Chairul Huda: Kembalikan PK Sesuai Ruh KUHAP
Berita

Chairul Huda: Kembalikan PK Sesuai Ruh KUHAP

Ia termasuk salah seorang akademisi yang ahli bidang hukum acara pidana. Lelaki kelahiran 28 Oktober 1970 itu lulus dalam program doktor ilmu hukum Universitas Indonesia dengan predikat cum laude.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Chairul Huda. Foto: RIA
Chairul Huda. Foto: RIA
Dengan keahliannya di bidang hukum acara pidana, Chairul Huda beberapa kali tampil sebagai ahli, baik di sidang perkara umum, perkara tindak pidana korupsi, dan permohonan pengujian Undang-Undang. Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta ini juga menjadi anggota tim penyusun RUU KUHP.

Hukumonline berkesempatan meminta pandangan Chairul Huda atas putusan Mahkamah Konstitusi yang ‘melarang’ jaksa mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Ia mengaku terkejut karena tak menduga putusan demikian keluar. “Saya agak kaget juga permohonan itu dikabulkan,” ujarnya.

Meskipun kaget, penulis buku Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan (2006) itu menilai putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pasal 263 ayat (1) KUHAP sudah tepat. Yang salah justru penyimpangan di dunia peradilan. Rumusan Pasal 263 ayat (1) sudah benar. Sesuatu yang sudah jelas dan benar tak perlu diinterpretasikan macam-macam; clara non sunt interpretanda.
Pasal 263 ayat (1) KUHAP

Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”.

Berikut petikan wawancara hukumonline dengan Chairul Huda yang berlangsung di Banjarmasin, Senin, 16 Mei lalu. Ia menyediakan waktu sesaat sebelum tampil sebagai pembicara pada Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi III yang diselenggarakan Mahupiki dan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat.

Bagaimana Anda menilai putusan MK yang melarang jaksa mengajukan PK?
Putusan itu hanya menegaskan norma yang tersurat dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Karena sekalipun norma itu sudah jelas bahwa PK itu menjadi hak terpidana atau ahli warisnya, tapi praktik peradilan terutama penafsiran dari kejaksaan selalu beranggapan bahwa mereka punya hak mengajukan PK, dan bahkan sudah pernah mengajukan PK. Dilalah, Mahkamah Agung pun dalam beberapa putusan mengatakan bahwa hak itu ada. Tapi beberapa putusan lain menyatakan sebaliknya. Kan gitu. Akhirnya kan menimbulkan ketidakpastian hukum. Akhirnya kemudian, putusan MK terhadap permohonan ini menurut saya sudah tepat.

Kenapa tepat?
Karena menegaskan bahwa norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP itu konstitusional sepanjang ditafsirkan seperti apa yang ada dalam norma itu sendiri. Jadi, tidak boleh ditafsirkan lain.

Bagaimana KUHAP menjamin kepentingan jaksa dan kepentingan terpidana atau ahli warisnya berimbang?
Kalau jaksa kan ada kasasi demi kepentingan hukum. Upaya hukum luar biasa yang bisa dilakukan penegak hukum adalah kasasi demi kepentingan hukum. Itulah pasangan dari peninjauan kembali yang menjadi hak terpidana atau ahli warisnya. Jadi dari sisi korban, juga mendapat perlindungan. Di sisi lain, kalau memang ada hal-hal yang sangat luar biasa, demi kepentingan hukum jaksa bisa mengajukan kasasi sebagai upaya hukum luar biasa, di luar upaya kasasi yang biasa.

(Pasal 260 ayat 1 KUHAP menyebutkan permohonan kasasi demi kepentingan hukum disampaikan secara tertulis oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui Panitera Pengadilan yang telah memutus perkara dalam tingkat pertama, disertai risalah yang memuat alasan permintaan itu).

