Menakar Peran Pemerintah dalam Sistem Perbukuan Nasional
Kolom

Menakar Peran Pemerintah dalam Sistem Perbukuan Nasional

Isu perbukuan pada dasarnya adalah instrumen untuk melaksanakan jaminan-jaminan hak warga negara yang sudah diamanatkan oleh UUD 1945 maupun UU, sehingga pengaturannya akan lebih sesuai apabila menggunakan PP atau bahkan Perpres.

Bacaan 2 Menit
Fajri Nursyamsi. Foto: Koleksi Penulis
Fajri Nursyamsi. Foto: Koleksi Penulis
DPR dan pemerintah akan membahas bersama RUU Sistem Perbukuan Nasional. Tujuan dari pembentukan RUU ini adalah untuk melakukan pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, sebagai bagian dari upaya perwujudan tujuan negara, yaitu meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

RUU Sistem Perbukuan Nasional merupakan yang pertama kali dibentuk. UU ini diarahkan untuk mengatur mengenai buku secara terpusat, yang sebelumnya tersebar dalam berbagai peraturan. Gagasan mengenai pembentukan UU Sistem Perbukuan Nasional hadir atas dasar berbagai permasalahan, antara lain harga jual yang tinggi, jaminan kualitas masih rendah, dan ketersediaan buku tidak merata.

Kunci utama dari kondisi itu adalah terlalu dominannya cara pandang yang melihat buku dari perspektif ekonomi, yaitu sebagai produk untuk diperjualbelikan dan memperoleh keuntungan. Masyarakat hanya dipandang sebagai konsumen atau pembeli, bukan warga negara yang dijamin haknya untuk mengembangkan diri, yang salah satunya dapat dilakukan dengan membaca buku. Dalam konteks masyarakat sebagai warga negara, buku dilihat dari perspektif kemanusiaan, yaitu sebagai sarana mendapatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan bagi masyarakat.

Dengan adanya dua cara pandang yang berkembang, dan cenderung bertentangan, maka perlu ada upaya untuk menyeimbangkannya. Kondisinya saat ini, perspektif ekonomi lebih dominan dalam melihat buku sebagai bagian dari sistem perbukuan nasional. Oleh karena itu, perlu ada peran dari pihak yang memiliki tanggungjawab menjamin perlindungan dan pemenuhan hak warga negara, yaitu negara itu sendiri yang dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Dalam hal ini pemerintah dan pemerintah daerah harus diberikan peran, yaitu dengan memberikan tugas dan kewenangan, terutama sebagai regulator.

Dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Sistem Perbukuan Nasional yang diajukan Pemerintah kepada DPR terlihat ada pengaturan mengenai perlindungan atas hak dan kewajiban bagi masyarakat. Hak masyarakat yang diatur dalam pengaturan itu mencakup kemudahan akses, kualitas materi, dan kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perbukuan. RUU Sistem Perbukuan Nasional juga mengatur perihal masyarakat penyandang disabilitas, atau yang diistilahkan sebagai masyarakat berkebutuhan khusus, yang dijamin haknya untuk mendapatkan buku yang sesuai dengan kebutuhan, walaupun tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai bentuk yang dimaksud.

Selain jaminan hak masyarakat, pengaturan lain dalam RUU ini adalah mengenai hak dan kewajiban aktor-aktor yang terkait dalam sistem perbukuan nasional, yaitu seperti penulis, penerjemah, penyadur, dan penerbit, termasuk juga pemerintah dan pemerintah daerah. Dari pengaturan itu terlihat bahwa RUU ini akan mengikat seluruh aktor terkait, sehingga dapat bersinergi dalam mencapai tujuan dari sistem perbukuan nasional. Namun begitu, apabila ikatan terlalu kuat, maka justru bepotensi membatasi ruang gerak, kreativitas, dan inisiatif yang seharusnya menjadi nyawa dari sistem perbukuan nasional.

