Legalkan Pencucian Uang, UU Pengampunan Pajak Diuji ke MK
Utama

Legalkan Pencucian Uang, UU Pengampunan Pajak Diuji ke MK

Pemohon meminta agar pasal-pasal dalam UU Pengampunan Pajak dibatalkan.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Baru disahkan akhir Juni lalu, UU No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) bersama dua warga negara, Samsul Hidayat dan Abdul Kodir Jailani, resmi mendaftarkan uji materi sejumlah pasal UU Pengampunan Pajak. Beleid ini dinilai melegalkan praktik pencucian uang (money laundering) dan merusak sistem penegakkan hukum.

“UU Tax Amnesty ini sama saja praktik legal pencucian uang dan mereduksi seluruh proses penegakkan hukum, norma-norma penegakkan uang diruntuhkan oleh UU Tax Amnesty,” ujar kuasa hukum pemohon, Sugeng Teguh Santoso, usai mendaftarkan uji materi UU Pengampunan Pajak di Gedung MK, Selasa (13/7).   

Ada beberapa pasal dan ayat yang dipersoalkan dalam UU Tax Amnesty, yaitu Pasal 1 ayat (1), (7); Pasal 3 ayat (1), (3) dan (5); Pasal 4; Pasal 11 ayat (2), (3); Pasal 19; Pasal 21; Pasal 22; dan Pasal 23.“Tetapi, inti permohonan ini bertumpu pada Pasal 1 ayat (1) sebagai ‘jiwa’ dari UU Pengampunan Pajak ini,” kata Sugeng.     

Sugeng menilaiUU Tax Amnesty merupakan praktik legal pencucian uang karena UU ini memberi peluang bagi penjahat kerah putih menyimpan uang di luar negeri untuk menyembunyikan asal usul uangnya. Dengan catatan ketika dapat surat pernyataan dari Menteri Keuangan, uang ini dinyatakan legal dan berhak direpatriasi dana pengampunan pajak tanpa ada proses hukum.   

Seperti Pasal 1 ayat (1), (7) UU Pengampunan Pajak, ada kebijakan penghapusan (pengampunan) pajak terhutang dengan membayar uang tebusan yang besarnya 2 hingga 10 persen, sehingga wajib pajak terbebas dari sanksi administrasi dan pidana. “UU Tax Amnesty ini memberikan ‘diskon’ habis-habisan bagi para pengemplang pajak,” kata Sugeng.  

Dia melanjutkan, UU Tax Amnesty ini menabrak prinsip keterbukaan informasi publik dan menghambat program whistle blower system karena ada larangan membuka informasi atau membocorkan data pajak terhutang di Kementerian Keuangan. Pelanggarnya bisa diancam pidana. Pilihan sengketa hukum hanya melalui gugatan perdata ke pengadilan.

“Wajib pajak yang berstatus tersangka kasusnya bisa dihentikan ketika berkas perkaranya belum P-21 (belum lengkap),” kata Sugeng.     

Dia menambahkan wajib pajak yang melaporkan pengampunan pajak tidak dikenakan tindakan hukum. Pemohon juga mempersoalkan kekebalan Menteri Keuangan dan jajarannya.  Selain menghilangkan potensi penerimaan negara dan sifat wajib dari pajak, UU Tax Amnesty memarjinalkan pembayar pajak yang taat. “Ada ketidakadilan bagi masyarakat, pajak itu sifatnya memaksa seharusnya diambil dengan denda yang besar, tetapi ini dikasih diskon besar,” tegasnya.

Dengan begitu, menurutnya pasal-pasal yang diuji tersebut bertentangan dengan Pasal 23 huruf a dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab, UU Tax Amnesty dianggap menabrak prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before law) dan penghancuran proses penegakkan hukum yang melanggar konstitusi. “Pemohon meminta agar pasal-pasal dalam UU Tax Amnesty dibatalkan,” harapnya.

Sebelumnya, DPR menyetujui RUU Pengampunan Pajak menjadi UU dengan berbagai catatan pada Selasa (28/6) lalu meski sempat terjadi perdebatan dan penolkan dari beberapa fraksi terutama dari Fraksi PKS. Padahal, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) telah mendesak pemerintah dan DPR untuk tidak mengesahkan RUU Pengampunan Pajak (RUU Tax Amnesty) menjadi undang-undang.

Seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), misalnya. ICW mengingatkan RUU Tax Amnesty tak layak diputuskan menjadi hukum positif. Dalih pemerintah atas kebijakan regulasi pengampunan pajak demi menggenjot pembangunan infrastruktur di Indonesia dinilai tidak tepat. ICW menilai kebijakan itu justru memberikan “karpet merah” bagi para pengemplang pajak dan membuat koruptor bebas melarikan hartanya ke luar negeri.

Menurut ICW, kepentingan jangka pendek guna menambal APBN jauh lebih baik dan efektif jika pemerintah mengoptimalkan pengawasan, penagihan piutang negara (pajak dan PNPB), dan penindakan yang dapat memberikan terapi kejut. Bukan malah memberikan kebebasan bagi para pengemplang pajak, sehingga sangat berpotensi menjadi ajang cuci dosa yang sesat tanpa manfaat.

RUU Pengampunan Pajak terdiri dari 13 Bab dan 25 Pasal. Ada beberapa pokok pikiran dalam UU tersebut.  Pertama, pengampunan pajak merupakan penghapusan pajak terutang yang tidak dikenakan sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan. Kewajiban perpajakan yang mendapatkan pengampunan pajak terdiri atas kewajiban pajak penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPn), dan pajak penjualan atas barang mewah.Kedua, setiap wajib pajak berhak mendapatkan pengampunan pajak.

Ketiga, tarif uang tebusan terbagi menjadi tiga komponen yakni tarif uang tebusan atas harta repatriasi atau deklarasi dalam negeri sebesar 2 persen untuk periode 3 bulan pertama, 3 persen di 3 bulan periode kedua, dan 5 persen di periode 1 Januari 2017 sampai 31 Maret 2017.Kemudian, tarif uang tebusan atas harta deklarasi luar negeri sebesar 4 persen di periode 3 bulan pertama, 6 persen di periode 3 bulan kedua, dan 10 persen periode 1 Januari 2017 hingga 31 Maret 2017.

Setelah itu, tarif pajak bagi wajib pajak UMKM sebesar 0,5 persen terhadap mereka yang mengungkapkan nilai harta hingga Rp10 miliar. Kemudian, 2 persen tehadap wajib pajak yang mengungkapkan nilai harta lebih dari Rp10 miliar dalam surat pernyataan sampai dengan 31 Maret 2017.
Tags:

Berita Terkait