Regulasi Mengamanatkan Pentingnya Peran Keluarga untuk Masa Depan Anak
Berita

Regulasi Mengamanatkan Pentingnya Peran Keluarga untuk Masa Depan Anak

Pendidikan anak bukan semata tanggung jawab pemerintah, tapi keluarga dan masyarakat turut berperan. Putus sekolah karena miskin atau tidak mampu bukan alasan bagi orang tua tidak menyekolahkan anaknya.

Oleh:
YOZ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id
Ilustrasi: sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id
“Harta yang paling berharga adalah keluarga. Istana yang paling indah adalah keluarga…”. Mungkin kita masih ingat bait lagu yang ada di film Keluarga Cemara yang diproduksi tahun 1990-an. Penggalan lirik lagu di atas seakan menggambarkan pentingnya arti keluarga dalam kehidupan sehari-hari. Ya, semua berawal dari keluarga.

Keluarga memiliki peran penting dalam menciptakan generasi penerus bangsa. Bila sebelumnya keluarga adalah satu-satunya institusi untuk mempersiapkan anak agar dapat hidup secara sosial dan ekonomi di masyarakat, sekarang keluarga dikenal sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama dalam mengembangkan dasar kepribadian anak.

Cepat atau lambatnya kemajuan yang dilakukan keluarga dalam mendidik anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan masyarakat. Selain sekolah, peran orang tua menjadi faktor penting bagi motivasi belajar anak. Keseimbangan antara pendidikan yang didapat dalam keluarga dengan di sekolah perlu diperhatikan. Soalnya, di sekolah anak akan bersosialisasi dengan lingkungan yang berebeda ketika dia berada di rumah. Untuk itu, orang tua harus mampu mengawasi dan mengarahkan si buah hati.  

Pada dasarnya, tidak ada alasan anak-anak di Indonesia putus sekolah. Apalagi, pemerintah telah memberikan bantuan bagi keluarga yang tidak mampu melalui berbagai program. Sebut saja program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Secara umum BOS bertujuan untuk mewujudkan layanan pendidikan menengah, khususnya jenjang SMA yang terjangkau dan bermutu bagi semua lapisan masyarakat. Secara khusus BOS bertujuan untuk mengurangi angka putus sekolah SMA.

Dengan adanya program tersebut, putus sekolah karena miskin atau tidak mampu bukan alasan bagi orang tua tidak menyekolahkan anaknya. Dan pada dasarnya, setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.

Sebenarnya, sudah banyak aturan perundang-undangan yang melibatkan peran keluarga, terutama orang tua dalam pendidikan anak. Pasal 31 ayat (1) dan (2) UUD 1945 ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Sedangkan ayat (2) meyatakan setiap warga negara wajib megikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Kemudian, Pasal 48 UU No.35 Tahun 2014 mengatur bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua Anak. Sedangkan Pasal 49 menyatakan Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Keluarga, dan Orang Tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.

Orang tua juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab diantaranya mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak; dan memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.

Meski tidak ada pasal yang mengatur sanksi pidana bagi orang tua yang mengabaikan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak dalam memperoleh pendidikan, setidaknya orang tua perlu menyadari bahwa perannya bagi anak sangatlah penting untuk menciptakan generasi penerus bangsa. 

Penting Meski Tak Ada Aturan Eksplisit
Memang, belum ada aturan eksplisit soal orang tua yang membiarkan anaknya putus sekolah. Namun dalam praktiknya, ada beberapa contoh kasus orang tua yang dihukum pengadilan karena tidak membiayai pendidikan anaknya sehingga putus sekolah. Hal itu dapat ditemukan dalam Putusan Pengadilan Militer I-02 Medan No: PUT/74-K/PM I-02/AD/V/2012.

Terdakwa sejak Juni 2010 tidak menafkahi istri dan anak-anaknya. Terdakwa menikah lagi dengan wanita lain padahal masih berstatus sebagai suami dari istrinya. Akibat dari perbuatan terdakwa, anaknya yang kedua berhenti sekolah sehingga anaknya terlantar dan istrinya terpaksa menjual barang-barang rumah tangganya.

Akhirnya, hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “Menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga. Hakim menjatuhkan pidana penjara selama dua bulan.” Sebagaimana dimaksud UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).

