Harga Pangan Melonjak, Pemerintah Dinilai Salah Urus
Berita

Harga Pangan Melonjak, Pemerintah Dinilai Salah Urus

Ubah kebijakan importasi pangan.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Sawah. Foto: ilustrasi (Sgp)
Sawah. Foto: ilustrasi (Sgp)
Naiknya sejumlah harga pangan jelang Ramadhan merupakan permasalahan klasik, yang dari tahun ke tahun selalu terulang. Fakta ini seakan mengungkapkan bahwa tak ada upaya yang dilakukan pemerintah agar lonjakan harga pangan tidak terjadi setiap jelang Ramadhan.

Jika persoalannya terletak pada permintaan (demand) yang tinggi, Pemerintah seharusnya bisa memprediksi naiknya permintaan dalam momentum keagamaan ini. Tapi kok permasalahan yang sama tetap terulang setiap tahun?

Direktur Eksekutif INDEF, Enny Sri Hartati, menilai Pemerintah sudah salah urus dalam mengelola pangan. Cita-cita Presiden Joko Widodo untuk menciptakan ketahanan pangan bahkan kedaulatan pangan, hanya tinggal sebatas mimpi jika tak ada perbaikan kebijakan.

Menurut Enny, kebijakan pangan saat ini justru menjadi kontradiksi di mata rantai pangan. Akibatnya, di satu sisi harga pangan melambung tinggi, namun di sisi lain justru tak menjadi stimulus dan daya tarik produsen yang pada akhirnya berdampak pada turunnya produksi. "Di saat harga komoditas dunia menurun, harga pangan di Indonesia malah melonjak. Namun hal ini justru tidak mendorong para produsen. Makanya saya bilang, ini bertabrakan dengan teori ekonomi," kata Enny dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (06/6).

Kondisi ini terjadi karena inkonsistensi kebijakan yang hanya mengedepankan pencitraan dan lips service belaka. Pemerintah, lanjut Enny, sejauh ini hanya mengeluarkan kebijakan janga pendek yakni sekedar memenuhi gejolak yang ada di masyarakat. Padahal persoalan pangan tidak bisa diselesaikan saat harga pangan melonjak, namun membutuhkan waktu untuk mencapai kedaulatan pangan. Jawabannya adalah pemerintah harus membuat kebijakan jangka panjang untuk mengelola pangan menjadi lebih baik lagi.

“Kebijakan salah urus ini yang menjadi masalah fundamental mengapa Indonesia sebagai negara agraris terbesar tetapi tidak mampu memenuhi pangan sendiri (ketahanan pangan), apalagi mau memasok pangan dunia,” jelas Enny.

Meski tata niaga pangan Indonesia sudah rusak, Enny menyayangkan dikap Negara yang tidak memperbaiki, tetapi justru lepas tangan. Buktinya, pangan strategis pun diserahkan pada mekanisme pasar.

“Saat negara hadir bukannya memperbaiki market failure. Yang terjadi adalah intervensi dalam menambah market failure. Itu yang terjadi, intervensi yang semakin membuat kegagalan pasar,” ungkapnya.

Ke depan, INDEF berharap kebijakan lebih banyak memberikan insentif ekonomi buat para petani. Karena selama ini, lanjutnya, setiap petani mengalami panen, harga tinggi di pasar tidak berdampak kepada petani

Padahal mestinya, sebagai negara agraris mestinya bisa berkontribusi tak hanya kepada pasar domestik tapi juga pasar internasional. Sementara ada perbaikan dari sisi hulu, pemerintah juga diminta untuk memperbaiki sektor hilir. Sejauh ini, sistem persaingan usaha sektor pangan juga rusak.

Wakil Ketua Komisi IV DPR, Viva Yoga Mauladi, mengimbau Pemerintah mampu menciptakan keadilan pasar. Mekanisme pasar yang terjadi selama ini justru tak menciptakan keadilan bagi pelaku usaha pangan. Ironisnya, Pemerintah justru mengambil langkah untuk mengimpor sejumlah pangan. “Hampir semua komoditas itu impor. Perlu perubahan paradigmatik dalam mengembangkan sektor pertanian,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait