Hukuman Mati Tidak Sesuai dengan Pidana Modern
Berita

Hukuman Mati Tidak Sesuai dengan Pidana Modern

Hukum itu memanusiakan manusia, bukan mengorbankan manusia. Hukuman mati tidak menghargai kemanusiaan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Pemerintah telah melakukan eksekusi terhadap terpidana hukuman mati yang dibagi dalam gelombang 1 dan 2. Ditengarai pemerintah akan melanjutkan eksekusi gelombang 3. Berbagai pro dan kontra bermunculan di masyarakat mengenai eksekusi tersebut. Pihak yang pro beralasan eksekusi itu untuk memberikan efek jera. Sementara kelompok yang kontra menempatkan asas kemanusiaan paling utama dan yang dieksekusi itu mayoritas tidak punya akses terhadap kekuasaan.

Dosen FHUI, Antonius Cahyadi, melihat selama ini argumentasi hukum yang digunakan untuk melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati sangat legalistik dan prosedural. Hukuman mati dalihnya untuk menimbulkan efek jera. Hukuman mati merupakan penghukuman yang lebih bersifat politik daripada hukum. Hukuman mati yang dinyatakan 'sah menurut hukum' maka menjadi mekanisme pengorbanan manusia.

Pihak yang pro menyebut hukuman mati sebagai bentuk keseimbangan antara derita yang dialami korban dan sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku. Menurut Antonius motivasi dalam penerapan hukuman mati yaitu balas dendam. Mestinya motivasi dalam menjatuhkan sanksi hukum itu menghargai kemanusiaan. “Hukum itu memanusiakan manusia. Membatasi kekuasaan agar tidak sewenang-wenang,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Jumat (03/6).

Antonius menyebut hukuman mati merupakan bentuk sanksi yang berkembang sejak puluhan abad lalu. Hukum telah berevolusi, melewati zaman pencerahan. Dalam hukum modern, hukuman mati bukan sanksi hukum yang dapat digunakan untuk menegakkan hukum. Sanksi hukum bukan ajang balas dendam tapi sarana memperbaiki dan mengembangkan kualitas hidup seseorang yang dianggap melakukan kejahatan. Jika pemerintah tetap memberlakukan hukuman mati bisa disebut negara membuat pembunuhan yang direncanakan.

Dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robet, melihat tidak ada alasan yang jelas dari pemerintah dalam menolak grasi yang diajukan para terpidana mati yang dieksekusi pada gelombang 1 dan 2. Pernyataan Presiden Joko Widodo sebelum eksekusi menjelaskan hukuman mati itu yang memutus hakim di pengadilan sedangkan dirinya hanya menolak grasi.

Padahal, dikatakan Robet, harus ada pertimbangan yang jelas kenapa grasi itu ditolak. Menurutnya, itu menunjukan keputusan penolakan grasi dilakukan sebelum Presiden Joko Widodo membaca permohonan grasi yang diajukan para terpidana mati. “Hukuman mati ini lebih berat ke politik daripada hukum,” ucapnya.

Robet mencatat setelah reformasi baru saat ini pemerintah melakukan eksekusi terhadap terpidana mati dengan selebrasi. Itu terlihat dari sikap Jaksa Agung yang melakukan jumpa pers berulang kali terkait eksekusi terhadap terpidana mati gelombang 1 dan 2. Pemerintah berperan penting menghapus hukuman mati. Menurutnya dalam menghapus hukuman mati pemerintah tidak perlu menunggu respon publik.  Seperti yang dilakukan Australia, pemerintah berinisiasi menghapus hukuman mati tanpa melihat respon publik.

Ada kontradiksi di masyarakat terkait hukuman mati. Robet melihat salah satu institusi pemerintah yang tidak dipercaya masyarakat yakni hukum. Tapi ketika institusi hukum melakukan eksekusi terhadap terpidana mati masyarakat seolah mempercayainya. Hukuman mati dianggap bisa menghadirkan ilusi keadilan disaat sebagian besar masyarakat belum mampu merasakan keadilan.

Walau RUU KUHP yang dibahas pemerintah dan DPR mempersempit ruang pelaksanaan hukuman mati, tapi Robet menilai semangat itu tidak digunakan oleh Presiden Joko Widodo. Sehingga eksekusi terhadap terpidana mati gelombang 1 dan 2 tetap berjalan. Bagi Robet hukuman mati bukan hukum tapi kekuasaan zaman purba yang mengambil tempat dalam politik modern. “Adanya hukuman mati berarti kita menyerahkan hak kita secara diam-diam yaitu menyerahkan hidup dan mati kita kepada negara,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait