Mau Buat Merek Keren dan Legal untuk Pelaku StartUp? Intip 4 Hal Ini
Berita

Mau Buat Merek Keren dan Legal untuk Pelaku StartUp? Intip 4 Hal Ini

Perlindungan hukum terhadap merek tersebut juga diperlukan.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
Ari Juliano Gema. Foto: Istimewa
Ari Juliano Gema. Foto: Istimewa
Bila penyair terkenal Shakespeare pernah menuliskan “apalah arti sebuah nama?” dalam karya kenamaannya yang berjudul Romeo & Juliet, nampaknya pelaku usaha tidak bisa mengacuhkan eksistensi nama begitu saja. Hal ini diamini oleh Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Regulasi BEKraf, Ari Juliano Gema atau akrab disapa Ajo.

“Nama usaha atau merek ini bisa diibaratkan dengan wajah. Tanpa kita melihat wajahnya, tanpa kita tahu apa mereknya, kita tidak bisa menyebutkan dia itu siapa atau apa. Dari sini lah pembentukan brand dimulai,” ujar Ajo dalam acara Saatnya Menggali Jurus StartUp Branding sambil Ngabuburit dan Berjejaring Sesama Alumni UI yang diselenggarakan Chandra Hamzah dalam rangka kampanye menuju Calon Ketua ILUNI UI 2016-2019.

Ajo yang sebelumnya dikenal sebagai lawyer dengan ekspertis di bidang kekayaan intelektual ini pun menyebutkan untuk membuat brand tersebut semakin keren, maka perlindungan hukum sebagaimana telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, juga diperlukan.  

Nah, sebelum mendaftarkannya, ini dia empat hal yang harus kamu perhatikan:

1.    Pastikan merek bisa didaftarkan
Bagian Kedua UU Merek secara tegas telah menyebutkan unsur-unsur yang membuat merek tidak dapat didaftarkan. Salah satunya adalah merek yang dibuat memuat konten yang menerangkan produknya. “Jadi kalau kita mau jualan sabun, jangan kita kasih merek sabun. Itu salah,” kata Ajo, Jumat (10/6).

“Selain itu merek juga tidak boleh membingungkan, sehingga membuat kesalahpahaman. Misalnya gambar kemasannya bikin orang mengira parfum atau yang lainnya padahal rokok. Merek juga tidak boleh menyerupai lambang atau nama sebuah negara atau organisasi seperti FBI dan CIA,” imbuhnya.

2.    Merek tidak sama dengan merek yang telah didaftar
Hal berikutnya yang penting untuk diperhatikan oleh pelaku bisnis startup menurut Ajo adalah memastikan merek yang ingin didaftarkannya. Setidaknya ada dua cara memastikan hal tersebut. Pertama dengan mencari di search engine, dan kedua mengecek di halaman resmi yang disediakan Direktoriat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI).

“Teman-teman bisa ngecek di www.dgip.go.id. Nanti ada satu fitur namanya e-status. Nanti bisa cek di situ apakah merek yang kita mau sudah terdaftar. Di situ kita bisa tahu merek-merek yang sudah terdaftar dan juga yang masih dalam proses pendaftaran,” ujar Ajo.

Ia pun mengatakan bahwa ada tiga hal yang menjadi tolak ukur DJKI dalam menilai suatu merek sama dengan merek lain. Tiga hal tersebut adalah kesamaan konseptual, sama dengan konsep merek yang sudah ada, kesamaan visual, kesamaan tampilan merek, dan kesamaan fonetik, kesamaan pengucapan.

3.    Merek harus mudah dibaca, ditulis, dan diingat
Ajo mengingatkan, merek harus mudah dingat oleh masyarakat. Ia berharap pembuatan merek tidak dengan nama yang panjang. “Untuk ke depan, yang akan menjadi tren adalah merek yang singkat, mudah diingat, dan mudah dilafalkan,” katanya.

Contohnya, kata Ajo, restoran cepat saji asal Jepang, Hoka-Hoka Bento, saat ini sudah melakukan perubahan nama menjadi Hokben. “Mengapa bisa begitu? Berkaca pada fakta bahwa orang Indonesia sering menyingkat nama tersebut dalam keseharian, maka perusahaan pun memutuskan untuk melakukan branding ulang,” tuturnya.

4.    Merek tidak memiliki konotasi negatif
Bahasa yang digunakan oleh setiap negara tentunya berbeda-beda, oleh karena itu penamaan harus dipikirkan baik-baik. Jangan sampai, ketika barang atau jasa hendak diekspor atau dilihat oleh negara lain, merek yang diusung oleh perusahaan menjadi hambatan dalam promosi karena memiliki arti yang buruk.

Minuman bersoda yang dikenal dengan merek Coca Cola di Indonesia adalah salah satu contoh yang digunakan Ajo. Di Cina, nama tersebut memiliki arti “kuda betina yang diikat lilin”. Nama yang sudah ada pun akhirnya disesuaikan dengan bahasa Cina yang memiliki arti “sesuatu yang menyenangkan di mulut”.

“Nah ini sangat perlu teman-teman perhatikan. Jangan sampai pilih nama udah bagus-bagus, artinya juga bagus di Indonesia, tapi begitu ke luar negeri malah jadi bermasalah. Susah berkembangnya,” tukas Ajo.

Dalam kesempatan yang sama, founder Kantor Konsultan PR Indonesia Channel, Eman Sulaeman Nasim, mengatakan bahwa dalam menentukan suatu nama ada baiknya sesuai dengan doa dan harapan pelaku bisnis tersebut terhadap produknya. Selebihnya, untuk membuat produk dikenal maka diperlukan promosi yang konsisten, jaminan atas kualitas, dan kemudahan untuk mengakses produk yang ditawarkan.
Tags:

Berita Terkait