Aset Disita KPK, Begini Asal-Usul Harta Sanusi Menurut Pengacara
Berita

Aset Disita KPK, Begini Asal-Usul Harta Sanusi Menurut Pengacara

Sanusi membeli properti dari Agung Podomoro Land.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Aset Disita KPK, Begini Asal-Usul Harta Sanusi Menurut Pengacara
Hukumonline
Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha mengatakan penyidik melakukan penyitaan terhadap aset-aset mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi yang berkaitan dengan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Aset-aset itu terdiri dari rumah, serta beberapa unit mobil dan apartemen di sejumlah lokasi di Jakarta.

"Kemarin penyidik menyita tiga unit mobil, Audy, Alphard, dan Fortuner. Sebelumnya, juga telah disita satu unit Jaguar untuk kasus korupsinya. Selain itu, penyidik melakukan penyitaan terhadap apartemen di empat lokasi, di Pulomas, Thamrin, Residence 8, dan Jakarta Residence. Turut disita pula sebuah rumah di Jakarta Barat," katanya di KPK, Jumat (15/7).

Priharsa mengungkapkan, penyitaan dilakukan karena diduga aset-aset tersebut diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi. Namun, ia tidak menyebutkan secara detail tindak pidana korupsi apa yang dimaksud. Yang pasti, selain pemberian dari bos PT Agung Podomoro Land (APL), Ariesman Widjaja  KPK juga tengah menelusuri adanya pemberi lain.

Oleh karena itu, menurutnya, KPK sejak beberapa hari lalu melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi yang berkaitan dengan dugaan TPPU Sanusi. Beberapa saksi berasal dari swasta dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, antara lain Kepala Dinas Tata Air DKI Jakarta Teguh Hendrawan dan Kasudin Tata Air Jakarta Barat Roedito Setiawan.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, Sanusi diduga menerima gratifikasi dari vendor sejumlah proyek di DKI Jakarta. Akan tetapi, belum diketahui berapa jumlah gratifikasi yang diduga diterima Sanusi dari vendor, karena masih bisa berkembang. Diduga hasil gratifikasi itu diubah bentuk menjadi mobil, apartemen, dan rumah.

Atas penyitaan yang dilakukan KPK, pengacara Sanusi, Krisna Murti menyatakan tidak masalah. Sebab, penyitaan itu hanya untuk memudahkan penyidik dalam melakukan penyidikan. Toh, sampai saat ini, masih dugaan dan kepemilikan aset masih atas nama Sanusi. Ia mengaku memiliki bukti jika aset-aset yang dimiliki Sanusi bukan berasal dari tindak pidana korupsi.

"Setelah kita inventarisasi semua harta Bang Uci (Sanusi), sejauh ini kita tidak menemukan unsur TPPU.  Artinya, dua alat bukti yang dimiliki penyidik, diarahkan kemana, kita juga masih belum tahu. Kita lihat saja di persidangan. Tapi, yang pasti, kami tim kuasa hukum sudah menginventarisasi seluruh harta Bang Uci yang didapatkan clean and clear," ucapnya.

Adapun asal-usul aset milik Sanusi yang disita KPK, lanjut Krisna, berasal dari perolehan yang sah. Bahkan, ada beberapa mobil yang dibeli dari hasil penjualan mobil milik Sanusi sebelum menjadi anggota DPRD DKI Jakarta periode 2014-2019. Ia menjelaskan, kliennya adalah penyuka otomotif, sehingga sering menukar mobilnya dengan mobil keluaran baru.

Jadi, dari hasil penjualan mobil yang dimiliki Sanusi sebelum menjadi anggota dewan, dibelikan lagi mobil baru. Lalu, jika keluar lagi mobil baru, Sanusi kembali menjual mobilnya dan menukarnya dengan yang baru. Begitu seterusnya. Hal itu sudah dilakukan Sanusi sejak sebelum menjadi anggota DPRD DKI Jakarta hingga akhirnya ditangkap KPK.

"Kalau cerita mobil, itu sudah berganti-ganti. Tadi yang disebutkan unitnya banyak, sebenarnya bukan banyak, tetapi mobilnya sudah berganti-ganti. Artinya empat mobil ini kan dibeli baru. Kayak Alphard, Fortuner, dan lainnya. Itu kan dibeli baru, dengan mobil yang lama ditukar. Mobil yang lama ditukar, dia ambil mobil yang baru," terangnya.

Terkait dengan apartemen, Krisna meminta tidak dihubungkan dengan dugaan pemberian dari APL. Ia menegaskan, meski pengembang properti yang dimiliki Sanusi adalah APL, tetapi itu hanya kebetulan. Sanusi membeli sejumlah apartemen dari APL secara kredit. Alasan Sanusi memilih properti APL, tak lain karena prospeknya menguntungkan.

Selain itu, lanjut Krisna, Sanusi juga telah mengenal dekat Presiden Direktur APL, Ariesman Widjaja. Mengingat kedekatannya dengan Ariesman, Sanusi beberapa kali membeli properti dari APL secara indent. Sanusi mengambil properti yang memiliki posisi bagus dan menyicil pembayarannya. Setelah bangunan jadi atau 80 persen jadi, dijual lagi dengan harga tinggi.

"Setelah bangunan jadi, kan harganya mahal tuh, baru dijual.  Atau sebelum bangunan jadi, misalnya sudah 80 persen, orang beli itu dengan harga tinggi. Jadi, investasi, dia ambil untung di situ. Cuma, kebetulan produk-produknya itu pengembangnya APL. Memang yang menguntungkan saat ini kan yang orang tahu kalau pengembangnya besar, seperti APL," tuturnya.

Sebagaimana diketahui, KPK menambah sangkaan pasal TPPU untuk Sanusi. Penetapan tersangka untuk kasus TPPU ini merupakan hasil pengembangan penyidikan kasus dugaan suap berkaitan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara. Sebelumnya, Sanusi diduga menerima suap dari Ariesman sebesar Rp2 miliar.

Penerimaan uang Rp2 miliar itu diduga terkait dengan pembahasan Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil provinsi Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara. Saat ini, perkara Ariesman dan anak buahnya, Trinanda Prihantoro tengah disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Dalam kasus TPPU, anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra ini diduga melakukan perbuatan menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, atau menukarkan dengan mata uang, harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana korupsi dengan maksud menyamarkan menyamarkan asal usul harta kekayaanya.

Atas perbuatan tersebut, Sanusi dikenakan Pasal 3 atau Pasal 4 UU No.8 tahun 2010 tentang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar. Surat perintah penyidikan Sanusi  ditandatangani pada 30 Juni 2016. Hingga kini, KPK masih terus melakukan pelacakan aset-aset Sanusi. 
Tags:

Berita Terkait