RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Masuk Prolegnas Prioritas 2016
Berita

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Masuk Prolegnas Prioritas 2016

Perdebatan penggunaan istilah kekerasan dan kejahatan akan menjadi pertimbangan. Substansi norma hukum yang tersedia di RUU tersebut mesti berorientasi perlindungan kepada masyarakat, khususnya korban kejahatan seksual.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Desakan masyarakat agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) masuk dalam Prorgram Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2016 tak sia-sia. Badan Legislasi (Baleg) dan pemerintah sepakat memasukkan RUU PKS dalam daftar Prolegnas prioritas 2016 bersama 9 RUU lainnya. Kesepakatan itu diambil setelah rapat antar kedua belah pihak itu digelar pada Senin (6/6).

Wakil Ketua Baleg Firman Subagyo mengatakan, DPR dan pemerintah memiliki pandangan serupa dengan pada kelompok masyarakat yang mengusulkan RUU tersebut. Sejumlah aturan dalam RUU PKS mesti mengatur ancaman sanksi pidana. Perlu juga mengatur apakah sanksi pidana diberikan terhadap mereka yang mengalami kelainan jiwa kemudian melakukan kekerasan seksual.

“Justru negara harus hadir untuk bisa memberikan penyembuhan kepada orang yang mempunyai kelainan jiwa seperti ini. Tetapi kalau itu tidak diatur maka nanti bisa saja orang-orang itu dikenakan sanksi pidana dan berbahaya,” ujarnya.

Dikatakan Firman, RUU PKS mesti dibahas secara hati-hati. RUU PKS mesti memenuhi rasa keadilan terhadap orang yang mengalami kelainan kejiwaan seksual. Oleh sebab itu, dimungkinkan judul RUU akan diubah menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual. “Kelihatannya akan diganti menjadi ‘kejahatan’,” ujar politikus Golkar itu.

Anggota Baleg Rieke Diah Pitaloka berpandangan, RUU PKS memiliki urgensi karena menilik kondisi kekinian dan perkembangan masyarakat. Oleh sebab itu, dibutuhkan aturan yang bersifat lex spesialis terkait penanganan kekerasan kejahatan seksual. Meski mengapresiasi langkah pemerintah menerbitkan Perppu No.1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, namun fakta di lapangan kekerasan seksual tak saja terjadi terhadap anak, bahkan terhadap kalangan perempuan.

Anggota Komisi IX itu berharap dalam RUU PKS nantinya mampu mendefinisikan kekerasan seksual menjadi lebih luas. Selain itu, penanganan kasus kejahatan kekerasan seksual menjadi lebih komprehensif tak saja terhadap korban, namun juga terhadap pelaku dan keluarga. Dalam rapat dengan pemerintah, kata Rieke, pemerintah dapat memahami dan bersepakat untuk mendorong RUU PKS masuk dalam Prolegnas 2016.

“Dengan pemrakarsa adalah DPR,” ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Ketua Fraksi PPP Reni Marlinawati menyambut positif keputusan Baleg dan pemerintah memasukan RUU PKS dalam Prolegnas prioritas 2016. Menurutnya, RUU PKS menjadi kebutuhan mendesak terkait ancaman kejahatan seksual di tengah masyarakat.  RUU PKS pun diharapkan dapat melengkapi Perppu tentang Perlindungan Anak. Ia mengatakan fraksinya sedari awal mendorong agar Perppu dapat diterima oleh DPR untuk diberikan persetujuan menjadi UU.

“Masukan dan koreksi terhadap substansi Perppu dapat dilakukan di waktu mendatang dengan mendorong perubahan UU Perlindungan Anak,” ujarnya, Selasa (7/6).

Istilah kejahatan atau kekerasan
Polemik penamaan judul RUU PKS terkait menggunakan istilah ‘kejahatan’ atau ‘kekerasan’ agar dapat diselesaikan secara komprehensif di tingkat Baleg dengan mendengarkan masukan dari para pemangku kepentingan. Yang pasti, kata Reni, substansi norma hukum yang tersedia di RUU tersebut mesti berorientasi perlindungan kepada masyarakat, khususnya korban kejahatan seksual.

“Selain juga, RUU PKS juga harus didorong dengan adanya sanksi yang keras agar terdapat efek jera kepada pelaku kejahatan seksual,” ujarnya.

Reni yang duduk sebagai anggota Komisi X itu mengatakan, RUU PKS mesti memuat norma terkait dengan upaya primer yang berisi penyadaran masyarakat terhadap bahaya kejahatan seksual. Sedangkan upaya sekunder berisi tindakan pelaku dan korban. Sedangkan upaya tersier fokus terhadap pemulihan jangka panjang bagi korban serta pembinaan terhadap pelaku setelah menjalani masa hukuman. “Dikecualikan terhadap pelaku yang dihukum mati,” ujarnya.

Menurut Firman, makna ‘kekerasan’ dengan kejahatan tentu berbeda. Pasalnya, orang yang mengalami kelainan jiwa saat akan melakukan seksual kerap melakukan kekerasan terlebih dahulu. Jenis orang yang mengalami kelainan jiwa tersebut mestinya disembuhkan bukan sebaliknya diberikan sanksi pidana. Sedangkan kejahatan jelas sudah masuk ranah pidana. “Jadi RUU PKS mesti dibahas secara hati-hati,” pungkasnya.

Untuk diketahui, selain RUU PKS, masih terdapat 9 RUU lainnya yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2016, yaitu RUU tentang Perubahan atas UU No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), RUU tentang Perkelapasawitan, RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Selain itu, terdapat RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), RUU tentang Bea Meterai, RUU tentang Perubahan atas UU No.15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, RUU tentang Narkotika dan Psikotropika dan RUU tentang Kepalangmerahan.

Tags:

Berita Terkait