Tersesat dalam Fatamorgana Keadilan Warisan Justinian
Fokus

Tersesat dalam Fatamorgana Keadilan Warisan Justinian

Pandangan Barat tentang keadilan harus dibuktikan dengan menentukan siapa pemenang siapa yang kalah. Apakah konsep ini sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila?

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Romli Atmasasmita (tengah) dalam acara Mahupiki di Banjarmasin, Mei 2016. Foto: MYS
Romli Atmasasmita (tengah) dalam acara Mahupiki di Banjarmasin, Mei 2016. Foto: MYS
Sulawesi Tengah telah memberi contoh bagus kepada daerah lain. Kalau ada perkara-perkara ringan, tak perlu harus berujung ke pengadilan negeri. Penanganannya diserahkan dan diputus melalui mekanisme adat. Penanganan melalui adat itu sudah dikuatkan melalui nota kesepahaman antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dan Kepolisian Daerah setempat.

Gubernur Longki Djanggola dan Kapolda Brigjen Pol Rudy Sufahriadi meneken nota kesepahaman itu 20 Mei lalu. Dalam program bersama United Nations Development Programme (UNDP) dan Bappenas, Aceh sudah lebih dahulu membuat kesepahaman yang sama. Dalam rilis UNDP yang diperoleh hukumonline jelas disebut bahwa program ini mengedepankan penyelesaian melalui pendekatan keadilan restoratif (restorative justice)

Penandatanganan MoU di Sulawesi Tengah itu bertepatan dengan berakhirnya penyelenggaraan Simposium dan Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi III oleh Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) dan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat di Banjarmasin. Meskipun berbeda lokasi, tetapi dua perhelatan itu punya benang merah: apakah penyelesaian perkara pidana melalui hukum pidana positif saat ini sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila?

Benang merah bernuansa tanya itu juga disampaikan Ketua Umum Mahupiki, Romli Atmasasmita, saat menutup Simposium di Banjarmasin. Berlebihnya jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan di Indonesia tak lepas dari politik hukum pidana yang terlalu berorientasi pada kriminalisasi. Setiap orang melakukan kesalahan langsung dibawa ke penjara. Perkara kecil dan sepele pun ditarik-tarik ke pengadilan, sehingga berujung ke balik jeruji besi. Hukuman dalam pidana muncul dengan wajah dan semangat balas dendam.

Problem inilah antara lain yang coba diatasi lewat revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Sejauh ini Pemerintah dan DPR sudah berhasil merumuskan isi Buku I. Para pembentuk undang-undang ingin melakukan dekolonialisasi hukum pidana. KUHP yang berlaku saat ini adalah warisan kolonial Belanda sehingga belum tentu sejalan dengan nilai-nilai bangsa Indonesia. Romli menyebut revisi KUHP itu ‘perjuangan untuk memerdekakan dari pengaruh asing’.

Fatamorgana keadilan
Salah satu yang dinilai merasuk ke dalam sistem pengajaran di fakultas hukum adalah tujuan hukum, antara lain memberikan keadilan. Menurut Prof. Romli, keadilan yang dikembangkan adalah Justinian concept of justice, bukan keadilan menurut filosofi bangsa Indonesia. Keadilan menurut Justinian adalah kebajikan yang memberikan hasil bahwa setiap orang mendapatkan apa yang menjadi bagiannya.

Sejak Indonesia merdeka hingga kini Indonesia seolah kehilangan jati diri, dan para ahli hukum tidak bangun-bangun dari mimpi buruk jiwa kolonialisme yang menjiwai hukum pidana dan perdata nasional. Mimpi buruk yang dimaksud Romli adalah ketentuan norma undang-undang dalam lingkup hukum pidana dan perdata lebih mengutamakan konflik dalam menemukan/mencari keadilan daripada perdamaian.

Fatamorgana keadilan telah membelenggu para ahli hukum Indonesia selama puluhan tahun. Keadilan seolah ditentukan berdasarkan penentuan siapa yang menang siapa yang kalah, bukan pada upaya mendamaikan kedua belah pihak ke arah penyelesaian yang saling menguntungkan. “Kita sudah terlalu lama terlena dalam fatamorgana keadilan berdasarkan Justinian concept dan selalu memberikan harapan semu bahwa keadilan hanya dapat tercapat di depan hakim majelis pengadilan”, papar Romli.

Keadilan restoratif  sebenarnya sudah coba diperkenalkan lewat UU No. 11 Tahun 2012  tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Keadilan restoratif membuka peluang bagi kedua belah pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan kasus mereka lewat jalan damai. Dalam hukum pidana ke depan (ius constituendum), konsep perdamaian dimungkinkan. Menurut Prof. Romli Atmasasmita, perdamaian untuk semua pihak adalah tujuan hukum yang cocok dengan semangat dan jiwa Pancasila. Karena itu pula, pembaruan hukum pidana nasional harus diarahkan pada nilai-nilai Pancasila. Bukankah Pancasila itu sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia?

Hukum yang hidup
Contoh alam pikiran Barat yang menghinggapi para ahli dan praktisi hukum Indonesia adalah pembatalan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999  tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Penjelasan Pasal itu karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Konsekuensinya, perbuatan melawan hukum materiil menjadi sulit digunakan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Putusan Mahkamah Konstitusi dianggap terlalu berbasis pada asas legalitas.

Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Penjelasan Pasal 2 ayat (1)  UU Tipikor tak sepenuhnya diikuti hakim di lingkungan Mahkamah Agung. Ada yang percaya bahwa perbuatan melawan hukum tak hanya bersifat formil, sebagaimana dimaknai dari putusan Mahkamah Konstitusi, tetapi juga mungkin bersifat materiil. “Di Indonesia masih berlaku hukum tidak tertulis,” kata Prof. Komariah E. Sapardjaja, mantan hakim agung, dalam acara Mahupiki di Banjarmasin.

Hukum tidak tertulis itulah yang juga menjadi salah satu pusaran perdebatan di Panitia Kerja penyusunan Buku I RUU KUHP. Hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dikesankan vis a visa tau berhadap-hadapan dengan asas legalitas. Asas legalitas mengandung arti suatu perbuatan disebut tindak pidana jika sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan tertulis. Sebaliknya, hukum yang hidup di masyarakat belum tentu tertuang secara tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Namun hukum itu diakui dan diterapkan masyarakat atau komunitas tertentu.

Kelompok yang anti berpendapat konsep hukum yang hidup akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Namun tampaknya ada kesalahpahaman tentang makna kepastian hukum. Ketua Tim Penyusun RUU KUHP, Barda Nawawi Arief, berpendapat yang pasti itu adalah hukumnya. Tak jadi soal apakah hukumnya diatur dalam perundang-undangan nasional, atau dalam norma yang hidup dalam masyarakat. Bagi dia, hukum yang hidup dalam masyarakat juga pasti.

Hukum yang hidup itu juga tak semata berlandas pada KUHP. Hukum positif, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan Undang-Undang ini, hakim wajib menggali hukum yang hidup dalam masyarakat.  Hukum yang hidup dalam masyarakat cenderung dimaknai hukum adat yang masih hidup. UU No. 6 Tahun 2014  tentang Desa juga mengakomodasi hukum adat, seperti halnya nota kesepahaman Pemprov dan Polda Sulawesi Tengah di atas.

Saat menutup Simposium Mahupiki di Banjarmasin, Romli mengajak para akademisi dan praktisi hukum pidana untuk merenungkan kembali konsep yang sudah diajarkan selama puluhan tahun. Jangan sampai para akademisi dan praktisi hukum pidana tetap terlelap dalam mimpi dan tertipu oleh fatamorgana keadilan.
Tags:

Berita Terkait