Ini Dampak Perbedaan Pandangan Penetapan Justice Collaborator di Pengadilan
Berita

Ini Dampak Perbedaan Pandangan Penetapan Justice Collaborator di Pengadilan

Dipastikan aparat penegak hukum akan mengalami kesulitan karena minimnya bukti dan informasi yang dapat dikembangkan dalam upaya penuntutan.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi W. Eddyono. Foto: hukumpedia.com
Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi W. Eddyono. Foto: hukumpedia.com
Penetapan justice collaborator (JC)terhadap tersangka dan terdakwa yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam membongkar tidak pidana di pengadilan belum memiliki kesamaan pandangan dalam penegakan hukum. Padahal, sejak UU No.13 Tahun 2006 yang diperbaharui menjadi UU No.31 Tahun 2014 tentang LPSK diberlakukan, setidaknya praktik berlangsung sepuluh tahun masih ditemukan permasalahan krusial dalam pemberian reward terhadap justice collaborator di pengadilan.

“Terjadi lagi, perbedaan pendapat di pengadilan soal JC, hakim pengadilan korupsi tidak sepakat dengan JC yang diajukan JPU KPK. Dalam pengadilan korupsi kasus penyuapan anggota Komisi V DPR RI,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W. Eddyono di Jakarta, Jumat (10/6).

Kasus penyuapan itu melibatkan Direktur PT Windu Tuggal Utama, Abdul Khoir. Hakim pengadilan Tipikor menolak Abdul Khoir sebagai JC. Alasan hakim, lantaran Abdul Khoir sebagai pelaku utama. Walhasil, Abdul Khoir pun diganjar hukuman lebih berat dari requisitor penuntut umum. Pengadilan Tipikor Jakarta kali kedua menolak penetapan status justice collabolator yang ditetapkan KPK. Sebelumnya, Pengadilan Tipikor menghukum Kosasih Abbas lebih berat dari tuntutan jaksa.

Pantauan ICJR di 2016 menunjukkan, instrumen JC masih diharapkan pelaku yang berniat membantu aparat penegak hukum membongkar perkara korupsi di pengadilan. Supri berpandangan terjadi perbedaan cara pandang antar aparat penegak hukum atas syarat dan standar dalam berbagai regulasi yang ada.

Misalnya, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Kemudian, UU No.31 Tahun 2014 tentang LPSK dan peraturan bersama Menkumham, Jaksa Agung, KPK, dan Kapolri

“Cara pandang hakim, jaksa, LPSK atas pelaku bekerjsama yang berbeda-beda inilah yang mengakibatkan reward atas pelaku yang bekerjasama sulit di dapatkan, ini juga akibat kurang harmonisnya peraturan soal pelaku yang bekerjasama,” ujarnya.

Pelaku bekerjasama di beberapa institusi di tahun 2016

InstitusiJumlah PermohonanJumlah DikabulkanJumlah DitolakJumlah yang masih proses
KPK212109
LPSK-8--
BNN8-8-
Kejaksaan Agung----
Pengadilan1-1-

Berdasarkan data KPK 2016, terdapat 21 pemohon permohonan tersangka Korupsi yang meminta status JC di KPK. Ketiadaan aturan mengenai persyaratan sebagai pelaku yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam UU No.31 Tahun 2014 menjadi persoalan. Akibatnya, rumusan syarat mesti dicari padanannya dalam beberapa perairan di luar UU. Misalnya, SEMA atau kesepakatan antar lembaga. Hal inilah yang menuyebabkan membuka celah beda pandangan tersebut.

Lebih jauh, Supri berpendapat frasa ‘pelaku utama’ dalam regulasi dinilai kurang tepat. Sebab dimungkinkan bakal menimbulkan banyak penafsiran yang berbeda. Lembaga yang dipimpin Supri pun merekomendasikan agar seluruh institusi penegakan hukum untuk kembali duduk bersama untuk menyamakan pandangan terkait frasa ”pelaku utama” sebagai salah satu syarat dalam penetapan JC.

Bila perbedaan pandangan penetapan JC di pengadilan kerap terjadi, maka harapan mengusung peran JC dalam membongkar perkara bakal surut. Boleh jadi, tersangka maupun terdakwa bakal berpikir ulang bekerjasama dengan penyidik dan penuntut umum di pengadilan. Dampaknya, akan mempersulit tugas penuntut umum dalam mengungkap kasus-kasus besar di pengadilan. Seperti kasus korupsi, narkoba, mau pun kejahatan terorisme.

“Dipastikan akan mengalami kesulitan karena minimnya bukti dan informasi yang dapat dikembangkan dalam upaya penuntutan. Oleh karenanya, penggunaan pelaku yang bekerjasama harus dikembangkan di Indonesia,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait