Tidak Ada Unsur Melawan Hukum, Komisi III Sebut Penggunaan Pasal 3
Kasus RS Sumber Waras

Tidak Ada Unsur Melawan Hukum, Komisi III Sebut Penggunaan Pasal 3

Unsur korupsi tidak melulu adanya perbuatan melawan hukum. Merujuk Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, menyalahgunakan kewenangan dan jabatan yang dapat merugikan keuangan negara masuk kategori unsur korupsi.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Penanganan kasus Rumah Sakit (RS) Sumber Waras oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berjalan lamban. Bahkan, KPK sudah menyatakan kasus tersebut tidak terdapat perbuatan melawan hukum. Hal ini menjadi cecaran pertanyaan sejumlah anggota Komisi III DPR dalam Rapat Kerja dengan KPK di Gedung DPR, Selasa (14/6).

Ketua KPK Agus Raharjo mengatakan, penyelidikan yang dilakukan terhadap kasus RS Sumber Waras tidak ditemukan adanya perbuatan melawan hukum. Oleh sebab itu, KPK berinisiatif mengundang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk berdiskusi dengan para penyidik kasus tersebut. Menurutnya, dengan tidak ditemukan perbuatan melawan hukum itulah penyelidikan dapat dihentikan oleh KPK.

“Jadi penyelidik kami tidak menemukan perbuatan melawan hukum,” ujarnya.

Wakil Ketua Ketua Komisi III Benny K Harman melontarkan sejumlah pertanyaan. Menurutnya, Komisi III perlu mengkritisi proses penegakan hukum yang dilakukan KPK. Sebagai mitra kerja, Komisi III berkewajiban melakukan fungsi pengawasan. Komisi III beberapa bulan lalu disambangi sekelompok masyarakat yang mengadukan kasus tersebut. KPK dinilai lamban memproses kasus tersebut.

Ia bersama sejumlah anggota Panja Penegakan Hukum di Komisi III menyambangi BPK meminta klarifikasi terkait audit investigasi. Menurut Benny, anggota BPK menyatakan bahwa dari audit investigasi ditemukan adanya dugaan kerugian negara dari proses jual beli RS Sumber Waras.

BPK menyatakan permintaan audit investigasi berdasarkan permintaan KPK jilid III. “Ada suratnya 6 Agustus 2015 dan ditunjukkan ke kita. Saya tanyakan, apa ada pelanggaran hukum? Dijawab BPK, sangat sempurna. Penyimpangan yang sempurna, lengkap dengan aturan yang dilanggar,” ujarnya mengutip jawaban BPK.

Menjadi janggal ketika pimpinan KPK menilai tidak adanya pelanggara hukum, sehingga tidak dapat diproses lebih lanjut. Menurut Benny, pelanggaran hukum bukanlah satu-satunya indikator menentukan ada tidaknya perbuatan tindak pidaa korupsi. Perbuatan Tipikor tak melulu mengacu pada Pasal 2 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun masih terdapat Pasal 3, antara menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara.

“Sudahkah KPK masuk angin, atau takut. Tidak adanya pelanggaran hukum bukan satu-satunya kriteria ada tidaknya pelanggaran korupsi. Kecuali KPK tidak menggunakan UU yang menurut kami bisa. Yang kita pakai bukan definisi korupsi menurut Pasal 2 UU Tipikor tapi menggunakan Pasal 3,” ujar politikus Demokrat itu.

Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
 
Anggota Komisi III Arsul Sani menambahkan, Panja Penegakan Hukum di Komisi III telah melakukan kajian terhadap berbagai bukti dan dokumen dari kasus jual beli RS Sumber Waras. Berdasar kajian terhadap beberapa peraturan perundangan, mulai UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum hingga aturan turunan.

Misalnya, Perpres No.70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan Perpres No.40 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No.71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. “Tapi Ahok hanya menggunakan Perpres 40/2014,” ujarnya.

Panja Penegakan Hukum, kata Arsul, setidaknya menemukan fakta awal. Pertama, terkait dengan pengadaan tanah RS Sumber Waras. Ia menilai semestinya peraturan dan perundangan tadi menjadi rujukan sebelum dilakukannya transaksi jual beli. Menurutnya, Komisi III melihat terdapat 6 tahapan mulai pengadaan pembangunan, perencanaan, pengangaran, penetapan lokasi, penetapan harga dan penyerahan pengadaan tanah itu belum sesuai dengan Perpres No.40 Tahun 2014.

“Sehingga kalau tidak ada unsur perbuatan melawan hukum, maka dalam konteks fungsi pengawasan kami ingin menanyakannya,” imbuh politikus PPP itu.

Sayangnya, saat akan memberikan jawaban, pimpinan Komisi III menghentikan lantaran waktu yang pendek menjelang buka puasa. Alhasil, rapat pun dilanjutkan pada Rabu (15/6) pagi. “Kami akan menjawab pada esok pagi atas pertanyaan temen-temen di Komisi III,” pungkas Wakil Ketua Pimpinan KPK Laode M Syarif.
Tags:

Berita Terkait