LSM Minta RUU Tax Amensty Tak Disahkan Jadi UU
Berita

LSM Minta RUU Tax Amensty Tak Disahkan Jadi UU

Urgensi pengesahan RUU Tax Amensty dinilai hanya ilusi.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: Istimewa
Foto: Istimewa
Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak pemerintah dan DPR untuk tidak mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak (RUU Tax Amnesty) menjadi undang-undang. Koordinator Divisi Riset ICW, Firdaus Ilyas, mengingatkan bahwa RUU Tax Amnesty tak selayaknya diputuskan menjadi hukum positif. Sebagaimana diketahui, pemerintah dan DPR RI dijadwalkan akan mengesahkan RUU tersebut pada tanggal 20 Juni mendatang.

“Dalam kepentingan jangka pendek guna menambal APBN maka jauh lebih baik dan efektif jika pemerintah mengoptimalkan pengawasan, penagihan piutang negara (pajak dan PNPB) serta penindakan yang dapat memberikan terapi kejut, bukan malah memberikan kebebasan bagi para pengemplang pajak sehingga sangat berpotensi menjadi ajang cuci dosa yang sesat tanpa manfaat,” tandas Firdaus, Rabu (15/6).

Ia mengatakan, alasan pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Tax Amnesty tak bisa diterima. Menurutnya, pemerintah berdalih keberadaan regulasi pengampunan pajak adalah program penting untuk menggenjot pembangunan infrastruktur di Indonesia. Padahal, ia menilai kebijakan itu justru memberikan “karpet merah” bagi para pengemplang pajak dan membuat koruptor bebas melarikan hartanya ke luar negeri.

Ia menambahkan, wacana bahwa pengampunan pajak akan menjadi salah satu pembuka jalan menuju Tax Ratio 16% dalam jangka menengah sangat sulit dibuktikan. Pasalnya, penerimaan negara dari pajak maupun non pajak dalam sepuluh tahun terakhir masih sangat rendah. Justru menurut Firdaus, ketika RUU Tax Amnesty berlaku, piutang negara yang jumlahnya semakin meningkat akan berpotensi kadaluarsa, hilang, dan tidak tertagih.

Koordinator Forum Pajak  Berkeadilan Indonesia, Ahmad Maftuchan menambahkan bahwa pemberlakukan pengampunan pajak tidak akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Ia menjelaskan, wajib pajak melakukan penghindaran maupun penggelapan pajak dengan penuh kesadaran. Maftuchan pun menyebut bahwa tujuan pengampunan pajak untuk menarik kesadaran wajib pajak hanya ilusi.

“Mereka memang sengaja, kok. Kalau sudah nyaman hartanya disimpan di luar negeri kemudian diminta untuk ditarik ke Indonesia, mana mau? Di luar negeri juga mereka tidak kena pajak,” tuturnya.

Ia memaparkan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan illicit financial flows di negara lain terbesar. Data yang dimilikinya memperlihatkan bahwa kebanyakan dana yang dilarikan ke luar negeri bukan dalam lingkup tindak pidana seperti pencucian uang, korupsi, atau narkoba. Kenyataannya, sebagian besar dana dari Indonesia yang disimpan di luar negeri adalah terkait dengan penghindaran dan pengelakan pajak.

“Bayangkan, hanya sekitar 19% yang terkait dengan tindak pidana. Sisanya, 81% itu dalam rangka tax avoidance dan tax evasion,” kata Maftuchan.

Lebih lanjut Maftuchan mengatakan, di sisi lain jika tujuan pemerintah untuk repatriasi tercapai ia khawatir ada risiko lain yang menanti. Menurutnya, penarikan harta besar-besaran ke dalam negeri akan mengacaukan situasi moneter. Tentu saja, hal ini juga akan membuat fiskal ikut tidak stabil. Akibatnya, Maftuchan melihat bisa terjadi ketidakseimbangan ekonomi.

Dirinya member solusi bahwa untuk meningkatkan nilai pajak di Indonesia tak perlu melakukan pengampunan. Ia menyebut, tren perpajakan global saat ini tengah mengarah pada transparansi. Tahun 2017-2018 mendatang, negara-negara di dunia akan mulai memasuki rezim automatic exchange of information (AEoI).

“Sebaiknya perangkat yang harus disiapkan adalah pembahasan RUU Implementasi AEoI. Dengan AEoI, nantinya pemerintah akan punya kekuatan lebih besar untuk menarik pajak dari warga negaranya,” tambahnya.

Ia mengatakan, negara seperti Swiss yang terkenal dengan kerahasiaan pajak paling ketat di dunia sudah menandatangani dokumen AEoI. Sehingga nantinya, pertukaran informasi akan menjadi kekuatan baru dalam menarik pajak bagi para pengemplang.

Di sisi lain, pengamat hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar mengingatkan bahwa masyarakat harus realistis terkait rencana pengesahan RUU Tax Amensty. Menurutya, meskipun polemic pengesahan RUU itu begitu kuat, tetap ada kemungkinan pemerintah dan DPR mengesahkannya. Sehingga, ia menilai penting memikirkan langkah yang bersifat antisipatif.

“Kita harus realistis juga. Maka, sekarang bagaimana kita berpikir perangkat apa yang harus disiapkan ketika UU Tax Amnesty itu lahir,” ujarnya.

Ia menjabarkan, salah satu yang harus dipersiapkan untuk menyambut kelahiran UU Tax Amensty adalah terkait pajak penghasilan. Menurutnya, harus ada komitmen untuk mengurai kerumitan penghitungan pajak penghasilan. Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan penghitungan yang kompetitif sehingga wajib pajak rela membayar pajak tanpa rasa keberatan.

Tags:

Berita Terkait