7 Hal yang Patut Dipahami Terkait Laporan Transaksi Kartu Kredit
Utama

7 Hal yang Patut Dipahami Terkait Laporan Transaksi Kartu Kredit

Kewajiban pelaporan data transaksi kartu kredit mulai berlaku 31 Mei 2016. Tapi tak sedikit pemegang kartu yang belum paham.

Oleh:
FITRI N. HERIANI
Bacaan 2 Menit
Kartu kredit. Transaksinya wajib dilaporkan ke Ditjen Pajak. Foto: SGP
Kartu kredit. Transaksinya wajib dilaporkan ke Ditjen Pajak. Foto: SGP

Sudah sepekan lebih Peraturan Menteri Keuangan No. 30/PMK.03/2016 berlaku. PMK tentang Rincian Jenis Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan ini menjadi dasar hukum pelaporan data transaksi kartu kredit ke Ditjen Pajak Kementerian Keuangan. Kewajiban pelaporan ini rupanya membuat pemegang kartu resah.

Pemegang kartu khawatir kewajiban pelaporan yang berlaku sejak 31 Mei 2016 itu merepotkan. Pemegang kartu akan terbebani, misalnya waktu dan biaya. Direktur P2 Humas Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama, mengatakan ada tujuh hal penting yang perlu diklarifikasi dan dipahami betul tentang kewajiban pelaporan kartu kredit.

Pertama, data nasabah terkait transaksi kartu kredit yang dilaporkan kepada DJP hanya digunakan untuk tujuan perpajakan, dan tidak untuk tujuan yang lain. Sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku Ditjen Pajak memiliki kewajiban untuk menjaga kerahasiaan dan keamanan data yang diterima dari pihak lain.

Kedua, data transaksi kartu kredit akan dimanfaatkan untuk mengawasi kepatuhan perpajakan, yaitu sebagai pembanding atas data penghasilan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Sepanjang seluruh penghasilan pengguna kartu kredit telah dilaporkan dengan benar, jelas dan lengkap, dan tagihan kartu kredit masih dalam batas kewajaran penghasilan pemilik, praktis tidak ada masalah.

Ketiga, dalam hal transaksi kartu kredit secara konsisten melebihi kewajaran penghasilan yang dilaporkan dalam SPT, namun transaksi memang tidak terkait dengan penggunaan penghasilan, misalnya untuk keperluan kantor atau orang lain, petugas pajak tidak akan serta merta menetapkan pajak atas ketidakwajaran transaksi kartu kredit.

Keempat, penetapan pajak akan didahului dengan permintaan klarifikasi, konseling dan himbauan pembetulan SPT, sebelum ditindaklanjuti dengan pemeriksaan pajak. Pada setiap fase, Wajib Pajak pengguna kartu kredit akan diberikan kesempatan mengklarifikasi bahwa penggunaan kartu kredit tidak terkait dengan penghasilannya.

Kelima, data transaksi kartu kredit hanya satu dari ratusan jenis data yang wajib disampaikan oleh 67 institusi kepada Ditjen Pajak. Pelaporan data termasuk data kepemilikan kendaraan bermotor, IMB, kepemilikan hotel/restoran dan izin usaha telah berjalan beberapa tahun dan sampai saat ini relatif tidak ada masalah serius terhadap kepemilikan kendaraan bermotor, pemohon IMB dan pemilik izin usaha.

Keenam, pelaporan data kartu kredit kepada otoritas pajak merupakan praktik yang sudah lama terjadi di negara lain seperti Jepang dan Korea, bahkan sudah mencakup data simpanan (tabungan dan deposito) tanpa adanya dampak negatif terhadap sektor keuangan dan perbankan. Oleh karena itu kekhawatiran terhadap penurunan penggunaan dan transaksi kartu kredit dalam jangka panjang dinilai tidak berdasar.

Ketujuh, Indonesia saat ini sedang menuju era keterbukaan keuangan dan perbankan untuk tujuan perpajakan dengan komitmen untuk melaksanakan automatic exchange of information pada tahun 2018. Dalam era ini, penyampaian data transaksi keuangan dan perbankan kepada otoritas pajak akan menjadi sesuatu yang lazim.

“Kontroversi penyampaian data kartu kredit kepada Ditjen Pajak saat ini merupakan sarana pembelajaran bagi semua pihak untuk menjadi lebih sadar dan patuh pajak dalam menyongsong era keterbukaan keuangan dan perbankan untuk tujuan perpajakan,” jelas Hasta saat konferensi pers di Kantor DJP Pusat, Selasa (07/6).
Tags:

Berita Terkait