Kejaksaan Harus Patuh Putusan MK Tak Boleh Ajukan PK
Berita

Kejaksaan Harus Patuh Putusan MK Tak Boleh Ajukan PK

Mahkamah Agung juga mesti menolak setiap PK yang diajukan jaksa.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Mahkamah Konstitusi telah memutus bahwa kejaksaan tidak diperbolehkan mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK) dalam perkara pidana. Putusan itu semakin mempertegas larangan jaksa mengajukan PK. Oleh sebab itu, institusi kejaksaan mesti patuh dan tunduk terhadap putusan lembaga konstitusi tersebut, terlepas Jaksa Agung berkeberatan dengan putusan tersebut.

“Tidak ada urusan dengan Jaksa Agung. Harus patuh itu, mau tidak mau siapa pun itu Jaksa Agung harus patuh pada putusan tersebut,” ujar Ketua Badan Legislasi (Baleg), Supratman Andi Agtas, di Gedung DPR, Kamis (19//5).

Menurut Supratman, putusan MK tersebut menegaskan norma pada Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal itu menegaskan bahwa jaksa tidak berwenang mengajukan upaya PK. Sebab, upaya PK menjadi hak dari terpidana dan ahli warisnya. Ia menilai bila dari dulu kejaksaan taat hukum tidak mengajukan PK, maka tak perlu ada pengujian uji materi Pasal 263 ayat (1) yang diajukan Anna Boentaran, istri terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali Djoko S Tjandra senilai Rp904 miliar.

“Itu norma yang sudah menegaskan bahwa jaksa tidak boleh melakukan PK, jadi hukum luar biasa PK itu hanya di tujukan pada terpidana maupun ahli warisnya, itu saja selesai di situ,” ujarnya.

Anggota Komisi III DPR itu berpendapat, putusan MK tersebut akan mempertegas aturan dan norma dalam Rancangan KUHAP. Perkara pidana berbeda dengan perdata. Di beberapa kasus perdata, kejaksaan mewakili negara dapat mengajukan PK sebagai asas keseimbangan. Lain halnya dengan perkara pidana, jaksa tegas tidak diperbolehkan mengajukan upaya hukum luar biasa PK. Jaksa hakikatnya sudah diberikan kekuasaan melakukan hukum luar biasa dalam bentuk kasasi. Upaya hukum luar biasa di atasnya menjadi hak khusus bagi terpidana.

Putusan MK memang tidak spesifik terhadap perkara khusus, namun putusan MK dalam konteks seluruh perkara pidana. Terlepas perkara pidana dan khusus, PK menjadi hak terpidana. Putusan MK tersebut pun tidak berlaku surut. Dengan kata lain, dalam kasus Djoko S Tjandra, negara mesti mengeksekusi. Pasalnya, terhadap putusan pengadilan yang sudah menyatakan terbukti bersalah maka Djoko mesti dieksekusi.

“Menurut saya tidak bisa, apapun mau salah mau benar putusan pengadilan kembali menyatakan itu sudah dinyakan bersalah harus di laksanakan. Untuk yang akan datang jaksa tidak boleh mengajukan PK,” kata politisi Partai Gerindra itu.

Dosen Fakultas Hukum Univesitas Bina Nusantara, Ahmad Sofian, mengamini pandangan Supratman. Menurutnya, putusan MK hanya mempertegas Pasal 263 ayat (1). Ia menilai sejak adanya KUHAP, jaksa tak memiliki kewenangan mengajukan upaya luar biasa PK dalam perkara pidana. Preseden pengajukan PK oleh jaksa bermula pada kasus Muchtar Pakpahan, di mana PK jaksa dikabulkan Mahkamah Agung di era 90-an. Sejak itulah, seakan menjadi yursiprudensi dalam beberapa kasus berikutnya kejaksaan mengajukan PK.

Tak hanya jaksa, kata Ahmad, Mahkamah Agung mesti menindaklanjuti dengan menolak PK yang diajukan jaksa. Menurutnya, Korps Adhiyaksa mesti patuh terhadap UU, dalam hal ini putusan MK telah menjadi UU yang mengikat. Begitu pula dengan Mahkamah Agung yang selama ini memproses PK yang diajukan jaksa. MA pun tak boleh lagi menerima PK jaksa.

“Atas putusan MK, MA pun tidak boleh lagi menerima PK jaksa. Kejaksaan harus patuh terhadap UU, jangan lagi jaksa mencari celah,” ujarnya

Pria yang juga menjabat Koordinator Nasional End Child Prostitution Child Pornography and Traficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) itu mahfum bahwa kejaksaan mewakili setiap rezim yang berkuasa. Namun begitu, terhadap putusan akhir di tingkat kasasi Mahkamah Agung dalam perkara pidana, jaksa tak boleh lagi mencari celah. Sebab bila masih dilakukan PK oleh jaksa, masyarakat yang sudah diputuskan di tingkat kasasi akan resah.

“Sehingga orang yang sudah dibebaskan MA itu resah, karena jaksa itu mewakili rezim. Perasaan orang yang dibebaskan karena ada kekhawatiran jaksa bisa melakukan PK. Seharusnya Mahkamah Agung menilai bahwa jaksa tidak berkompeten mengajukan PK,” pungkasnya.

Sebelumnya, Jaksa Agung HM Prasetyo berpendapat PK yang diajukan jaksa lantaran mewakili kepentingan masyarakat umum, korban dan negara. Menurut Prasetyo, jaksa mencari kebenaran dari dua sisi, yakni pelaku dan korban. “Sekarang dengan putusan MK di mana jaksa tidak bisa PK, ya satu hal yang mempersulit upaya mencari keadilan dan kebenaran,” ujarnya.

Mantan Jampidum itu menilai, larangan jaksa dapat mengajukan PK sebagai langkah mundur dalam penegakan hukum. Pasalnya, putusan MK dipandang tidak memperhatikan rasa keadilan para korban tindak pidana korupsi mau pun tindak pidana lainnya. Dengan begitu, putusan MK seolah memberikan perlindungan terhadap pelaku tindak kejahatan, termasuk pelaku korupsi.

“Sementara melupakan adanya sisi lain pencari keadilan, yaitu korban kejahatan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait