Periksa Nurhadi, KPK Telusuri Penerima Uang Selain Panitera PN Jakpus
Berita

Periksa Nurhadi, KPK Telusuri Penerima Uang Selain Panitera PN Jakpus

Pemberian uang dari Doddy diduga tidak hanya sekali.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Nurhadi usai menjalani pemeriksaan di KPK. Foto: RES
Nurhadi usai menjalani pemeriksaan di KPK. Foto: RES
Kali ketiga, KPK memeriksa Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi sebagai saksi untuk tersangka Doddy Aryanto Supeno (DAS). Namun, Nurhadi masih tak banyak bicara. Usai diperiksa, Nurhadi yang dikawal beberapa ajudannya berusaha secepat mungkin masuk mobilnya. Nurhadi pun membantah mengenal Doddy. "Tidak tahu," katanya, Jumat (3/6).

Padahal, menurut Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha, pada pemeriksaan kali ini, penyidik mengkonfirmasi soal pemberian uang yang berkaitan dengan pengurusan perkara yang dilakukan Doddy. Penyidik juga mengkonfirmasi soal sejumlah dokumen dan uang Rp1,7 miliar  yang ditemukan saat penggeledahan rumah Nurhadi.

"Berdasarkan informasi, penyidik menduga pemberian uang yang berkaitan dengan pengurusan perkara yang dilakukan DAS tidak hanya sekali dan tidak hanya kepada satu orang. Itu salah satu yang dikonfirmasi kepada yang bersangkutan. Selain itu, dikonfirmasi mengenai sejumlah dokumen dan uang yang ditemukan saat penggeledahan di rumahnya," ujarnya.

Priharsa menjelaskan, berdasarkan informasi yang didapat penyidik, Doddy diduga tidak hanya memberikan uang kepada Panitera PN Jakarta Pusat, Edy Nasution. Masih ada pihak lainnya yang diduga menerima uang dari Doddy. Akan tetapi, ia tidak menjelaskan, siapa pihak lainnya yang diduga menerima uang dari Doddy tersebut.

Memang, pasca penangkapan Edy dan Doddy, KPK langsung melakukan penggeledahan di empat lokasi, termasuk rumah Nurhadi di Hang Lekir, Jakarta Selatan. Dari hasil penggeledahan di rumah Nurhadi, KPK menemukan uang sejumlah Rp1,7 miliar yang terdiri dari pecahan mata uang asing dan rupiah. KPK masih mendalami asal usul uang.

Selain uang, KPK menemukan pula sejumlah dokumen di rumah Nurhadi. Dokumen-dokumen itu diduga dicoba disembunyikan. Bahkan, ada yang disobek-sobek dan dibuang ke kloset toilet. Dari hasil penemuan dokumen tersebut, penyidik berupaya merangkai, hingga tergambar dokumen apa yang dicoba disembunyikan.

Dalam kasus ini, KPK baru menetapkan Edy dan Doddy sebagai tersangka. Namun, KPK membuka penyelidikan baru terkait penemuan uang Rp1,7 miliar dan dokumen di rumah Nurhadi. Beberapa waktu lalu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan bahwa KPK tengah melakukan penyelidikan terhadap Nurhadi.

Nurhadi diduga memiliki keterkaitan dengan kasus Edy dan Doddy. Kedua tersangka ini diduga mengurus sejumlah perkara anak usaha Lippo Group, yakni perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT Kymco Lippo Motor Indonesia dan pailit AcrossAsia Limited melawan PT First Media Tbk (anak usaha Lippo Group).

Terkait pengurusan perkara PK AccrosAsia Limited, Nurhadi diduga menghubungi Edy untuk meminta percepatan pengiriman berkas PK ke MA. Berkas PK itu tercatat masuk ke MA pada 11 April 2016 dan sekarang sedang dalam pemeriksaan tim KHS MA. Nurhadi sendiri sebelumnya telah diperiksa penyidik KPK sebanyak dua kali.

Usai menjalani pemeriksaan, Nurhadi selalu bungkam soal penggeledahan di rumahnya. Begitu pula ketika ditanyakan mengenai komunikasi dengan Edy. Nurhadi hanya menjelaskan dirinya ditanyakan seputar tugas dan fungsi sebagai Sekretaris MA. Selebihnya, Nurhadi tidak menjawab dan hanya berjalan cepat menuju mobilnya.

Setali tiga uang, istri Nurhadi, Tin Zuraida juga bungkam usai menjalani pemeriksaan di KPK. Kepala Pusat Pendidikan Manajemen dan Kepemimpinan Badan Litbang Diklat Hukum MA ini hanya menutupi wajah dengan rambutnya. Tin diperiksa penyidik seputar pengetahuannya terkait dengan kasus di PN Jakarta Pusat dan penggeledahan di rumah Nurhadi.

Walau begitu, Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati, sempat mengungkapkan bahwa Nurhadi diduga pernah bertemu dengan Doddy. Doddy sendiri merupakan pegawai PT Artha Pratama Anugrah. Doddy diketahui pernah menjabat sebagai Direktur di PT Kreasi Dunia Keluarga (anak usaha Lippo Group). Beberapa saksi dalam kasus ini pun pernah menjadi petinggi di anak usaha Lippo Group.

Sebut saja, bos PT Paramount Enterprise International, Eddy Sindoro. Eddy pernah menjadi Komisaris PT Lippo Karawaci Tbk. Eddy juga pernah menduduki jabatan penting di sejumlah anak usaha Lippo Group, seperti Presiden Komisaris PT Lippo Cikarang Tbk, PT Pacific Utama Tbk, PT Lippo Land Development Tbk, Chairman dan Presiden Direktur PT Bank Lippo Tbk, PT Siloam Healthcare Tbk, serta Komisaris PT Multipolar Tbk dan PT Matahari Putra Prima Tbk.

KPK telah mencegah Eddy berpergian ke luar negeri per 4 Mei 2016. Eddy sudah dua kali dipanggil KPK sebagai saksi, tetapi tidak pernah hadir tanpa keterangan. Eddy diduga mengetahui beberapa perkara sengketa yang melibatkan korporasi besar dalam kasus Edy dan Doddy. Eddy juga diduga berhubungan dengan Doddy melalui beberapa perantara yang saat ini sudah diperiksa sebagai saksi.

Beberapa saksi yang diperiksa KPK, antara lain Suhendra Atmadja, Heri, dan Rudy Nanggulangi. Para saksi itu diketahui sebagai mantan-mantan petinggi di anak usaha Lippo Group. Suhendra tercatat pernah menjadi Wakil Presiden Komisaris di Lippo Cikarang dan Presiden Komisaris di Lippo Securities. Sementara, Rudy, pada 2015, menjabat Presiden Komisaris PT Multi Prima Sejahtera Tbk yang dahulu bernama PT Lippo Enterprise Tbk.

Rudy menjabat pula sebagai Presiden Direktur PT Metropolitan Tirta Perdana, sedangkan Heri adalah Komisaris PT Metropolitan Tirta Perdana. PT Metropolitan Tirta Perdana adalah anak usaha PT Multi Prima Sejahtera. PT Metropolitan merupakan salah satu pemegang saham PT Kymco Lippo Motor Indonesia. 
Tags:

Berita Terkait