PT Jatim Jaya Perkasa Hanya Didenda Rp29 Miliar, KLHK Siapkan Banding
Berita

PT Jatim Jaya Perkasa Hanya Didenda Rp29 Miliar, KLHK Siapkan Banding

Ganti rugi dan biaya pemulihan lebih kecil dari yang digugat oleh KLHK yaitu sebesar Rp491.025.500.000.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Foto: RES
Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Foto: RES
Pengadilan Negeri Jakarta Utara akhirnya memutus perkara kebakaran lahan PT Jatim Jaya Perkasa, Rabu (15/6). Dalam putusanya, majelis hakim yang diketuai Inrawaldi mengabulkan sebagian gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan menyatakan bahwa PT JJP telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atas kebakaran dilokasi kebun sawit mereka.

Meski majelis hakim sudah memutuskan bahwa PT JJP sudah melakukan PMH atas kebakaran dilokasi kebun sawit mereka, KLHK akan menyiapkan langkah hukum banding. Hal ini dilakukan karena majelis hakim hanya mengabulkan sebagian gugatan atas kebakaran lahan seluas 1.000 Hektar di lokasi PT JJP.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rasio Ridho Sani, mengatakan KLHK meyakini bahwa luas lahan yang terbakar adalah 1.000 hektar sementara majelis hakim berpendapat luas yang terbakar 120 hektar. “Untuk itu majelis hakim menjatuhkan ganti rugi Rp7.196.188.475 dan biaya pemulihan Rp22.277.130.852. Ganti rugi dan biaya pemulihan ini lebih kecil dari yang digugat oleh KLHK yaitu sebesar Rp 491.025.500.000,” katanya dalam rilis yang dikutip hukumonline, Senin (20/6).

Berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan, kata Ridho, KLHK akan terus melakukan langkah-langkah penegakan hukum, baik melalui penerapan sanksi administratif, pidana maupun melalui gugatan perdata. “Langkah-langkah penegakan hukum ini perlu dilakukan agar teruwujudnya efek jera bagi pelaku,” ujar Ridho.

Untuk diketahui, putusan Majelis Hakim PN Jakarta Utara menyatakan ada perbuatan melawan hukum sehubungan dengan terbakarnya lahan milik tergugat di Rokan Hilir. Dari semua lahan yang terbakar, sebagiannya adalah lahan milik masyarakat, sedangkan sebagian lagi milik tergugat. Oleh karenanya, tergugat berkewajiban bertanggung jawab. Bentuk pertanggungjawabannya dipertimbangkan oleh majelis hakim berdasarkan saksi dan bukti dari kedua belah pihak.

Pada Juni 2013, penggugat mengatakan terjadi kebakaran di areal tergugat dan tidak dibantah oleh tergugat. Hal ini dibuktikan dari keterangan saksi, baik pihak tergugat maupun penggugat. Di lahan tergugat ditemukan titik-titik hotspot. Apabila dihubungkan dengan tergugat dan penggugat berupa hotspot, diperoleh sebagian titik-titik koordinat hotspot berada di lahan masyarakat dan sebagian lagi berada pada lahan tergugat. 

Saksi Adventius Sitepu mengatakan sumber api berasal dari lahan masyarakat. Lantaran ada angin kencang maka menjalar ke lahan perusahaan. Ia juga mengatakan yang terbakar terlebih dahulu adalah lahan yang berada di luar lahan tergugat. Selain itu, saksi Tukiman mendapat informasi dari Siboro kalau api yang berasal dari lahan masyarakat, sudah menjalar ke lahan perusahaan. Di sisi lain, PT Jatim Jaya Perkasa juga membantu memadamkan api di lahan masyarakat yang terbakar, sehingga bisa disimpulkan bahwa sumber api berasal dari sebelah selatan lahan tergugat. Sumber api tidak berasal dari lahan tergugat, meskipun di beberapa titik di lahan tergugat terdapat titik hotspot. Kebakaran lahan di areal tergugat merupakan tindakan antisipasi yang dilakukan oleh tergugat dari terbakarnya lahan masyarakat.

Majelis hakim juga menyatakan bahwa tergugat telah memiliki menara api serta papan peringatan rawan kebakaran. Tergugat juga sudah mempunyai sarana prasarana mengatasi kebakaran dan mempergunakan sarana itu untuk membantu menyiram dan memadamkan api yang ada di lahan masyarakat dan lahan tergugat. Di samping lahan masyarakat, lahan tergugat juga terbakar, yaitu blok S dan T yang sudah dipasang papan larangan membakar lahan. Tergugat sudah mengajukan ke polisi adanya kebakaran lahan yang sumbernya dari lahan masyarakat. Untuk mengetahui tingkat kerusakan gambut di lahan yang terbakar, dilakukan penelitian oleh ahli Basuki Wasis dan hasil penelitiannya diakui.

