Ini Catatan Komnas HAM Terhadap Pemenuhan Hak Kelompok Minoritas
Berita

Ini Catatan Komnas HAM Terhadap Pemenuhan Hak Kelompok Minoritas

Masih ditemukan regulasi yang tidak memberi penghormatan terhadap hak-hak kelompok minoritas.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Gedung Komnas HAM. Foto: Sgp
Gedung Komnas HAM. Foto: Sgp
Sebagian warga negara Indonesia yang tergolong dalam kelompok minoritas ternyata belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Itu terlihat dari laporan awal Pelapor Khusus Kelompok Minoritas yang dibentuk Komnas HAM. Ketua Komnas HAM, Imdadun Rahmat, mengatakan dari berbagai isu HAM yang diperjuangkan Komnas HAM, salah satu isu yang paling berat menyangkut soal kelompok minoritas.

Isu kelompok minoritas seringkali memicu kontroversi berbagai pihak sehingga menghambat upaya penegakan HAM. Menurut Imdadun, masyarakat Indonesia secara umum masih awam dalam melihat kelompok minoritas. Sesuatu yang berbeda dengan mainstream atau kebiasaan umum seringkali dianggap asing, abnormal atau kesalahan. Pemahaman itu harus dibenahi karena konstitusi mengamanatkan semua manusia memiliki derajat yang sama sehingga tidak boleh ada diskriminasi atas alasan apapun.

Ditegaskan lagi dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM, termasuk perlakuan dan perlindungan yang sama di depan hukum. Lebih khusus Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi lewat UU No.12 tahun 2005 menegaskan kepada negara pihak untuk menghormati hak-hak kelompok minoritas meliputi etnis, bahasa atau agama. Melihat keberagaman di Indonesia, Imdadun mengatakan Komnas HAM memasukkan beberapa kelompok dalam golongan minoritas seperti penyandang disabilitas, LGBT dan aliran politik minoritas.

Komnas HAM mendorong pemerintah untuk memajukan pemenuhan hak-hak kelompok minoritas. Dengan begitu diharapkan ada perlindungan terhadap kelompok minoritas yang menjalankan keyakinannya dan mengekspresikan identitas mereka masing-masing. “Selain penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, pemenuhan dan perlindungan hak-hak kelompok minoritas juga jadi isu prioritas Komnas HAM,” kata Imdadun di Jakarta, Rabu (01/6).

Komisioner sekaligus pelapor khusus kelompok minoritas Komnas HAM, Nurkhoiron, melihat pemerintah sudah melakukan upaya untuk melakukan pemenuhan, penegakan dan perlindungan HAM kelompok minoritas. Itu bisa dilihat dari berbagai regulasi dan kebijakan yang diterbitkan. Misalnya, Kementerian Sosial mendefenisikan kelompok minoritas sebagai bagian dari penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) sebagaimana diatur dalam Permensos No.8 Tahun 2012.

Kementerian Dalam negeri menggolongkan kelompok minoritas sebagai bagian dari masyarakat tuna sosial yaitu waria, gay, lesbian dan orang dengan HIV-AIDS. Itu dapat ditemui dalam Permendagri No.27 Tahun 2014. Implementasi kebijakan di tingkat kementerian itu menunjukan kelompok minoritas dalam cakupan ras, etnis, agama, orientasi seksual dan disabilitas menjadi sasaran program pemerintah.

“Tapi berbagai kebijakan tingkat kementerian itu belum didasarkan pada pemenuhan HAM (right based policy),” ucap Nurkhoiron.

Lebih jauh Nurkhoiron menekankan pemerintah perlu mengakomodir perlindungan minoritas penyandang disabilitas dan orientasi seksual sesuai instrumen internasional seperti Convention On Rights of Peoples With Disabilities (CRPD) dan Jogjakarta Principle tahun 2006.

Perlindungan terhadap kelompok minoritas di Indonesia sejak reformasi dimulai oleh Presiden B.J Habibie dengan menerbitkan Inpres No.26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi. Tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres No.6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres No.14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina.

