Ius Constituendum Kepatuhan Terhadap Putusan PTUN
Penelitian MA 2015:

Ius Constituendum Kepatuhan Terhadap Putusan PTUN

Penelitian di PTUN DKI Jakarta teradap putusan 2008-2013, sebanyak 95 persen putusan tak dilaksanakan secara sukarela.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Sebuah penelitian sederhana telah dilakukan tim Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, dikoordinasi Tri Cahya Indra Permana. Studi kepustakaan ditambah menyebar kuesioner kepada 100 orang pihak yang berperkara dan pengunjung di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta sepanjang Oktober 2015. Dari jumlah itu hanya 58 responden yang menjawab pertanyaan peneliti dengan sungguh-sungguh dan lengkap.

Ada 10 pertanyaan yang diajukan, yang pada dasarnya ingin menjawab efektivitas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), kepatuhan pejabat, dan kekuatan eksekutorialnya. Salah satu jawaban yang mencengangkan adalah 93,1 persen (54 orang) menjawab upaya paksa belum efektif menjamin kepatuhan pejabat terhadap putusan PTUN. Hanya empat orang yang menjawab sudah efektif.

Kepatuhan pejabat memang telah lama menjadi problem PTUN. Sudah beberapa kali penelitian dilakukan yang membuktikan itu. Termasuk penelitian yang dilakukan Supandi (kini hakim agung di kamar TUN) di PTUN Medan, dan penelitian Istiwibowo di PTUN Jakarta dalam periode 2008-2013. Istibowo, juga hakim TUN, menemukan fakta dari 276 putusan hanya 15 putusan yang dilaksanakan. Dengan kata lain, 261 (setara 95%) tidak dilaksanakan.

Berangkat dari kondisi itulah Tri Cahya Indra Permana beserta tim peneliti hendak menjawab antara lain upaya paksa mana yang dikenal dalam PTUN yang mendesak diterbitkan aturan pelaksanaannya, dan bagaimana urgensi pengaturan eksekutabilitas putusan dan penetapan Peradilan Tata Usaha Negara.

Upaya paksa yang bisa dikenakan bisa dibaca dalam Pasal 116 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pada dasarnya tergugat harus melaksanakan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (BHT) secara sukarela. Jika dalam waktu 60 hari setelah putusan BHT, tergugat tak juga melaksanakan kewajibannya, maka Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang disengketakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

Jika tergugat membandel juga penggugat bisa minta Ketua Pengadilan untuk memerintahkan tergugat melaksanakan putusan. Jika masih tetap membandel, pejabat TUN bersangkutan dapat dikenakan pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. Selanjutnya, ada pula upaya mengumumkan pejabat yang tak mematuhi putusan itu lewat media massa. Selain itu, Ketua Pengadilan bisa mengirimkan surat kepada Presiden untuk memerintahkan pejabat yang dihukum melaksanakan putusan pengadilan.

Sifat eksekusi
Sebelum ada revisi UU No. 5 Tahun 1986, eksekusi putusan Peradilan TUN lebih dipengaruhi asas self respect atau self obedience dan sistem floating execution. Artinya, kewenangan melaksanakan putusan sepenuhnya diserahkan kepada badan atau pejabat TUN yang berwenang tanpa ada kewenangan PTUN menjatuhkan sanksi. Setelah UU No. 5 Tahun 1986 direvisi, sifatnya berubah menjadi fixed execution, yakni eksekusi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan pengadilan melalui sarana-sarana pemaksa yang diatur dalam perundang-undangan. Publikasi putusan melalui media massa, misalnya, dapat mendorong kontrol sosial.

Salah satu perkembangan penting dalam eksekusi putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap adalah lahirnya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Undang-Undang ini mengatur sanksi administrasi seperti dwangsom yang dapat dijatuhkan kepada pejabat pemerintahan. Kalaupun belum ada aturan teknis, tim peneliti menegaskan tidak dilarang memasukkan petitum pembayaran uang dwangsom dan sanksi administratif. Faktanya, sudah ada pengadilan yang memasukkan dwangsom dalam amar majelis hakim. Misalnya, putusan No. 47/G/2008 di PTUN Semarang.

Ius constituendum
Hasil penelitian menunjukkan 53,4 persen responden menganggap sangat penting untuk segera mengatur eksekutabilitas putusan PTUN. Apakah jika diatur, maka ada jaminan pejabat otomatis patuh? Peneliti menyatakan tidak dipatuhinya putusan PTUN bukan hanya terletak pada pengaturan yang tidak tegas atau tidak ada peraturan pelaksanaan upaya paksa, tetapi juga pada lembaga mana yang seharusnya memastikan pelaksanaan putusan PTUN. Jika semata menggunakan prinsip kesukarelaan (self obedience), efektivitasnya sangat bergantung pada budaya hukum si pejabat.

Selain dwangsom, gijzeling alias paksa badan menjadi alternatif. Artinya, terhadap pejabat yang tidak melaksanakan putusan dikenakan paksa badan. Tetapi tim peneliti yakin gijzeling pejabat ‘tampaknya belum memungkinkan’ mengingat kultur di Indonesia, dan sanksi itu akan sangat mengganggu layanan publik.

Sanksi pidana terhadap pejabat TUN yang tak mematuhi putusan PTUN ternyata juga didukung 74,13 persen responden. Salah satu opsi dalam konteks ini adalah RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan dan Penghinaan di Luar Pengadilan yang telah disusun Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) dan diserahkan ke Badan Legislasi DPR. RUU ini –publik mengenalnya sebagai RUU Contempt of Court—menjadi salah satu hukum masa depan yang didambakan bisa mengatasi problem eksekutabilitas putusan TUN yang telah berkekuatan hukum tetap.

Tri Cahya Indra Permana dan tim peneliti juga mengarahkan rekomendasinya pada ius constituendum itu, yakni agar RUU dimaksud segera dibahas.

Cuma, pertanyaannya, apakah suatu Undang-Undang bisa menjamin pejabat akan patuh? Bukankah UU PTUN sudah dua kali direvisi dan kepatuhan pejabat juga masih menjadi persoalan serius di negeri ini?
Tags:

Berita Terkait