Meski Mandatory, Ada Seleksi Pendaftaran dalam Perkara Gugatan Sederhana
Berita

Meski Mandatory, Ada Seleksi Pendaftaran dalam Perkara Gugatan Sederhana

Mulai dari pemeriksaan petitum gugatan hingga penanganan perkara oleh pihak lain seperti BPSK.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Narasumber Diskusi PERMA Gugatan Sederhana
Narasumber Diskusi PERMA Gugatan Sederhana
Pada medio tahun 2015 silam, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Peraturan MA (Perma) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Gugatan Sederhana atau lebih dikenal dengan istilah small claim court. Melalui aturan ini, gugatan perdata dengan nilai gugatan materiil paling banyak Rp200 juta akan diperiksa dengan tata cara dan pembuktian yang sederhana dengan jangka waktu penyelesaian perkara maksimal 25 hari kerja harus sudah diputuskan.

Dalam acara “Sosialisasi dan Diskusi PERMA Gugatan Sederhana” yang digelar oleh PSHK, LeIP, Tim Pembaruan Peradilan MA bekerjasama dengan hukumonline dan didukung oleh AIPJ, Selasa (21/6), mencuat pertanyaan sederhana berkaitan dengan sifat mengikat Perma Gugatan Sederhana ini. Misalnya, bagaimana bila para pihak bersepakat menempuh gugatan perdata secara biasa meskipun secara formal nilai gugatan materiil tak lebih dari Rp200 juta?

Hadir sebagai narasumber, hakim agung Syamsul Maarif menegaskan, bahwa setiap gugatan perdata yang didaftarkan ke pengadilan dengan nilai gugatan materiil tidak lebih dari Rp200 juta wajib tunduk terhadap Perma Gugatan Sederhana. Menurutnya, aturan ini mengikat setiap pihak berperkara meskipun mereka bersepakat bahwa proses penyelesaian perkara diselesaikan melalui gugatan perdata biasa. “Ini bukan negotiable, ini mandatory,” tegasnya.

Pada prinsipnya, Hukum Acara Perdata atau HIR tidak memberikan perlakuan khusus terhadap gugatan perdata antara perkara yang bernilai miliaran, ratusan, atau puluhan juta rupiah. Jika ditelaah, Pasal 3 ayat (1) Perma Nomor 2 Tahun 2015 hanya menyebut bahwa gugatan sederhana diajukan terhadap perkara cedera janji (wanprestasi) atau perbuatan melawan hukum (PMH) dengan nilai gugatan materil paling banyak Rp200 juta. Dalam ayat selanjutnya, hanya mengecualikan jenis perkara yang tidak dapat diperiksa secara sederhana, seperti sengketa hak atas tanah atau sengketa melalui pengadilan khusus.

Lebih lanjut, meski Syamsul menyebut bahwa mekanisme gugatan sederhana berlaku mandatory terhadap semua gugatan perdata di bawah Rp200 juta, ternyata saat proses pendaftaran perkara dilakukan semacam ‘seleksi’ apakah gugatan yang didaftarkan dapat diproses menggunakan mekanisme gugatan sederhana. Pertama kali, panitera akan memeriksa petitum gugatan apakah kerugian materiil tidak lebih dari Rp200 juta. Jika sesuai, panitera kemudian meregister perkara dan mengenakan biaya panjar terhadap penggugat.

Langkah selanjutnya, hakim tunggal yang ditunjuk sebagai pemeriksa perkara kembali memeriksa dan menentukan apakah gugatan yang akan periksa dapat diselesaikan gugatan sederhana, terutama pada aspek pembuktiannya apakah dapat diperiksa tanpa perlu melibatkan saksi ahli atau pakar. Jika ternyata dinilai tidak sederhana dalam hal pembuktian, hakim akan mencoret gugatan dari register perkara dan memerintahkan pengembalian sisa biaya perkara kepada Penggugat.

“Kalau pembuktian rumit, ini tidak bisa masuk gugatan sederhana walaupun gugatan materiil di bawah Rp200 juta,” sebutnya.

Selain itu, dalam pemeriksaan semacam ‘dismissal’ ini juga akan dilakukan kroscek apakah gugatan tersebut pernah diselesaikan lewat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) apa belum. Sebab, jika ternyata telah menempuh upaya di BPSK, maka gugatan sederhana yang diajukan akan tidak dapat diterima atau Niet Ontvankelijke Verklaard (N.O). Sebaliknya, pihak MA telah berkoordinasi dengan BPSK agar membuat surat edaran untuk mengecek apakah sengketa yang diajukan telah diperiksa lewat gugatan sederhana. Tujuannya, agar tidak terjadi kekacauan akibat ‘dualisme’ putusan dua lembaga yang berbeda.

Perma Gugatan Sederhana ini memang membatasi besaran nilai gugatan materiil tetapi terhadap gugatan imateriil, dimungkinkan nilainya lebih dari ambang batas Rp200 juta karena yang dijadikan acuan hanyalah besaran nilai gugatan materiil saat proses pendaftaran gugatan di kepaniteraan pengadilan. Patut diperhatikan, karena gugatan ini bersifat sederhana, maka tidak dikenal yang namanya gugatan rekonvensi atau gugatan yang diajukan tergugat sebagai ‘gugatan balasan’ terhadap gugatan penggugat yang diajukan kepadanya.

Selain itu, Perma Gugatan Sederhana ini memang tidak mengenal upaya hukum semisal banding, kasasi, hingga Peninjauan Kembali (PK). Namun, pihak yang tidak sepakat dapat mengajukan keberatan atas putusan hakim tunggal kepada Ketua PN. Atas permohonan keberatan itu, Ketua PN selanjutnya membentuk majelis hakim untuk me-review kembali amar putusan tersebut. paling lama tujuh hari kerja, majelis hakim wajib memutus perkara tersebut. total waktu yang dibutuhkan jika terdapat keberatan sekira 38 hari. 

Dalam diskusi tersebut, muncul kekhawatiran setidak-tidaknya secara sosiologis ketika putusan hakim dalam upaya keberatan dikoreksi oleh hakim lain yang sederajat. Sebab, biasanya koreksi putusan diperiksa oleh hakim senior pada tingkat yang lebih tinggi, yakni pengadilan tinggi. Disebutkan Syamsul, upaya keberatan dalam gugatan sederhana ini tidak akan menimbulkan permasalahan karena yang melakukan koreksi putusan terdiri dari majelis hakim. Selain itu, majelis hakim yang memeriksa putusan tersebut secara jam terbang akan dipilih yang lebih senior dari hakim tunggal yang sebelumnya memeriksa. 

Banyak Menjadi Perhatian
Hampir setiap perkara, baik pidana atau perdata memunculkan permasalahan tersendiri ketika melakukan eksekusi. Kehadiran Perma Gugatan Sederhana boleh dibilang menjadi angin segar lantaran proses pemeriksaan perkara hingga putusan ‘dipangkas’ dua kali lipat lebih cepat. Sayangnya, Perma Gugatan Sederhana ini tidak mengatur persoalan eksekusi secara khusus. Sehingga, mekanisme eksekusi dalam pemeriksaan gugatan sederhana tetap mengacu pada Hukum Acara Perdata biasanya.

“Waktu susun, ada usulan eksekusi diatur khusus. Tapi karena yang hadir principal sendiri, maka eksekusi harusnya tidak akan bertele-tele,” sebut Syamsul.

Namun, kewajiban principal hadir sendiri di muka persidangan sayangnya dinilai memberatkan terutama ketika perusahaan tersebut merupakan perusahaan multinasional yang mana direksinya sebagian berkewarganegaraan asing. Terkait hal itu, Syamsul menekankan bahwa tujuan principal hadir sendiri agar proses pemeriksaan bisa cepat dan terbuka peluang lebar untuk didamaikan oleh hakim. Sebab, hakim akan sangat proaktif mendamaikan para pihak, sehingga kehadiran principal sangat membantu mempercepat proses perdamaian.  

Masukan demi masukan muncul dalam diskusi, misalnya bagaimana dengan in-house lawyer yang mewakili direksi dalam gugatan sederhana atau menunjuk salah seorang karyawan dengan menggunakan kuasa insidentil. Pasalnya, jika principal sendiri yang hadir dikhawatirkan operasional perusahaan akan terganggu. Mengingat proses persidangan dalam gugatan sederhana ini tidak cuma satu pekan sekali. Bisa saja, dalam satu minggu digelar dua kali sidang guna mengejar putusan dalam waktu 25 hari.

Dalam diskusi itu, Syamsul belum berani menyebut tegas apakah alternatif seperti itu dimungkinkan. Namun yang pasti, Pokja MA masih akan selalu melakukan review atas implementasi aturan ini. Sebagai contoh, Perma Gugatan Sederhana ini mereduksi peran advokat dalam sidang hanya sebatas mendampingi tanpa boleh mengeluarkan pendapat dimuka hakim dimana hal itu bertujuan agar pihak yang berperkara langsung menyelesaikan sendiri sengketanya. “Filosofi principal hadir itu agar cepat selesai, tidak lama-lama,” tegasnya.
Tags:

Berita Terkait