Majelis hakim menyatakan lahan gambut yang terbakar dikarenakan tidak cukupnya pasokan air oleh tergugat untuk mencegah kebakaran. Hal ini menunjukkan kurangnya tata kelola air yang baik oleh tergugat. Pengelolaan air yang baik sehingga tidak berdampak pada kerusakan lahan gambut, sehingga bisa mencegah kebakaran lahan gambut, penting untuk dilakukan. 

Kebakaran terjadi pada 17 Juni 2013 dan baru dapat dipadamkan 27 November 2013. Dari bukti-bukti yang ada, majelis hakim menyatakan tidak ditemukan kesengajaan dalam membakar lahan untuk keperluan land clearing, penanaman, pemeliharaan, maupun produksi. Semuanya dilaksanakan secara sistematis dan terarah yang berfungsi mencegah kebakaran.

Kebakaran yang terjadi di lahan tergugat telah menyebabkan lingkungan hidup tidak berfungsi dengan semestinya. Meski berbeda pendapat antara ahli penggugat dan tergugat tentang kebakaran gambut, tapi sama-sama mengakui terjadi kebakaran gambut di areal tergugat. Maka terbakarnya gambut di lahan tergugat, meskipun kebakaran berasal dari lahan masyarakat dan tidak terdapatnya usaha dari tergugat untuk memperbaiki lahan gambut yang rusak, menyebabkan telah dilakukannya perbuatan melawan hukum. Selama pembakaran berlangsung telah menyebabkan pencemaran lingkungan hidup sehingga tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Penggugat menyatakan luas lahan tergugat yang terbakar adalah 1000 hektar. Namun berdasarkan bukti-bukti yang ada, lahan tergugat yang terbakar adalah sebagian dari apa yang disampaikan oleh penggugat. Pengakuan tergugat juga menyatakan bahwa hanya sebagian lahan dari tergugat yang terbakar. Maka majelis hakim menyatakan bahwa lahan tergugat yang terbakar adalah seluas 120 hektar. Mengenai ganti rugi, sudah seharusnya tergugat mengganti rugi kerusakan yang timbul dari kerusakan gambut akibat kebakaran yang terjadi di lahan milik tergugat. Mengenai kebakaran yang terjadi di luar lahan milik tergugat, maka tidak mungkin tergugat melakukan ganti rugi sehingga nilai ganti rugi yang dibebankan kepada tergugat tidak lebih dari separoh dari apa yang dimohonkan oleh penggugat. 

Karena kebakaran yang terjadi di areal milik tergugat adalah 120 hektar, maka kerugian materiil yang harus dibayarkan oleh tergugat adalah senilai Rp116.888.500.000, dibagi 8,33 yang merupakan pembagian luas lahan yang terbakar menurut penggugat dengan luas lahan tergugat yang terbakar, kemudian dibagi dua, sehingga berjumlah setelah pembulatan: Rp7.196.188.475 (tujuh miliar seratus sembilan puluh enam juta seratus delapan puluh delapan ribu empat ratus tujuh puluh lima rupiah).   

Penyebab kebakaran lahan tergugat bukanlah tergugat, melainkan bersumber dari lahan masyarakat. Dengan tidak adanya unsur kesengajaan oleh tergugat dalam menyebabkan kebakaran lahan tersebut, disamping itu lahan tersebut masih dapat ditanami kembali, maka tidak adil jika dinyatakan tergugat tidak boleh menanam di lahan gambut seluas yang terbakar itu, maka dengan begitu permohonan penggugat mengenai hal ini harus ditolak.

Karena kebakaran lahan tergugat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, maka tergugat harus mengganti biaya kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya senilai Rp371.147.000.000 sesuai permohonan penggugat, dibagi 8,33 yang merupakan pembagian luas lahan yang terbakar menurut penggugat dengan luas lahan tergugat yang terbakar, kemudian dibagi dua, sehingga berjumlah setelah pembulatan: Rp22.277.130.852 (dua puluh dua miliar dua ratus tujuh puluh tujuh juta seratus tiga puluh ribu delapan ratus lima puluh dua rupiah).

Tags:

Berita Terkait