Kalau bicara implikasi putusan ini, harusnya pengadilan menolak langsung permohonan oleh jaksa?
Menurut saya seharusnya begitu. Tetapi kalau kita lihat historical-nya dalam beberapa hal MA mengabaikan putusan MK. Misalnya ketika dulu MK membatalkan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berkenaan dengan melawan hukum materiil. Tetapi setelah putusan itu banyak juga putusan MA yang tetap saja mengakui perbuatan hukum materiil. Tinggal kita mau melihat apakah masing-masing punya kedewasaan untuk bersikap. Atau, contoh lain, ketika MK membatalkan pasal KUHAP yang menegaskan PK hanya bisa diajukan satu kali. Itu pun katakanlah di-counter MA  dengan surat edaran (SEMA No. 7 Tahun 2014—red)yang menyatakan PK hanya boleh satu kali. Ini kan berada pada persoalan kedewasaan dalam menjalankan peran masing-masing antara MK dan MA. Menurut saya sih begitu.

Jadi, Anda melihatnya lebih sebagai masalah kedewasaan bersikap kedua pelaku kekuasaan kehakiman?
Betul. Sekarang ini kan bisa dikatakan MA juga sudah bersikap bahwa PK tidak bisa diajukan jaksa. MA sudah beberapa kali menolak PK jaksa. Tapi bagaimana itu menjadi sebuah suatu hal yang tidak perlu  MA merasa didikte MK. Kalau saya berpendapat seperti itu. Artinya ketika MK membuat tafsiran atas suatu UU yang nyata-nyata bertentangan dengan tafsiran yang selama ini dianut MA lalu MA merasa didikte oleh MK, sehingga kemudian “nyeleneh”. Ini yang kita harapkan, dewasa saja menyikapi pelaksanaan kewenangan masing-masing.

Dulu PK oleh jaksa bernuansa politik terutama karena kasus Ketua SBSI Muchtar Pakpahan…
Memang pertama mengenai Muchtar Pakpahan. Saat itu dalam rapat kabinet Presiden memerintahkan langsung jaksa agung agar mengajukan PK. Tapi masa itu kan sudah berakhir. Walaupun diikuti kemudian dalam kasus Gandhi Memorial School, Pollycarpus, dan Djoko S Tjandra. Tapi masa itu katakanlan sudah berakhir. Sekarang kita kembalikanlah ke ruh KUHAP. PK disiapkan untuk terpidana atau ahli warisnya.

Saya juga termasuk yang tak setuju putusan MK yang memberi kemungkinan PK berkali-kali. Putusan itu sepertinya politis juga karena yang mengajukan Pak AA dimana Pak AA mungkin menurut sebagian hakim MK teraniaya tetapi dia tidak punya upaya hukum lain lagi. Sehingga pertimbangannya juga menurut saya tidak murni normatif konstitusional karena putusan itu melampaui batas dari apa yang diminta. Pak AA hanya meminta agar PK yang diajukan karena alat teknologi baru dimungkinkan, lalu MK menyatakan PK bisa diajukan berkali-kali. Menurut saya di situ blunder. Makanya ke depan kita harapkan MK juga lebih dewasa dalam mengambil keputusan. MA juga dalam menjalankan perannya juga tidak perlu merasa didikte oleh MK. MK kan pada dasarnya negative legislator. Kalau ada perubahan akibat putusan MK, lihatlah itu sebagai perubahan peraturan perundang-undangan. Selama ini kan MA tidak pernah merasa didikte oleh DPR walaupun DPR (dan Pemerintah—red)yang bikin Undang-Undang. Tapi kok kalau MK yang bikin putusan seolah-olah MA merasa didikte. Menurut saya perlu kedewasaanlah.

Apakah rumusan Pasal 263 ayat (1) perlu diubah dalam RUU  KUHAP?
Menurut saya tidak perlu diubah. Normanya sudah cukup jelas. Praktik peradilannya yang menyimpang, yang menyebabkan norma itu bisa ditafsirkan macam-macam. Terus terang saya agak kaget juga permohonan itu dikabulkan. Pemohonnya sudah ketemu saya meminta saya jadi ahli saya menolak karena menurut saya tidak ada kesalahan norma. Normanya sudah benar. Praktiknya yang keliru. Lalu, MK juga tidak memberi kesempatan kepada pemohon dan pemerintah untuk mengajukan ahli. Tapi langsung diputus. Bayangan saya akan ditolak, ternyata dikabulkan. Ini sesuatu yang positif dari substansi putusannya. Cuma, jangan menjadi preseden seolah-olah suatu norma itu menjadi jelas kalau sudah diputus MK. Kalau undang-undangnya sudah jelas, jangan ditafsirkan macam-macam.
Tags:

Berita Terkait