Dana CSR Dialokasikan untuk Penegak Hukum, Bolehkah?
Utama

Dana CSR Dialokasikan untuk Penegak Hukum, Bolehkah?

Independensi aparat penegak hukum diuji ketika yag diperiksa adalah manajemen perusahaan pemberi dana CSR.

Oleh:
FITRI N. HERIANI
Bacaan 2 Menit
Kepala PPATK M Yusuf. Foto: RES
Kepala PPATK M Yusuf. Foto: RES
Dana minim dianggap sebagai salah satu kendala penegakan hukum. Biaya penanganan perkara masih relatif minim dibanding kebutuhan yang harus dipenuhi aparat penegak hukum untuk memperkuat alat bukti. Misalnya, menghadirkan seorang ahli.

Berdasarkan sumber hukumonline anggaran lembaga penegak hukum justru berkurang, sebagaimana menimpa lembaga pemerintahan lainnya. Biaya yang disediakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menangani suatu perkara pidana, misalnya perkara lintas pulau, nyaris selalu lebih kecil dibanding biaya riil yang dibutuhkan.

Bagaimana cara mengatasi kekurangan itu. Salah satunya adalah sinergi antarlembaga. Kepolisian misalnya meminta bantuan KPK untuk menangani kasus cetak sawah fiktif di Kalimantan. Untuk foto udara menggunakan satelit membutuhkan biaya 300 juta rupiah. Cara lain yang mungkin adalah mengalokasikan dana hasil corporate social responsibility (CSR) untuk penegakan hukum. Dana CSR yang diberikan perusahaan dialokasikan sebagian untuk lembaga-lembaga penegak hukum, agar tak ada hambatan finansial dalam pelaksanaan tugas mereka.

Kemungkinkan itu disampaikan antara lain Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) M. Yusuf dalam acara pelatihan bersama penanganan perkara tindak pidana korupsi di Bogor, Senin (23/5). Yusuf mengatakan selama ini anggaran yang dialokasikan dalam APBN untuk penegakan hukum, khususnya penanganan perkara, tidak adil. Di satu sisi anggaran minim, tapi di sisi lain ada keharusan menyelesaikan semua perkara yang masuk.

"Selama ini biaya penanganan perkara itu sangat minim, cenderung tidak manusiawi. Bayangkan saja misalnya dia ditangkap dari Banyuwangi, kemudian harus ke Surabaya (untuk sidang) atau antar pulau," kata Yusuf.

Menurut Yusuf, dana CSR yang tersedia cukup banyak. Dana tersebut, lanjutnya, bisa dialokasikan untuk penegakan hukum dan perbaikan rumah dinas. Syaratnya, alokasinya harus diatur dengan jelas. Gagasan Yusuf bukan tak pernah dijalankan. Berdasarkan catatan hukumonline, dana CSR perusahaan sawit pernah diberikan untuk pelatihan kehumasan Polri.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Arminsyah, sepakat atas usulan Yusuf. Menurutnya, banyak perkara yang ditangani Kejaksaan berada di tingkat kabupaten/kota, tapi sidangnya harus di ibukota provinsi. Transportasi antar wilayah itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi jika jaksa harus bolak balik dari satu pulau ke pulau lain untuk mengumpulkan bukti. Gagasan ini, kata dia, perlu mendapat dukungan dari KPK dan Kepolisian.

"Anggaran yang ada untuk Kejaksaan sangat minim. Langkah yang disampaikan Ketua PPATK mungkin perlu dukungan Ketua KPK dan kepolisian. Di samping operasionalnya juga sangat minim, kita tahu banyak perkara yang ditanyani Kejaksaan berada di kabupaten/kota yang sidangnya di ibukota provinsi," jelas Arminsyah.

Niat pengusul mungkin baik. Tetapi ada konsekuensi yang perlu dipertimbangkan sebelum ide mengalokasikan dana CSR ke lembaga penegak hukum diwujudkan. Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yenny Sucipto, mempertanyakan independensi aparat penegak hukum jika mereka mendapatkan dana CSR dari perusahaan. Misalnya, ketika yang diperiksa penegak hukum adalah manajemen perusahaan yang memberikan dana CSR. “Bagaimana independensinya, jika ternyata salah satu perusahaan yang memberikan dana CSR tersangkut perkara?,” kata Yenny kepada hukumonline.

Agar penegakan hukum berjalan maksimal, usul Yenny, Pemerintah dan DPR harus mengalokasikan anggaran dalam porsi besar. Anggaran program-program yang tak masuk prioritas bisa dikurangi, dan dialokasikan untuk penegakan hukum.

Menurut Yenny, anggaran ideal yang harus disediakan pemerintah untuk penegakan hukum adalah 30-40 persen dari total APBN. Tetapi dengan syarat, anggaran tersebut benar-benar diarahkan untuk program-program yang substansi, yakni penanganan perkara. “Tetapi harus diarahkan (anggaran) ke program-program yang substansi, bukan seperti selama ini yang banyak menghabiskan anggaran adalah sosialisasi, monitoring, sehingga dana operasional dalam penanganan perkara banyak yang diamputasi,” tegasnya.
Tags:

Berita Terkait