MA: Larangan Jaksa Ajukan PK Mengikat Kejaksaan
Berita

MA: Larangan Jaksa Ajukan PK Mengikat Kejaksaan

Putusan MK ini diperkirakan akan dibahas dalam rapat kerja teknis Kejaksaan terkait apakah Jaksa masih dibolehkan mengajukan PK terhadap perkara yang sedang berjalan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Juru Bicara MA, Suhadi (kanan). Foto: Sgp
Juru Bicara MA, Suhadi (kanan). Foto: Sgp
Mahkamah Agung (MA) menganggap terbitnya yang melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali (PK) lebih mengikat lembaga Kejaksaan. Sebab, pengajuan PK ini, sikap MA bergantung dari Kejaksaan apakah dia akan mentaati putusan MK itu atau tidak.   “Kalau putusan MK melarang Jaksa mengajukan PK, ya dengan sendirinya MA (Majelis, red) tidak akan menerima pengajuan PK Jaksa. Sebab, putusan MK ini lebih mengikat lembaga Kejaksaan karena Jaksanya yang dilarang mengajukan PK,” ujar Juru Bicara MA Suhadi di gedung MA, Jum’at (20/5).   Dia mengakui adanya Pasal 263 ayat (1) KUHAP ini lantaran dalam praktik MA pernah menerima pengajuan PK yang diajukan Jaksa yang dianggap sebagai yurisprudensi. U           Kejaksaansebagai wakil negara harus melindungi kepentingan umum ketika ada esensi keadilan yang terganggu termasuk mengajukan PK ke MA.

Sebelumnya, MK memutus konstitusionalitas Pasal 263 ayat (1) KUHAP) yang dimohonkan Anna Boentaran, istri terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali Djoko S Tjandra senilai 904 miliar. Intinya, MK menegaskan Penuntut Umum tidak bisa mengajukan permohonan PK, kecuali terpidana atau ahli warisnya sesuai bunyi tafsir Pasal 263 ayat (1) KUHAP itu.

Pasal 263 ayat (1) KUHAP berbunyi “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”

MK menganggap permohonan PK hanya dapat diajukan terpidana atau ahli warisnya terhadap putusan pemidanaan. “Esensi landasan filosofis lembaga PK ini ditujukan untuk kepentingan terpidana atau ahli warisnya sebagai bentuk perlindungan HAM, bukan kepentingan negara atau korban,” demikian bunyi pertimbangan hukum putusan.

Apabila Jaksa masih tetap diberikan hak mengajukan PK, padahal sudah diberi hak mengajukan upaya hukum biasa (banding dan kasasi), justru menimbulkan ketidakpastian hukum sekaligus tidak berkeadilan. Karena itu, demi kepastian hukum yang adil dipandang penting menegaskan kembali Pasal 263 ayat (1) KUHAP konstitusional sepanjang tidak dimaknai lain selain dimaknai PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya dan tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas atau lepas.

Soalnya, dalam praktik MA masih menerima permohonan PK yang diajukan Jaksa terlepas dikabulkan atau ditolak. Kondisi ini telah menimbulkan silang pendapat di kalangan akademisi dan praktisi hukum apakah Jaksa berhak mengajukan PK atas putusan bebas atau lepas yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
 putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016

strict

judicial reviewpaya pengajuan PK Jaksa kerap diterima MA. Pasalnya, MA merujuk putusan No. 55/PK/PID/1996 tanggal 25 Oktober 1996 dan putusan No. 3/PK/PID/2001 tanggal 2 Agustus 2001.

Namun, dirinya belum bisa memastikan apakah MA akan mentaati putusan MK itu karena hal ini otoritas Majelis Hakim Agung yang memeriksa dan mengadili pengajuan PK. “Di MA kan ada majelis yang punya otoritas menerima atau mengabulkan PK yang diajukan Jaksa. Tetapi, tidak bisa juga kalau juru bicara bilang MA tidak akan menerima PK Jaksa, itu otoritas majelis,” kata Suhadi.

Menurutnya, putusan MK itu telah “mengunci” Jaksa mengajukan PK karena Pasal 263 ayat (1) KUHAP sudah diputuskan tidak ada pihak lain yang boleh mengajukan PK, kecuali terpidana atau ahli warisnya. Meski begitu, MA tidak bisa menolak pengajuan PK khususnya yang diajukan Jaksa. Nantinya, kalau proses pendaftaran pengajuan PK Jaksa lolos, Majelislah yang akan menyatakan putusan tidak dapat diterima.

“Kalau Kejaksaan tidak mentaati putusan MK ini, ya silahkan itu kan keputusan lembaga, tetapi diharapkan Kejaksaan mentaati putusan MK itu seperti halnya ketentuan undang-undang,” sarannya.

Sementara pihak Kejaksaan Tinggi Kalimantan mengaku belum mendapatkan arahan atau sikap resmi dari Kejaksaan Agung terkait petunjuk teknis pelaksanaan putusan MK ini. Hal ini disampaikan Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan, Didi Suhardi di sela-sela acara Simposium Nasional dan Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi III yang diselenggarakan Mahupiki-FH Unlam.

Dia memperkirakan putusan MK ini akan dibahas dalam rapat kerja teknis Kejaksaan terkait apakah Jaksa masih dibolehkan mengajukan PK terhadap perkara yang sedang berjalan. Dia mengakuiPasal 263 ayat (1) KUHAP hanya menyebut terpidana atau ahli warisnya. Tetapi, menurutnya 
Tags:

Berita Terkait