Lubang Bekas Tambang Wajib Ditutup, Ini Alasannya
Berita

Lubang Bekas Tambang Wajib Ditutup, Ini Alasannya

Lubang bekas tambang yang tidak ditutup berpotensi menimbulkan korban. Ada 25 anak tewas di lubang dan area bekas tambang batubara.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Bekas galian tambang. Foto: MYS
Bekas galian tambang. Foto: MYS
Peraturan perundang-undangan mengharuskan penutupan lokasi tambang mineral dan batubara yang tidak aktif. Ketentuan itu diatur diantaranya dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang. Diduga banyak perusahaan yang mengabaikan regulasi itu. Peristiwa tenggelamnya anak-anak di lokasi bekas tambang di Kalimantan Timur memperkuat dugaan itu.

Komnas HAM menghitung sejak 2011-2016 ada 24 anak-anak yang tewas di lubang bekas tambang. Satu anak tewas di area bekas tambang batubara karena mengalami luka bakar serius. Mayoritas korban berasal dari Kalimantan Timur, salah satu kota penghasil batubara terbesar di Indonesia.

Komisioner Komnas HAM, Nur Kholis, mengatakan Komnas HAM sudah menerima pengaduan masyarakat korban lubang tambang sejak komisioner periode lalu. Komnas bahkan sudah menerbitkan rekomendasi kepada pihak terkait baik pemerintah pusat, pemerintah daerah dan perusahaan serta aparat penegak hukum. Namun, rekomendasi itu tidak dijalankan dan ada pembiaran sehingga korban bertambah sampai saat ini jadi 25 orang.

“Langkah paling cepat yang harus dilakukan Pemerintah yaitu melindungi anak-anak agar tidak ada lagi yang jadi korban bekas lubang tambang,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (27/6).

Sesuai amanat Pasal 71 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pemerintah wajib mengontrol perusahaan yang melanggar HAM. Dalam kasus ini Komnas HAM menduga telah terjadi pelanggaran HAM, terutama hilangnya hak untuk hidup 25 orang anak yang jadi korban di lubang bekas tambang batubara.

Bahkan secara tegas Nur Kholis mengatakan perkara ini tidak menutup kemungkinan masuk ranah pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sebelum Komnas HAM mengambil langkah tersebut, Nur Kholis mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan tindakan tegas terhadap perusahaan tambang yang tidak menjalankan kewajibannya, khsusunya melakukan reklamasi dan kegiatan pasca tambang termasuk menutup lubang bekas tambang.

Komisioner Komnas HAM lainnya, Siti Noor Laila, mengatakan pemerintah harus memikul kewajiban untuk melakukan reklamasi dan pasca tambang jika perusahaan yang bersangkutan lari dari tanggungjawab tersebut. PP No. 78 Tahun 2010 secara jelas menyebut area tambang yang tidak beroperasi selama 30 hari harus ditutup. Namun sampai saat ini masih banyak area bekas tambang yang tidak dipulihkan. “Ini bukti pemerintah melakukan pembiaran dan tidak ada penegakan hukum,” katanya.

Laila menyayangkan tidak ada langkah hukum yang diambil pemerintah terhadap perusahaan tambang yang tidak menunaikan kewajibannya menutup lubang bekas tambang. Padahal proses hukum penting untuk memberi sanksi kepada perusahaan. Pasalnya, selain merampas hak untuk hidup, hak atas keadilan dan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan bersih, lubang bekas tambang diduga menimbulkan pelanggaran hak atas rasa aman dan hak anak.

Dari 25 korban tewas, Laila mencatat hanya satu perkara yang dibawa sampai ranah pengadilan. Namun, hukuman yang dijatuhkan tidak menyasar korporasi, hanya karyawan tingkat bawah. Penegakannya pun bukan ranah kejahatan lingkungan hidup dan pidana umum, tapi tindak pidana ringan.

Laila mengatakan dalam kegiatan bisnis termasuk pertambangan pemerintah wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi HAM sebagaimana amanat konstitusi dan UU No. 39 Tahun 1999. Prinsip-prinsip panduan tentang Bisnis dan HAM juga sudah disetujui Pemerintah Indonesia tahun 2011.

Aparat penegak hukum dituntut profesional mengusut perkara yang menyebabkan meninggalnya 25 orang anak di lubang bekas tambang itu. KPK, dikatakan Laila, perlu meningkatkan pengawasan terhadap proses perizinan, pelaksanaan, reklamasi dan pasca tambang yang berpotensi menyebabkan kerugian negara dan/atau penyalahgunaan kewenangan. Kepala daerah di lokasi lubang bekas tambang harus melakukan pencegahan agar tidak jatuh korban. “Kami rekomendasikan kepada Gubernur Kalimantan Timur untuk moratorium pemberian izin tambang baru,” ujarnya.

Dukungan terhadap rekomendasi Komnas HAM diberikan oleh KPAI. Komisioner KPAI, Maria Ulfah Anshor, melihat lubang bekas tambang di Kalimantan Timur berada dekat pemukiman penduduk. Menurutnya, lokasi pertambangan yang dekat pemukiman akan mengganggu tumbuh kembang anak karena anak bisa terpapar pencemaran secara langsung dan tidak langsung.

Parahnya, di area bekas tambang tidak ada rambu peringatan, pagar pembatas dan petugas penjaga. Sehingga anak-anak mudah masuk ke area tersebut dan bermain, padahal itu kawasan berbahaya. “Ini pembiaran yang dilakukan pemerintah. Pemerintah harus menjamin terlindunginya tumbuh kembang anak ” ucapnya.

Koordinator JATAM, Merah Johansyah, mencatat pemerintah daerah dan pusat selama ini tidak melakukan tindakan serius untuk menindklanjuti tewasnya 25 anak di lubang bekas tambang. JATAM mencatat ada 323 lubang bekas tambang yang masih terbuka di Kalimantan dan lebih dari 70 persen lahan di Kalimantan Timur digunakan untuk tambang batubara.

PP No. 78 Tahun 2010 mewajibkan perusahaan untuk melakukan reklamasi dan pasca tambang. Perusahaan juga wajib menyetorkan uang jaminan reklamasi dan pasca tambang kepada pemerintah daerah. Secara teknis ketentuan itu diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No. 7 Tahun 2013. Tapi sampai saat ini Merah melihat masih banyak lubang bekas tambang yang tidak ditutup.

Merah menilai dengan uang jaminan yang disetor perusahaan tambang itu mestinya tidak ada alasan bagi pemerintah membiarkan lubang bekas tambang itu terbuka. Ia mencatat selama ini tidak ada transparansi terhadap uang jaminan tersebut, oleh karenanya penting untuk dilakukan audit. “PP No. 78 Tahun 2010 mengamanatkan untuk mengevaluasi uang jaminan itu setiap tahun, tapi praktiknya tidak berjalan,” tukasnya.
Tags:

Berita Terkait