Menkumham: Kekayaan Intelektual di Indonesia Masih Didominasi Asing
Utama

Menkumham: Kekayaan Intelektual di Indonesia Masih Didominasi Asing

Indonesia masih harus berjuang menghadapi tantangan globalisasi. Agenda riset nasional juga menjadi salah satu bagian penting.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Foto: RES
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Foto: RES
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, menjelaskan bahwa potensi kekayaan intelektual Indonesia cukup besar. Ia mencontohkan, Indonesia kaya akan potensi indikasi geografis terkait kekayaan alam seperti kopi, gula, teh, beras, madu, ubi, dan lada. Menurutnya, dari 43 indikasi geografis yang terdaftar di Indonesia, 39 berasal dari dalam negeri.

Yasonna yakin jika dikelola dengan baik maka kekayaan intelektual bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat direfleksikan dari tingginya sumbangsih ekonomi kreatif terhadap perekonomian di Indonesia. Dia juga mengingatkan bahwa ekonomi kreatif merupakan salah satu pasar atas kekayaan intelektual.

“Selama ini 11% perekonomian Indonesia disumbang oleh ekonomi kreatif. Bandingkan dengan industri keuangan, real estate dan jasa perusahaan yang hanya menyumbang 2% serta industri pertambangan dan penggalian yang tak sampai 1,5%. Industri komunikasi dan pengangkutan hanya berkontribusi sekitar 4%. Industri pengolahan pun hanya menyumbang 9%,” paparnya dalam Forum Kekayaan Intelektual Nasional, di Jakarta, Senin (18/7).

Yasonna mengatakan, kekayaan intelektual dapat berbicara dalam konteks ekonomi dan sosial yang dilayaninya. Tidak sekadar berkaitan dengan registrasi merek. Kekayaan inetelektual, tandasnya, dapat menciptakan hubungan yang lebih baik antara tujuan ekonomi, prioritas pembangunan, sumber daya negara dengan pemanfaatan kekayaan intelektual.

Sayangnya, Yasonna mengakui bahwa Indonesia masih harus berjuang menghadapi tantangan globalisasi. Dominasi kekayaan intelektual di Indonesia masih didominasi oleh negara asing. Ia mengilustrasikan, sekitar 58% paten yang terdaftar di Indonesia berasal dari negara lain. “Tantangan globalisasi bagi Indonesia, di bidang kekayaan inetelektual masih besar dominasi asing di Indonesia,” tuturnya.

Oleh karena itu, Yasonna berjanji pihaknya akan serius merumuskan strategi nasional kekayaan intelektual. Ia menyadari, kunci keberhasilan strategi nasional itu adalah dengan kerja sama terhadap para pemangku kepentingan. Sehingga dapat memperhatikan aspek-aspek penting yang terkait, seperti aspek kebijakan, hukum, institusional, dan sumber daya manusia.

“Kita akan menghubungkan prioritas ekonomi nasional, tujuan pembangunan dan pemanfaatan kekayaan intelektual melalui pengintegrasian bidang-bidang kebijakan publik yang relevan seperti kebijakan di bidang kesehatan, perdagangan, budaya, lingkungan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta bidang-bidang kebijakan lainnya yang relevan,” ujarnya.

Direktur Jenderal Penguatan Ristek dan Pengembangan Kemenristekdikti, Dimyati, mengatakan dirinya sepakat bahwa harus ada upaya serius dalam membuat strategi nasional terkait kekayaan inetelektual. Ia menambahkan, agenda riset nasional juga harus menjadi salah satu bagian penting. Sebab, nantinya termasuk akan melahirkan berbagai kekayaan intelektual.

“Riset dan pengembangan merupakan salah satu sumber potensial dalam menghasilkan kekayaan inetelektual. Kalau kita lihat di hampir seluruh negara maju, dukungan pemerintah terhadap riset sangat konsisten dan serius. Seperti Korea Selatan yang kemerdekaannya hanya berbeda hitungan hari dengan kita, gross expenditure untuk penelitian 24,2% GDP. Indonesia baru 0,2%. Wajar jika peran iptek dalam pembangunan ekonomi di Korsel mencapai 60%, sedangkan Indonesia baru 16%. Dengan hitungan multifactor productivity, pada tahun 2020 pun kita baru akan mencapai 20%,” katanya.

Dimyati mengatakan, pihaknya telah mencari solusi apa yang selama ini dibutuhkan peneliti. Ia menemukan, mekanisme pertanggungjawaban yang rumit dan pengajuan gagasan riset yang tidak bisa multiyears menjadi hambatan utama. Solusinya, pemerintah mengeluarkan regulasi yang memudahkan.

“Peraturan Menteri Keuangan tentang riset berbasi output sudah diundangkan. Perpres No. 25 Tahun 2010 pun sudah direvisi sehingga menjamin agar riset bisa dilakukan secara multiyears. Birokrasi diatas 200 juta yang sebelumnya harus lelang dan memakan waktu hampir satu tahun anggaran, nantinya memungkinkan untuk bisa penunjukan langsung. Peneliti di luar pemerintah juga bisa dimanfaatkan APBN. Tetapi, anggaran riset 2017 juga lebih fokus pada tema-tema tertentu sehingga tidak akan asal riset,” paparnya.

Tags:

Berita Terkait