Lewat UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang diperbarui oleh UU No.24 Tahun 2013 secara hukum mencabut ordonansi tentang administrasi berdasarkan atas penggolongan kebangsaan, ras dan agama. Pengakuan atas hak identitas kelompok dan budaya Tionghoa kembali ditegaskan dengan pencabutan SE Presidium Kabinet Ampera No.SE-06/Pres.Kab/6/1967 melalui Keppres No.12 Tahun 2014.

Dalam rangka melindungi ras Papua (Melanesia) pemerintah menerbitkan UU tentang Otonomi Khusus. Regulasi ini menurut Nurkhoiron melindungi secara khusus orang asli Papua (OAP). Tapi pelaksanaannya masih diskriminatif, misalnya, di bidang ekonomi, pemerintah memberi ruang yang sangat kecil bagi OAP untuk mengembangkan ekonominya. Begitu pula dengan perbankan, sulit memberi kredit bagi OAP. “Di pasar-pasar OAP berjualan di trotoar jalan, mereka tidak menikmati fasilitas perumahan pasar yang dikuasai oleh non Papua,” urainya.

Diskriminasi dialami kelompok minoritas etnis yang mempertahankan agama leluhur mereka. Nurkhoiron menjelaskan UU No.23 Tahun 2006 tentang Adminduk dirancang untuk memberikan jaminan kesetaraan setiap warga dalam layanan administrasi kependudukan tanpa memandang latar belakang agama. Jika seorang warga menganut agama yang belum dicatat oleh negara, kolom agama tidak perlu diisi.

Tapi PP No.37 Tahun 2007 sebagai peraturan pelaksana UU Adminduk membuka peluang diskriminasi dan menyulitkan pelayanan perkawinan bagi penganut aliran penghayat. Sebab regulasi itu mengatur perkawinan yang sah yaitu disahkan oleh pemuka penghayat yang memiliki organisasi yang terdaftar.

Ada sejumlah daerah yang tergolong baik dalam memberikan pelayanan publik termasuk kepada kelompok minoritas. Diantaranya pemerintahan Kota Surakarta dan pemerintahan Kabupaten Wonosobo. Pelayanan publik terutama administrasi kependudukan di kedua daerah itu cukup baik dalam menghapus diskriminasi. Jaminan hak untuk kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender sampai sekarang menurut Nurkhoiron masih kontroversial.

Walau konstitusi dan berbagai instrumen hukum menyatakan persamaan warga negara di depan hukum, tapi kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender kerap jadi sasaran persekusi. “Label 'penyimpangan' terhadap identitas orientasi seksual menjadi titik awal rangkaian pelanggaran HAM terhadap kelompok minoritas gender dan orientasi seksual,” paparnya.

Bahkan Nurkhoiron mencatat pelanggaran HAM terhadap kelompok LGBT dapat terjadi berlapis-lapis. Misalnya, seorang pekerja diketahui gay, dapat dipastikan karirnya pada pekerjaan formal terancam. Mereka mudah jadi sasaran pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak. Dalam beberapa kasus pelanggaran HAM terhadap LGBT di masyarakat, ditemukan tidak adanya hak kebebasan berpendapat dan berserikat, layanan kesehatan, pendidikan, partisipasi publik, keimigrasian dan pengungsian serta berbagai hak dasar lainnya.

Di beberapa daerah Komnas HAM menemukan peraturan yang diskriminatif terhadap LGBT diantaranya Perda Provinsi Sumatera Selatan No.13 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Maksiat. Perda Kota Palembang No.2 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran dan Perda Kabupaten Banjar No.10 Tahun 2007 tentang Ketertiban Masyarakat. Kemudian, Perda Kota Tasikmalaya No.12 Tahun 2009 dan Perda Kota Pdang Panjang No.9 Tahun 2010.

Untuk mewujudkan pemenuhan dan perlindungan HAM kelompok minoritas Komnas HAM merekomendasikan pemerintah untuk menjadikan kelompok minoritas sebagai penyandang hak dan subyek hukum yang memiliki hak dan kesempatan yang sama sebagaimana warga negara lainnya. Melakukan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan agar sejalan dengan upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak kelompok minoritas.
Tags:

Berita Terkait