A. Berpotensi Berjalan Setengah Hati
Pembahasan mengenai suatu RUU, pada dasarnya tidak dapat hanya melihat konteks materiil saja, tetapi juga ada konteks formil yang perlu dipenuhi. Pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011), ada lima materi muatan yang dapat menjadi substansi suatu UU. Pertama, pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945; Kedua, perintah suatu UU untuk diatur dengan UU; Ketiga, pengesahan perjanjian internasional tertentu; Keempat, tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau Kelima, pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Substansi dari RUU Sistem Perbukuan Nasional bukanlah materi yang diamanatkan oleh UUD 1945 maupun UU. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) tidak disebutkan dalam satu pasal pun amanat pembentukan UU Sistem Perbukuan Nasional, bahkan dalam UU itu tidak ada istilah “perbukuan”. Pengaturan mengenai perbukuan ada dalam tingkat Peraturan Pemerintah (PP), yaitu terkait dengan Standar Nasional Pendidikan.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa isu perbukuan pada dasarnya adalah instrumen untuk melaksanakan jaminan-jaminan hak warga negara yang sudah diamanatkan oleh UUD 1945 maupun UU, sehingga pengaturannya akan lebih sesuai apabila menggunakan PP atau bahkan Peraturan Presiden yang materi muatannya adalah pelaksanaan dari ketentuan dalam PP dan sebagai bentuk kebijakan dalam menjalankan pemeirntahan.

RUU Sistem Perbukuan Nasional juga tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian internasional atau tindak lanjut dari Putusan MK. Dengan begitu, hanya ada satu alasan yang dapat mendasari materi muatannya, yaitu pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Namun, untuk memenuhi syarat itu perlu ada penjelasan kebutuhan yang sangat kuat, tidak hanya sekadar kepentingan sepihak atau bahkan hanya untuk mengejar target capaian pengesahan RUU dalam satu tahun.

RUU Sistem Perbukuan Nasional sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016. Hal itu sekaligus menunjukkan adanya kesepakatan antara DPR dan pemerintah untuk segera merampungkan RUU itu pada 2016. Namun, dalam berbagai kesempatan Presiden Joko Widodo menyampaikan perhatiannya terhadap kondisi peraturan perundang-undangan di Indonesia yang sudah terlalu banyak, sehingga cenderung akan mengurangi jumlah dibandingkan untuk terus menambah UU.

Dengan lemahnya dasar materi muatan berdasarkan UU 12/2011, RUU Sistem Perbukuan Nasional akan lebih diarahkan sebagai materi dari Peraturan Presiden. Dengam begitu, ada potensi pembahasan RUU yang setengah hati, dimana DPR tetap bertahan dengan pendiriannya mendorong RUU ini, sedangkan pemerintah lebih mengarahkan kepada pembentukan Peraturan Presiden.

B. Bahaya Perluasan Peran Pemerintah
Pembentukan suatu UU berarti memperkuat peran atau bahkan intervensi dari pemerintah dalam sistem yang akan dibangun. Selain yang sudah disebutkan dalam awal pembahasan, peran pemerintah dalam RUU ini berpotensi melebar, yaitu termasuk dalam aspek pengawasan. Hal itu menjadi menarik karena bangsa Indonesia memiliki pengalaman buruk dalam hal pengawasan terhadap barang cetakan, termasuk buku, oleh pemerintah di bawah naungan UU 4/PNPS/1963. Namun, pengalaman buruk itu telah berakhir setelah UU 4/PNPS/1963 dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010.

Mekanisme pengawasan oleh pemerintah di bawah ketentuan UU 4/PNPS/1963 memberikan kewenangan kepada institusi Kejaksaan untuk mengambil tindakan terhadap buku yang dianggap meresahkan masyarakat, sehingga mengganggu keamanan dan ketertiban.

Pada Pasal 1 ayat (1) UU No. 4/PNPS/1963 diatur bahwa: “Menteri Jaksa Agung berwenang untuk melarang beredarnya barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum.”, sedangkan dalam Pasal 6 UU No. 4/PNPS/1963 mengatur bahwa ”Terhadap barang-barang cetakan yang dilarang berdasarkan Penetapan ini dilakukan pensitaan oleh Kejaksaan, Kepolisian atau alat negara lain yang mempunyai wewenang memelihara ketertiban umum”.

