Pemerintah Tanggapi Uji Aturan Perzinaan dan Pemerkosaan
Berita

Pemerintah Tanggapi Uji Aturan Perzinaan dan Pemerkosaan

Pemerintah meminta MK menolak permohonan ini dan menyatakan Pasal 284, Pasal 285, Pasal 292 KUHP tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Pemerintah menegaskan apa yang dipersoalkan para pemohon yang mempersoalkan Pasal 284 KUHP (perzinaan), Pasal 285 KUHP (pemerkosaan), dan Pasal 292 KUHP (pencabulan sesama jenis) tengah dalam proses pembahasan Rancangan KUHP di DPR. Perubahan RKUHP terkait pidana perzinaan, pemerkosaan, dan homoseksual ini tak hanya dalam rangka memberi perlindungan ketahanan keluarga, tetapi juga melindungi hak asasi manusia (HAM).

“Para Pemohon yang memiliki kepentingan atas substansi masalah perzinaan, pemerkosaan, dan homoseksual bisa memberi masukan baik secara lisan atau tertulis dalam revisi KUHP yang saat ini sedang dibahas,” ujarDirektur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Yunan Hilmy dalam sidang lanjutan uji materi KUHP di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (19/7).

Yunan menilai apa yang didalilkan Pemohon bukan hanya sekadar mengubah substansi ketentuan pidana perzinaan, pemerkosaan, dan homoseksual, tetapi mengarah pada perubahan sistem pidana di Indonesia yang merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang (legislative review). “Para Pemohon juga telah mengetahui adanya revisi KUHP, tetapi belum yakin karena prosesnya lama,” kata Yunan.

Dia menjelaskan pembentukan hukum positif, dalam hal ini RUU KUHP, bersumber dari teori hukum, asas hukum, norma agama, norma adat/budaya, atau sumber-sumber lain (yurisprudensi) yang semuanya dapat dikombinasikan hingga menjadi norma hukum positif. Namun, apa yang dilarang norma agama atau adat serta merta diterapkan larangan dalam norma hukum positif.

“Tidak semua larangan norma agama otomatis menjadi tindak pidana dalam hukum positif karena adopsi larangan ini harus dipublikasikan untuk mendapatkan masukan masyarakat luas agar dapat dilaksanakan dengan baik,” kata dia mengingatkan.

Hingga kini, pembahasan RUU KUHP sudah dalam masuk Tim Perumus untuk Buku I menyangkut asas, istilah atau definisi. Sedangkan Buku II dilaksanakan setelah masa reses DPR sekitar Agustus 2016. Menurutnya, apa yang dipersoalkan Para Pemohon sudah diakomodasi dalam Bab XVI RUU KUHP tentang Tindak Pidana Kesusilaan di antaranya: 1) Kesusilaan di Muka Umum; 2) Pornografi; 3) Mempertunjukkan Pencegah Kehamilan dan Pengguguran Kandungan; 4) Zina dan Perbuatan Cabul; 5) Perkosaan dan Perbuatan Cabul; dan 6) Percabulan.

Sebagai contoh, perzinaan diatur dalam Pasal 484 ayat (1) huruf e RUU KUHP, yang berbunyi “Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang saha melakukan persetubuhan dipidana 5 tahun penjara.” Dia menyarankan agar para Pemohon segera menyampaikan sumbang pemikiran terkait masalah perzinaan, pemerkosaan, dan homoseksual kepada pemerintah dan DPR. Sebab, problematika RUU KUHP tidak dapat diselesaikan secara tuntas melalui uji materi di MK.

“Untuk itu, pemerintah meminta MK menolak permohonan ini dan menyatakan Pasal 284, Pasal 285, Pasal 292 KUHP tidak bertentangan dengan UUD 1945,” harapnya.

Sebelumnya, 12 orang warga negara, Prof Euis Sunarti (Guru Besar IPB) dkk mempersoalkan aturan perzinaan (Pasal 284 KUHP), pemerkosaan (Pasal 285 KUHP) dan homoseksual (Pasal 292 KUHP). Aturan itu dinilai mengancam ketahahan keluarga di Indonesia yang pada akhirnya mengancam ketahanan nasional. Sebab, pada hakikatnya agama-agama di Indonesia melarang perzinaan di luar perkawinan (Pasal 284 KUHP), melarang pemerkosaan kepada siapa saja (Pasal 285 KUHP) dan melarang hubungan sesama jenis (Pasal 292 KUHP).

Para Pemohon meminta agar pasal-pasal tersebut dimaknai bersyarat agar sejalan dengan norma agama yang berlaku di Indonesia. Misalnya, memperluas makna perzinaan dalam Pasal 284 KUHP yang tak hanya terbatas salah satu pasangan atau keduanya terikat perkawinan (27 BW), tetapi mencakup hubungan badan dilakukan pasangan yang tidak terikat pernikahan. Sebab, secara a contrario Pasal 284 KUHP bermakna persetubuhan suka sama suka di luar perkawinan bukan tindak pidana (praktik prostitusi).

Berlakunya frasa “perempuan yang bukan istrinya” dalam Pasal 285 KUHP pun seharusnya dimaknai menjadi “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa…”. Sebab, dimaknainya frasa “perempuan yang bukan istrinya” menjadikan korban perkosaan tak hanya wanita, tetapi bisa terjadi terhadap laki-laki termasuk perkosaan terhadap sesama jenis.

Selain itu, frasa “yang belum dewasa” dan frasa “sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa” dalam Pasal 292 KUHP menunjukkan negara hanya memberi kepastian perlindungan hukum terhadap korban yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, dan tidak memberi perlindungan terhadap korban yang telah dewasa. Bagi Pemohon, tidak ada kebutuhan lain mempertahankan produk zaman kolonial selain harus ditegaskannya kembali nilai-nilai agama sebagai pedoman hidup bermasyarakat dalam hukum positif negara.
Tags:

Berita Terkait