Bappenas: Manfaatkan Dana Tax Amnesty Lewat Skema Public Private Partnership
Berita

Bappenas: Manfaatkan Dana Tax Amnesty Lewat Skema Public Private Partnership

Untuk pembangunan proyek strategis nasional terkait infrastruktur.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Sofyan Djalil. Foto: RES
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Sofyan Djalil. Foto: RES
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Sofyan Djalil, mengatakan bahwa peluang pengembalian dana yang besar dalam pelaksanaan pengampunan pajak (tax amnesty) jangan sampai disia-siakan. Menurutnya, pemulangan dana dari luar kembali ke Indonesia mesti dimanfaatkan untuk mendanai proyek-proyek strategis nasional, misalnya dalam rangka pembangunan infrastruktur.

Tax amnesty diharapkan masuk dengan membawa uang yang banyak. Sehingga uang yang banyak itu bisa masuk pada sejumlah instrumen,” ujar Sofyan, usai acara halal-bihalal di kantor Kementerian PPN/Bappenas di Jakarta, Selasa (12/7).

Lebih lanjut, Sofyan menyebutkan, pemanfaatan dana tax amnesty untuk pembangunan infastruktur dapat dilakukan baik terhadap proyek-proyek baru (green field) ataupun untuk pengembangan terhadap proyek-proyek yang sudah ada (brown field). Skema yang diusulkan Sofyan, yakni dengan memanfaatkan skema Public Private Partnership (PPP). Rencananya, usulan memanfaatkan dana tax amnesty untuk pembangungan infrastruktur dengan skema PPP akan dibawa dalam rapat kabinet yang kemungkinan akan digelar pada Jumat (15/7) nanti.

Sebagaimana diketahui, skema PPP sudah sejak tahun 2005 digunakan di Indonesia. Kala itu, dikenal dengan istilah Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS). Saat ini, KPS telah berganti nomenklatur menjadi Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) sebagaimana diatur lewat Perpres Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.

Proses perjalanan skema PPP di Indonesia telah mengalami sejumlah perubahan regulasi. Mulai dari Perpres Nomor 67 Tahun 2005 tentang Penyediaan Infrastruktur melalui Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha. Lima tahun kemudian, aturan tersebut diubah dengan Perpres Nomor 13 Tahun 2010. Kemudian kembali diubah dengan  Perpres Nomor 56 Tahun 2011 dan diubah kembali dengan Perpres Nomor 66 Tahun 2013. Kini, Perpres Nomor 38 Tahun 2015 masih berlaku dan mesti dirujuk oleh pemangku kepentingan.

“PPP ini misalnya untuk pembangunan bandara, air minum, listrik, jalan tol, dan lain sebagainya. Yang mengerjakan macam-macam, ada yang dikerjakan oleh swasta, BUMN, atau negara. Nanti kita lihat mana yang bisa ditawarkan, misalnya untuk swasta,” jelasnya.

Sofyan berharap dalam rapat kabinet nanti, para menteri punya perspektif yang sama terkait dengan usulan yang dilakukan oleh Kementerian PPN/ Bappenas dimana pemanfaatan dana tax amnesty untuk pembangunan infrastruktur melalui skema PPP. Hingga saat ini, pihaknya masih mempersiapkan sejumlah pendapat serta argumentasi untuk disampaikan dalam rapat kabinet.

Untuk diketahui, rapat paripurna DPR akhir Juni 2016 lalu telah menyetujui RUU Pengampunan Pajak menjadi UU. Pengesahan dilakukan setelah melalui perdebatan yang cukup panjang dari sejumlah fraksi yang menolak RUU tersebut. Sekedar mengingatkan, UU Pengampunan Pajak yang terdiri dari 13 bab dan 25 pasal itu sendiri pada intinya memiliki sejumlah poin penting.

Pertama, pengampunan pajak merupakan penghapusan pajak terutang tanpa dikenakan sanksi berupa sanksi administratif perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan. Objek yang mendapat pengampunan sendiri, yakni pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) serta penjualan atas barang mewah.

Kedua, wajib pajak berhak mendapatkan pengampunan pajak. Ketiga, tarif uang tebusan terbagi menjadi tiga yakni tarif uang tebusan atas harta repatriasi atau deklarasi dalam negeri sebesar dua persen untuk periode tiga bulan pertama, tiga persen untuk periode tiga bulan kedua, dan lima persen untuk periode 1 Januari 2017 – 31 Maret 2017. Lalu, tarif uang tebusan atas harta deklarasi luar negeri sebesar empat persen di periode tiga bulan pertama, enam persen di periode tiga bulan kedua, dan 10 persen periode 1 Januari 2017- 31 Maret 2017.

Sementara, bagi wajib pajak UMKM sebesar 0,5 persen jika mengungkapkan nilai harta sampai dengan Rp10 miliar. Lalu, dua persen terhadap wajib pajak yang mengungkapkan nilai harta lebih dari Rp10 miliar dalam surat penyataan hingga 31 Maret 2017. Mesti diingat, penyampaian surat terbagi dalam tiga periode, yakni tiga bulan pertama, bulan keempat sampai 31 Desember 2016, dan 1 Januari 2017 sampai 31 Maret 2017. UU Pengampunan Pajak hanya berlaku selama sembilan bulan, dimulai sejak 1 Juli 2016.

Sehubungan dengan pernyataan Sofyan, poin penting dalam UU Pengampunan Pajak yang berkaitan dengan usulannya adalah mengenai pengaturan tentang kewajiban pengalihan harta ke dalam negeri melalui bank persepsi yang khusus ditunjuk oleh menteri. Dimana harta yang dialihkan mesti diinvestasikan paling lambat pada 31 Desember atas wajib pajak yang melalui surat pernyataan pada periode pertama dan kedua. Sementara, paling lambat pada 31 Maret 2017 terhadap wajib pajak yang menyatakan pengalihan harta yang diinvestasikan pada periode ketika.

“Kita sedang menyiapkan, nanti hari Jumat ada rapat kabinet supaya semua menteri komitmen. Begitu mengatakan semua proyek PPP, semua menteri komit. Ayo kita kerjakan supaya dana yang masuk bisa kita manfaatkan,” harapnya.
Tags:

Berita Terkait