutarji bermula dari laporan seorang notaris bernama Mashudi ke pihak Kepolisian. Laporan ini, menurut Rizal, sebagai buntut dari langkah Sudarmono dan Sutarji yang mengadukan Mashudi ke Majelis Pengawas Daerah Notaris (MPDN) Gresik atas dugaan pelanggaran kode etik notaris terkait jual beli tanah antara seorang pembeli dengan sepuluh orang ahli waris.

“Sudarmono dan Sutarji adalah advokat yang menerima surat kuasa khusus bertindak untuk dan atas nama kliennya untuk mengadukan perbuatan seorang notaris dalam proses pembuatan akta. Jadi bukan aktanya yang dipermasalahkan, tetapi proses pembuatan akta itu dianggap melanggar prosedur ketentuan UU No.2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris,” kata Rizal yang juga Ketua DPD Kongres Advokat Indonesia (KAI), kepada hukumonline, Kamis (19/5).

Lebih lanjut Rizal menjelaskan, di dalam suratnya pada tahun 2014 lalu Sudarmono dan Sutarji mengadukan dua dugaan pelanggaran etik Mashudi. Pertama, di dalam akta tertulis bahwa para pihak menghadap notaris. Padahal, pada kenyataannya justru notaris yang menghadap para pihak.

Kedua, di dalam akta ditulis bahwa pihak penjual telah menerima secara lunas atas pembayaran dalam ikatan jual beli sebesar Rp600 juta. Kenyataannya, menurut Rizal hanya dibayar sebagian dan tidak lunas. Sebagian pun dibayarkan hanya kepada beberapa ahli waris. Bukan secara keseluruhan.

“Di dalam fakta persidangan pemeriksaan terhadap Sudarmono dan Sutarji, ternyata terungkap bahwa pembayaran itu hanya dibayarkan kepada 5-6 orang ahli waris saja,” imbuhnya.

Tidak terima diadukan ke MPDN, Mashudi balik melaporkan Sudarmono dan Sutarji ke polisi pada tahun 2015. Laporan Mashudi diproses oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Timur, lalu Sudarmono dan Sutarji ditetapkan sebagai tersangka.

Penetapan tersangka tersebut sempat dilawan oleh Sudarmono dan Sutarji dengan mengajukan permohonan praperadilan. Namun, permohonan itu kandas. Sudarmono dan Sutarji pun dijebloskan ke penjara. Saat ini, proses persidangan masih berjalan dengan agenda pemeriksaan saksi.

Rizal menyesalkan pihak kepolisian yang menyidik perkara ini langsung menetapkan keduanya sebagai tersangka tanpa pernah meminta keterangan yang bersangkutan dalam kapasitas sebagai saksi. Ia mengingatkan, seharusnya penyidik dalam menindaklanjuti laporan masyarakat juga melakukan kajian dan evaluasi. Sehingga, tidak ada prosedur yang dilanggar.

“Mereka langsung ditetapkan sebagai tersangka tetapi sebelumnya tidak pernah dipanggi untuk dimintai keterangan sebagai saksi. Ini jelas melanggar Peraturan Kapolri,” tandas Rizal.

Nasib naas yang menimpa Sudarmono dan Sutarji mengundang solidaritas dari kolega sesama advokat. Senin (16/5), sejumlah advokat yang tergabung dalam Forum Advokat Indonesia (FAI) menggelar aski di depan Gedung PN Surabaya.

Dalm aksinya, FAI menyuarakan tuntutan agar Sudarmono dan Sutarji yang merupakan anggota PERADI Sidoarjo itu dibebaskan. Menurut FAI, apa yang dialami kedua koleganya itu telah menciptakan preseden buruk bagi para advokat yang sedang menjalankan profesinya, dalam membela masyarakat pencari keadilan. FAI tegas menyebut Sudarmono dan Sutarji mengalami kriminalisasi.

Rizal yang juga menjadi vocal person FAI mengatakan, kalau surat pengaduan Sudarmono dan Sutarji itu melanggar KUHP, berarti sebelum dia melanggar norma KUHP dia harus melanggar norma etika etika. Sehingga, sebelum dilaporkan di polisi, diuji dulu etikanya.

“Sepanjang dia tidak diuji etika profesinya, dia patut dilindungi oleh ketentuan Pasal 16 UU Advokat. Tidak bisa dilakukan pemidanaan maupun gugatan perdata. Karena yang bersangkutan mendapat surat kuasa yang isinya bertindak untuk dan atas nama. Hakim harus mengetahui hal ini, karena tidak hanya berpatokan pada norma tetapi juga pada dogmatika dan konsep hukum yang ada. Harus bisa membedakan kapan KUHP berlaku dan UU Advokat menjaga advokat dalam melakukan pekerjaannya,” katanya.

Sementara itu, Mashudi enggan memberikan komentar terkait kasus ini. Dihubungi hukumonline, Mashudi yang berada di acara Kongres Ikatan Notaris Indonesia (INI), di Palembang, mengaku sedang lelah dan ingin beristirahat. “Sementara saya minta maaf dulu. No comment. Kalau mau tahu persis kasusnya, lihat di persidangan saja,” kata Mashudi.

Sebelumnya, hukumonline sempat menghubungi beberapa pimpinan INI Surabaya, Jawa Timur. Namun, mereka tidak ada yang bersedia diwawancara terkait kasus ini.

Tags:

Berita Terkait