Contoh lain dapat ditemukan juga dalam Putusan Pengadilan Negeri Soe No: 158/Pid.Sus/2014/PN.SOE. Berdasarkan fakta yang terungkap di pengadilan diketahui bahwa sejak Terdakwa keluar dari rumah meninggalkan istri dan anak-anaknya Terdakwa tidak pernah memberikan biaya untuk kebutuhan hidup istridan anak-anaknya. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, istriharus bekerja kebun dibantu oleh anak-anaknya dan anaknya yang kedua (13 tahun) sempat putus sekolah dengan bekerja sebagai pengojek.

Terdakwa lalu diadili berdasarkan Pasal 49 huruf a UU PKDRT. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan “Menelantarkan Orang Dalam Lingkup Rumah Tangga”. Hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut di atas dengan pidana penjara selama 7 bulan.

Beberapa putusan pengadilan di atas mungkin bisa menjadi pelajaran yang berharga bagi orang tua dalam membesarkan dan mendidik anaknya. Sebagai anugerah Tuhan yang ternilai, kepribadian dan masa depan anak sangat bergantung pada kondisi keluarga, terutama kehidupan orang tuanya.  

Era Digital Penuh Tantangan
Sejatinya, pendidikan nasional telah diatur dan didefinisikan dalam UUNo.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). UU ini berkedudukan sebagai landasan hukum dalam penyelenggaraan setiap sistem pendidikan di Indonesia. Peran keluarga, dalam hal ini orang tua dalam pendidikan tertera dalam Pasal 7 ayat 1 dan 2.

Ayat 1 menyatakan, orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya. Sedangkan ayat (2) menyatakan, orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.

Beleid yang terdapat dalam UU Sisdiknas itu menunjukkan pendidikan anak merupakan tanggung jawab bersama, termasuk di dalamnya keluarga. Orang tua bisa dikatakan sebagai salah satu mitra sekolah, di mana peranan orang tua adalah mempercayakan anaknya untuk lebih baik dan menjadi pribadi yang mampu membawa perubahan positif, baik dalam lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.

Ada banyak hal yang mempengaruhi pendidikan anak, salah satunya adalah teknologi. Di era digital saat ini semua informasi bisa didapat dengan mudah. Di sinilah keluarga harus berperan dominan untuk memonitor seluruh kegiatan anak. Ingat, sudah banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah terkait perkembangan teknologi.

Undang-Undang No.11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), misalnya. Tanpa panduan dari orang tua dalam memanfaatkan teknologi, anak bisa saja terjerat sanksi-sanksi yang ada dalam aturan ini. Bukan tidak mungkin, mudahnya akses ke segala macam situs negatif membuat anak menjadi kecanduan. Situs pornografi, contohnya. Dalam hal ini, pemerintah juga sudah menerbitkan UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi.    

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat, setiap detiknya terdapat 28.258 orang melihat situs porno, setiap detiknya 372 pengguna Internet mengetikkan kata kunci tertentu di situs pencari untuk mencari konten pornografi, dan jumlah halaman situs pornografi di dunia mencapai 420 juta. Data LIPI ini bisa dibilang sangat mengejutkan, dan bisa dibayangkan bagaimana jika separuh atau lebih dari jumlah itu adalah anak-anak.  

Dan yang perlu diketahui keluarga dalam hal ini orang tua adalah, Pasal 27 ayat (1) UU ITE menyatakan, ”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”. Sanksi pidana akan dikenakan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan seperti dinyatakan dalam pasal 27 ayat 1 yakni pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).       

Oleh sebab itu, agar anak terhindar dari pengaruh negatif teknologi, sudah sepatutnya orang tua mendidik anak dengan penuh perhatian. Dan yang paling utama, penguatan ilmu kerohanian dan kebudayaan bagi anak sangat dibutuhkan di masa sekarang. Apalagi, saat ini teknologi seakan menjadi urat nadi masyarakat dalam menjalankan kegiatan sehari-hari.  

Tak bisa dipungkiri, masih ada sebagian orang tua yang berpikir ‘kolot’ bahwa pendidikan anak cukup didapat dari sekolah. Pemikiran ini tentu mesti diluruskan karena sekolah hanya sarana yang sengaja dirancang untuk melaksanakan pendidikan dan tempat berosisialisasi anak. Ilmu pengetahuan memang terus berkembang seiring perkembangan zaman, tetapi peran keluarga terutama orang tua tetap penting sebagai pondasi dasar pendidikan anak.

“Akan lebih baik bila orang tua dapat mengenalkan ritual dan identitas agama kepada anak mereka sejak masih bayi,” begitulah pesan pengamat pendidikan, Prof. DR. H. Arief Rachman, M.Pd.

Tags:

Berita Terkait