Membuka ‘Dapur’ Pemberian Keterangan Pemerintah
Resensi

Membuka ‘Dapur’ Pemberian Keterangan Pemerintah

Buku pertama yang melukiskan persiapan Pemerintah menghadapi dan menjawab permohonan pengujian undang-undang.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Sampul buku 'Panduan'. Foto: MYS
Sampul buku 'Panduan'. Foto: MYS
Sejak Mahkamah Konstitusi berdiri, dan pengujian undang-undang atau judicial review menjadi ‘primadona’, masyarakat disuguhi satu persatu buku literatur yang berisi hukum acara pengujian konstitusional. Ada yang ditulis hakim konstitusi seperti karya Jimly Asshiddiqie dan Maruarar Siahaan, dan sebagian lagi dibuat akademisi.

Buku-buku literatur itu mengupas bagaimana permohonan dimasukkan, berapa jangka waktu, biaya yang nihil, sidang panel dan pleno, pemanggilan para pihak , pemberian keterangan DPR dan Pemerintah, dan putusan hakim. Semua diuraikan dengan runut agar permohonan memenuhi syarat formal dan material. Soal dikabulkan atau tidak, tentu tergantung sepenuhnya kepada sembilan hakim konstitusi.

Dalam periode 2003 sampai 11 Desember 2015, Mahkamah Konstitusi telah menguji sebanyak 406 Undang-Undang, dan 793 putusan. Selama periode waktu tersebut, sebanyak 185 pengujian Undang-Undang dikabulkan, 273 ditolak, 250 tidak dapat diterima, dan 85 perkara ditarik kembali (hal. 7).

Pemerintah adalah salah satu pihak yang hampir selalu dipanggil Mahkamah Konstitusi untuk memberikan pendapat. Panggilan ini dapat dipahami karena suatu Undang-Undang adalah hasil ‘persetujuan bersama’ Pemerintah dan DPR. Jadi, kedua lembaga ini adalah pihak yang paling berkepentingan untuk menjelaskan duduk perkara suatu kata, frasa, atau kalimat norma dalam perundang-undangan. Keterangan Pemerintah dan DPR diharapkan bisa memberikan penjelasan atas apa yang diminta oleh pemohon.

Undang-Undang yang dimohonkan warga negara atau badan hukum sangat beragam, dan mencakup kewenangan lintas kementerian. Tetapi yang menjadi kuasa hukum permanen Pemerintah adalah Menteri Hukum dan HAM (hal. 46). Menteri lain juga dapat ditunjuk sebagai kuasa khusus Presiden.

Pasal 25 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 6/PMK/2005 menyatakan ‘Presiden dapat memberikan kuasa dengan hak substitusi kepada Menteri Hukum dan HAM beserta para menteri, dan/atau pejabat setingkat Menteri yang terkait degan pokok permohonan’. Ketentuan ini tak menegaskan Menteri Hukum dan HAM sebagai kuasa khusus permanen. Tetapi dalam penafsirannya, Menteri Hukum dan HAM selalu mendapat kuasa dari Presiden dalam pengujian Undang-Undang. Surat kuasa presiden dibuat dalam dua rangkap, satu untuk diserahkan ke Mahkamah Konstitusi, satu lagi disimpan sebagai arsip oleh Kementerian Sekretaris Negara (hal. 45).
Panduan Penanganan Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi oleh Pemerintah
Penyusun Ditjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM
Tahun terbit 2016
Halaman 182 eks

Pengurusan surat kuasa merupakan salah satu tahapan yang harus dilalui Pemerintah setelah menerima salinan permohonan atau perbaikan permohonan judicial review dari Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Tahapan selanjutnya adalah membuat resume permohonan, mengumpulkan bahan dan data, penyusunan konsep keterangan presiden, koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait, koordinasi internal penerima kuasa (jika penerima kuasa banyak), dan pelaksanaan persidangan.

Buku ‘Panduan Penanganan Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi oleh Pemerintah’ (selanjutnya disebut Panduan) bisa disebut sebagai pedoman penting yang layak ditiru DPR. Dengan Panduan ini, proses persiapan menghadapi judicial review bisa lebih terarah dan terkoordinasi. Penentuan siapa yang mewakili Pemerintah, misalnya, tidak harus sampai menganggu jalannya persidangan. “Sehingga dapat memperlancar koordinasi dalam proses beracara baik di Mahkamah Konstitusi,” begitu harapan Ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat dalam pengantar buku ini (hal.,iii).

Urgensi buku ini juga tak lepas dari minimnya referensi. Hingga kini belum tersedia sebuah buku panduan proses penanganan pengujian undang-undang oleh Pemerintah. Padahal buku semacam ini sangat diperlukan agar terbangun pemahaman yang sinergis antar biro hukum di lingkungan pemerintahan (hal. 6).

Meskipun isi buku Pedoman ini lebih banyak membuka ‘dapur’ Pemerintah, tak ada salahnya lembaga lain, akademisi, atau pemohon membacanya. Justru dengan membaca buku ini, kita dapat memahami langkah-langkah yang disiapkan Pemerintah ketika menghadapi pengujian suatu Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi.

Tentu saja, setelah membaca buku ini, mungkin saja masih ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Misalnya, penandatanganan surat kuasa oleh Presiden kalau kepala pemerintahan itu sedang berada di luar negeri. Apakah surat kuasa menggunakan tanda tangan digital saja, atau tetap harus ‘otentik’. Bagaimana pula dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk persiapan bahan, ahli dan sebagainya. Anggaran lembaga mana yang dipakai? Apakah setiap penerima kuasa khusus Presiden mendapatkan honorarium juga? Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin jawabannya tak gamblang didapatkan dalam buku ini.

Tetapi, kehadiran Pedoman ini patut diapresiasi peminat buku dan penikmat bacaan-bacaan hukum. Selamat membaca…!
Tags:

Berita Terkait