Pemerintah Diminta Hati-hati Rancang Model Bilateral Investment Treaty
Berita

Pemerintah Diminta Hati-hati Rancang Model Bilateral Investment Treaty

Nantinya harus ditentukan batas negosiasi terhadap model BIT yang telah disusun.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Kavaljit Singh dalam acara peluncuran buku Rethinking Bilateral Investment Treaty di Jakarta, Rabu (8/6). Foto: RES
Kavaljit Singh dalam acara peluncuran buku Rethinking Bilateral Investment Treaty di Jakarta, Rabu (8/6). Foto: RES
Hingga saat ini, pemerintah Indonesia belum memiliki model perjanjian investasi bilateral atau bilateral investment treaty (BIT). Sementara itu, negosiasi terus dilakukan terkait dengan perikatan BIT di Indonesia. Menurut Direktur Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Kementerian Luar Negeri, Abdulkadir Jailani, perumusan model BIT memang masih menyisakan masalah tersendiri.

Ia menyangsikan, jika model sudah rampung pun akan efektif digunakan. Pasalnya, dalam penandatanganan BIT pasti akan ada negosiasi. Sementara itu, sulit menentukan sejauh mana model yang sudah dirancang bisa dinegosiasikan.

“Akan sangat repot ketika kita sudah punya model. Kalau kita mau rigid mengatakan pada investor, ikut atau tidak usah investasi. Bisa-bisa tidak ada yang mau. Kalau terlalu banyak yang dinegosiasikan, lalu apa gunanya model?,” katanya dalam peluncuran buku Rethinking Bilateral Investment Treaty di Jakarta, Rabu (8/6).

Lebih lanjut pria yang juga salah satu penulis dalam buku itu memaparkan, pada kenyataannya di dunia ini pengaruh BIT dengan investasi asing yang masuk ke suatu negara cukup variatif. Ia mncontohkan, Brazil tidak memiliki satupun BIT tetapi menduduki urutan ke-5 sebagai negara dengan investasi asing terbanyak. Sementara Indonesia, dengan BIT lebih dari 60 hanya di urutan 19.

Adapun Mesir yang BIT-nya lebih banyak dari Indonesia peringkatnya pun jauh di bawah Indonesia. Tetapi, Singapura yang berada pada posisi 2 memiliki sekitar 30-an BIT. “India telah menyelesaikan model BIT-nya. Tetapi kami juga menghadapi tantangan ketika mengimplementasikan model itu,” ujar Kavaljit Singh, penulis lain dalam buku itu.

Menurut Kavaljit, BIT memang seharusnya tidak hanya banyak mengatur hak investor asing. Ia menegaskan, negara tujuan juga selayaknya mendapat ruang yang leluasa untuk mengatur kepentingan nasionalnya. Dengan demikian, menurut Kavaljit BIT yang ideal adalah yang seimbang mengatur hak dan kewajiban investor maupun negara tujuan.

“India mulai menyadari perlunya me-review BIT ketika kami harus kalah di depan majelis arbitrase menghadapi perusahaan multinasional asal Australia. Kekalahan itulah yang menjadi titik balik bagi kami untuk menuju dimensi baru,” tambahnya.

Manajer Riset Indonesia for Global Justice, Rahmi Hartanti mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam merancang model BIT. Ia khawatir alih-alih memperbaiki arah model kerja sama investasi yang lebih baik, model yang ada justru berpotensi membawa Indonesia pada jebakan skema BIT yang lama.

“Kita tidak ingin melakukan hal negatif terhadap investasi, tapi kita tidak ingin juga dikendalikan praktik industri nakal dan curang di Indonesia,” ujarnya.

Dirinya pun mengapresiasi keberanian pemerintah untuk me-review BIT yang berlaku saat ini. Menurutnya, yang diperlukan dalam renegosiasi tersebut adalah formulasi perlindungan kerja sama ekonomi regional dan bilateral dalam perjanjian-perjanjian itu. Kebijakan trade remedies terhadap perlakuan produk ekspor Indonesia ke luar negeri maupun produk impor perlu disikapi bersama pemerintah untuk pertahankan pangsa pasar baik di luar negeri maupun di dalam negeri.

Menurutnya, perubahan mendasar dalam skema BIT harus mengedepankan keutuhan kedaulatan Indonesia dalam mengeluarkan atau memastikan efektivitas dari kebijakan atau peraturan yang ada dalam negeri. Ia mengingatkan, dalam penyusunan BIT seharusnya pemerintah juga tidak hanya memperhatikan aspek perdagangan. Sebab, menurutnya di dalam perjanjian investasi juga terkait aspek lingkungan maupun sosial-budaya.

Selain itu, sambungnya, kebijakan domestik tetap harus berlaku efektif dalam pengelolaan kegiatan investasi, khususnya lewat BIT. Oleh karena itulah, pihaknya menyambut positif rencana pemerintah memberikan batasan masa berlaku BIT sekitar 10 tahun dan penguatan sisi gugatan arbitrase.

“Keberanian pemerintah ini harus dilanjutkan, agar realisasinya sesuai dengan tujuan awal,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait