Penuntasan Kasus HAM Masa Lalu Bisa Dimulai Dari Daerah
Berita

Penuntasan Kasus HAM Masa Lalu Bisa Dimulai Dari Daerah

Palu menjadi contoh bagaimana pemerintah kota mengambil inisiatif.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Penyelesaian kasus HAM masa lalu bisa dimulai dari daerah. Foto: SGP
Penyelesaian kasus HAM masa lalu bisa dimulai dari daerah. Foto: SGP
Hasil penyelidikan Komnas HAM mengenai pelanggaran HAM berat pada periode 1965-1966 sudah diserahkan ke penyidik Kejaksaan Agung. Sesuai  UU No. 26 Tahun 2000, Kejaksaan Agung menindaklanjuti hasil Komnas HAM itu ke tahap penyidikan. Komnas HAM dan Kejaksaan Agung sudah berkali-kali bertemu. Namun hingga kini penanganan dugaan pelanggaran HAM tersebut cenderung jalan di tempat.

Komisioner Komnas HAM, Roichatul Aswidah, juga mengakui kemandegan proses penanganan perkara dimaksud. Padahal Indonesia sebagai sebuah bangsa sangat penting untuk menolak kejahatan yang pernah terjadi di masa lalu dan menyatakan tidak akan mengulanginya. Cara itu yang sebenarnya ingin disasar dalam berbagai upaya yang selama ini ditempuh untuk menuntaskan berbagai pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti peristiwa 1965-1966.

Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebenarnya punya flatform penuntasan kasus HAM masa lalu. Tetapi Presiden Jokowi sudah menegaskan Pemerintah tak akan meminta maaf kepada Partai Komunis Indonesia.  Menurut Roi, panggilan Roichatul Aswidah, yang perlu dikedepankan dalam menuntaskan perkara HAM adalah moral kemanusiaan karena para korban selama ini mengalami penderitaan panjang.

Lantaran proses di tingkat pusat mandeg, Roi mengusulkan agar inisiatif penyelesaian bisa dikembangkan di daerah. Kota Palu bisa dijadikan contoh. Walikota Palu (2005-2015), Rusdy Mastura, pernah meminta maaf atas nama pemerintah kota kepada para korban.

Pemkot juga mengikutsertakan para korban dan keluarganya dalam program-program sosial seperti kesehatan dan kesejahteraan. “Apa yang sudah dilakukan Pemkot Palu diharapkan bisa dilakukan oleh pemerintah daerah lainnya. Kita semua harus mendorong itu,” katanya dalam acara peluncuran buku di Jakarta, Rabu (29/6).

Komisioner Komnas HAM, Nur Kholis, berharap semangat Pemkot Palu ditiru daerah lain. Di kota ini, pemerintah punya keberanian yang kuat karena dorongan rasa kemanusiaan terhadap para korban. Tinggal bagaimana daerah lain menyesuaikan kebijakan sesuai tantangan yang dihadapi. “Bisa jadi ada tantangan yang dihadapi suatu daerah untuk mengikuti jejak pemkot Palu,” ujar Ketua Tim Penyelidikan Tragedi 1965-1966 itu.

Salah satu korban 1965, Bejo Untung, melihat ada tindakan positif di beberapa daerah terkait pemenuhan hak para korban 1965. Ia yakin jika langkah itu sudah dilakukan di tingkat pusat maka pelaksanaannya di daerah cenderung lebih mudah didorong. “Korban 1965 perlu mengajak bupati atau walikota di wilayahnya untuk berdiskusi mengenai upaya pemulihan hak-hak korban 1965. Langkah yang dilakukan pemkot Palu itu layak ditiru,” tukas Bejo.

Mantan Walikota Palu dua periode (2005-2015), Rusdy Mastura, mengatakan pada awalnya dia diajak oleh organisasi masyarakat sipil yang bergerak dibidang HAM untuk menyambangi para korban 1965 di Palu. Mendengar pengakuan para korban, Rusdy sadar selama ini korban mengalami penderitaan yang sangat panjang bahkan berdampak ke anak dan cucu mereka. Itu juga yang menyebabkan sebagian warga Palu yang jadi korban 1965 terjerumus dalam jurang kemiskinan.

“Setelah berdialog dengan para korban 1965 saya merasakan kesedihan mereka selama ini, sebagai anak bangsa mereka telah lama menderita. Itu yang mendorong saya atas nama pemkot Palu meminta maaf kepada korban atas tragedi yang menimpanya,” urai Rusdy.

Setelah menyatakan permintaan maaf kepada para korban pada Maret 2012, Rusdi melakukan tindak lanjut dengan menerbitkan regulasi untuk pemenuhan hak para korban di antaranya Peraturan Walikota Palu No. 25 Tahun 2013 tentang Rencana Aksi Hak Asasi Manusia Daerah. Dengan regulasi itu Pemkot bisa mengalokasikan anggaran untuk menggelar program sosial yang menyasar para korban.
Tags:

Berita Terkait