Hakim Ini Persoalkan Syarat Hakim Agung dan Hakim Konstitusi
Berita

Hakim Ini Persoalkan Syarat Hakim Agung dan Hakim Konstitusi

Majelis meminta pemohon menguraikan filosofis karakteristik hakim agung dan hakim konstitusi dan pengalaman empirik dan sosiologis terkait usia dan periodeisasi kedua jabatan ini.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Hakim Tinggi pada PT Medan, Lilik Mulyadi. Foto: RES
Hakim Tinggi pada PT Medan, Lilik Mulyadi. Foto: RES
Dinilai diskriminatif, aturan syarat pengangkatan hakim agung dan hakim konstitusi serta masa jabatan pimpinan MA dan MK dipersoalkan dua warga negara yang berprofesi sebagai hakim. Mereka, Hakim PN Jakarta Pusat Binsar M. Gultom dan Hakim Tinggi pada PT Medan Lilik Mulyadi yang menggugat beberapa pasal dalam UU No.3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (MA) dan UU No.8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).

Mereka mensasar Pasal 6B ayat (2); Pasal 7 huruf a angka 4 dan 6; Pasal 7 huruf b angka 1-4 UU MA jo Pasal 4 ayat (3); Pasal 15 ayat (2) huruf d, h; dan Pasal 22 UU MK terkait syarat usia, pengalaman, ijazah minimal calon hakim agung dan calon hakim konstitusi serta masa jabatan pimpinan MA dan MK. Mereka menilai ada persoalan diskriminasi persyaratan calon hakim agung dari jalur karier dan nonkarier serta masa jabatan.              

“Inti uji materi ini ada diskriminasi antara hakim karier dan hakim nonkarier serta masa jabatan ketua dan wakil ketua MA dan MK,” ujar Binsar dalam sidang pendahuluan yang diketuai Wahiduddin Adams di Gedung MK. Adams didampingi Manahan MP Sitompul dan Aswanto sebagai anggota majelis.  

Pasal 6B ayat (2) UU MA memungkinkan CHA berasal dari nonkarier seharusnya dimaknai “dalam hal-hal tertentu dapat dibuka kemungkinan mengangkat hakim agung yang tidak didasarkan sistem karier”. Misalnya, syarat usia minimal CHA nonkarier 45 tahun diubah menjadi 55 tahun, syarat pengalaman profesi hukum 20 tahun dimaknai 25 tahun, dan syarat pendidikan doktor dimaknai bergelar guru besar (professor) berijazah doktor ilmu hukum.           

“Pasal 7 UU MA syarat CHA baik jalur karier atau nonkarier berusia minimal 45 tahun, pengalaman menjadi hakim atau bidang hukum selama 20 tahun, berijazah doktor bagi nonkarier. Khusus hakim karier minimal magister hukum,” kata Binsar.

Dia mengungkapkan umumnya masa kerja dan pengalaman hakim karier sejak tingkat pertama hingga hakim tinggi diatas 28 tahun dengan pangkat Pembina Madya dengan golongan/pangkat IVd. “Jadi, syarat CHA karier tidak perlu lagi menjadi hakim tinggi selama 3 tahun karena hakim tinggi biasanya sudah berusia 55 tahun,” ungkapnya.  

Dengan begitu, menurutnya syarat usia minimal 45 tahun tidak relevan lagi. Apalagi, umumnya hakim tinggi sudah berijazah doktor ilmu hukum. Terlebih, hakim karier juga telah berpengalaman menangani perkara, berbeda dengan nonkarier yang belum tentu pernah berpengalaman menangani perkara. “Pemohon berharap MK bisa mempermudah syarat CHA dari jalur karier dan memperketat syarat CHA dari jalur nonkarier,” harapnya.  

Selain itu, ada persoalan diskriminasi periodeisasi masa jabatan hakim konstitusi termasuk masa tugas ketua dan wakil ketua MA dengan ketua dan wakil ketua MK. Sebab, masa jabatan ketua dan wakil ketua MK dibatasi 2,5 tahun. Sedangkan masa jabatan ketua MA dan wakil ketua MA 5 tahun dan dapat dipilih kembali hingga usia pensiun (70 tahun). Padahal, MA dan MK sama-sama lembaga kekuasaan kehakiman sesuai konstitusi.  

Menurutnya, seharusnya keberadaan hakim konstitusi tidak perlu dilakukan periodeisasi, tetapi masa jabatannya sejak dilantik hingga memasuki usia 70 tahun, seperti hal di MA. Dia menganggap implikasi dibatasi masa jabatan ketua dan wakil ketua MK selama 2,5 tahun dan periodeisasi hakim konstitusi per lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya bertentangan dengan konstitusi.

“Syarat usia calon hakim konstitusi minimal 47 tahun dan pengalaman 15 tahun di bidang hukum juga seharusnya dimaknai minimal 55 tahun dan 20 tahun menjadi hakim termasuk hakim tinggi. Dengan begitu, calon hakim konstitusi dari pemerintah dan DPR dapat menyesuaikan dengan syarat usulan MA,” usulnya.  

Menanggapi permohonan, Wahiduddin Adams meminta pemohon menguraikan filosofis karakteristik hakim agung sesuai konstitusi. “Ini bukan hanya soal harmonisasi atau sinkronisasi saja, tetapi perlu dimulai dari filosofi kedua jabatan hakim agung dan hakim konsttusi sesuai konstitusi, bukankah kedua jabatan ini tidak sama karakteristiknya?” ujar Wahiduddin mempertanyakan.  

Dia menyarankan agar permohonan diuraikan pengalaman empirik dan sosiologis terkait usia dan periodeisasi kedua jabatan ini. “Kan ada juga ada wacana saat ini perlu periodeisasi jabatan hakim agung ini? Jadi uraikan juga potensi kerugian Anda sebagai hakim dihubungkan dengan pengalaman empirik dan sosiologisnya,” sarannya.    

“Dalam petitum juga, siapakah yang menentukan ketika dibutuhkan keahlian tertentu? Ini menjadi tidak pasti nantinya.”

Dia juga mengingatkan sesuai UU Sisdiknas dan UU Guru dan Dosen menyebut guru besar atau profesor merupakan jabatan fungsional tertinggi dalam perguruan tinggi, bukan ijazah. “Ini agar tidak salah menyebutnya,” katanya.

Tags:

Berita Terkait