Kewenangan itu menjadi bermasalah karena penilaian bahwa suatu buku dianggap meresahkan menjadi penilaian sepihak dari pemerintah, tanpa diimbangi pembelaan dari sang penanggungjawab, baik penulis atau penerbit. Kondisi itu yang menjadikan aspek pengawasan oleh Pemerintah berpotensi dilaksanakan secara sewenang-wenang, dan berdampak kepada pelanggaran terhadap hak berekspresi dari penulis sebagai warga negara Indonesia. Kewenangan dari Kejaksaan itu justru akan berpotensi menurunkan iklim produktivitas menulis di Indonesia, karena standar objektif selalu sulit untuk disusun, sehingga akan sangat berpotensi dilaksanakan sesuai dengan kepentingan atau subyektifitas para pemegang kekuasaan.

Walaupun begitu, peran pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap sistem perbukuan nasional dapat juga dilihat dari perspektif positif, yaitu untuk menjaga niai-nilai dan menegakkan hukum. Namun, dalam rangka menjunjung tinggi hak setiap orang untuk mengemukakan pemikiran dan pendapatnya, maka pelaksanaan kewenangan tidak dapat dilakukan secara sepihak yang hanya akan mengarah kepada aspek subjektif dari pemegang otoritas.

Cara yang diakui sebagai bentuk penilaian objektif adalah melalui jalan pengadilan. Dalam forum itu, kedua belah pihak akan didengar keterangannya, dan akhirnya akan ada putusan oleh hakim. Selain itu, konteks proses di pengadilan adalah penegakan hukum, yang menganggap semua pihak terlibat dalam posisi yang sama, dan mengedepankan proses pembuktian dibandingkan pada penilaian sepihak.

Pengawasan terhadap sistem perbukuan nasional tidak harus selalu dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah dapat berperan sebagai fasilitator apabila permasalahan sudah tidak dapat diselesaikan di tingkat akar rumput, atau masyarakat. Dengan begitu diharapkan lahir inisiatif partisipasi dari masyarakat sebagai pembaca sekaligus konsumen dari buku yang beredar, untuk ikut melakukan pengawasan terhadap perbukuan. Buku yang tidak berkualitas atau mendapat penilaian yang buruk dari pembaca, maka akan berpengaruh terhadap peredarannya. Dengan begitu, penulis dan penerbit akan berlomba menghasilkan buku yang berkualitas baik, menurut standar pada pembaca. Dengan cara itu pula, budaya saling koreksi akan tumbuh ditengah masyarakat. Apabila hal itu terjadi, maka akan menghasilkan ekosistem perbukuan yang positif di tengah masyarakat.

C. Penutup
Pembentukan UU akan semakin menegaskan peran pemerintah dan pemerintah daerah dalam sistem perbukuan nasional. Pemerintah dan pemerintah daerah harus memprioritaskan menggunakan kewenangannya dalam membuka akses perbukuan kepada semua masyarakat, tanpa terkecuali. Masyarakat perlu difasilitasi untuk mendapatkan buku tanpa ada hambatan, baik karena berada di daerah terpencil, harga yang tinggi, atau hambatan karena bentuk buku tidak akses terhadap ragam disabilitas tertentu.

Dalam aspek pengawasan, Pemerintah tidak lagi dapat menggunakan cara-cara dalam UU 4/PNPS/1963, karena ketentuan itu sudah dinyatakan tidak sesuai dengan Konstitusi. Pengawasan harus membangun mekanisme yang objektif dalam melakukan penilaian, terutama yang menghasilkan suatu sanksi tertentu. Mekanisme yang objektif ini adalah dengan menggunakan jalur hukum, yaitu pengadilan dalam pemberian sanksi. Selain itu, pemerintah justru harus lebih membangun partisipasi masyarakat, sehingga apabila ada permasalahan perbukuan, maka masyarakat didorong untuk melakukan koreksi sendiri, sampai kemudian terbangun pemahaman akan kualitas barang cetakan, terutama buku bagi masyarakat.

Dalam aspek formil, berdasarkan kepada ketentuan materi muatan dalam UU 12/2011, maka seharusnya UU Sistem Perbukuan Nasional dapat didorong menjadi Perpres. Dengan begitu, maka ketentuan dalam Perpres itu dapat mengatur hal yang lebih teknis, dan merujuk kepada PP tentang Standar Nasional Pendidikan. Selain itu, dengan Perpres, maka penanggungjawab, atau pemegang tugas dan kewenangan dapat lebih jelas diserahkan kepada Kementerian terkait, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam hal ini.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Tags: