Prasasti Engeline, Simbol Perlawanan Kekerasan Terhadap Anak
Hari Anak Nasional

Prasasti Engeline, Simbol Perlawanan Kekerasan Terhadap Anak

Kekerasan terhadap anak merupakan fenomena gunung es. Selama ini hanya dianggap sebagai permasalahan domestik atau rumah tangga, bukan dianggap sebagai permasalahan publik.

Oleh:
HAG
Bacaan 2 Menit
Prasasti Engeline di Bali. Foto: Istimewa
Prasasti Engeline di Bali. Foto: Istimewa
Menjelang perayaan Hari Anak Nasional pada 23 Juli 2013, sebuah prasasti dibangun untuk menciptakan hari tanpa kekerasan terhadap anak. Prasati yang dibangun di Bali, Rabu (20/7), itu dinamakan Prasasti Engeline. Prasasti Engeline Hero sengaja dibangun untuk menjadi sebuah simbol perlawan terhadap kekerasan terhadap anak.

“Engeline adalah simbol perlawanan yang mewakili anak Indonesia. Sengaja dibangun di Bali karena Bali lebih mudah sebagai pintu gerbang informasi dunia. Kedua karena kejadian Engeline juga terjadi di Bali dan menyedot perhatian, baik masyarakat di Bali, Indonesia maupun di dunia Internasional,” kata Arist Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak kepada hukumonline, Rabu (20/7).

Arist menjelaskan bahwa prasasti tersebut merupakan momentum untuk menciptakan gerakan nasional anti kekerasan terhadap anak. “Kita belum punya hari anti kekerasan terhadap anak, jadi kasus engeline pilihan sebagai simbol perlawan. Untuk itu, sebuah peringatan hari tanpa kekerasan terhadap anak nasional ditetapkan prasasti Engeline Hero,” ujarnya.

Awalnya, prasasti tersebut akan ditempatkan di sekitar tempat kejadian perkara pembunuhan terhadap Engeline, yakni di rumah Margriet, di Jl. Sedap Malam, Denpasar, Bali. Namun dinilai tidak layak dan tidak ada jaminan keamanan apabila prasasti tersbeut dibangun di daerah tersebut.

“Sehingga Prasasti tersebut kita letakkan di Desa Kertalangu, by pass Denpasar. Kita buat itu bersama satu lokasi gong perdamaian dunia di desa tesebut. Ini jadi destinasi wisata sehingga ketika anak-anak dari seluruh dunia datang ke Bali, ada kesan untuk mengenang Engeline dan juga untuk menetang kekerasan terhadap anak,” paparnya.

Penandatanganan prasasti ini didukung oleh pemerintah daerah, masyarakat Bali, Kapolda Bali, dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara. Muncul harapan ada usulan sebuah peraturan presiden (Perpres) khusus yang mengatur hari tanpa kekerasan terhadap anak.

Arist berharap prasasti Engeline bisa menjadi momentum agar kekerasan terhadap anak bisa segera berakhir. Pasalnya, dari tahun ke tahun jumlah kekerasan terhadap anak semakin meningkat. Kekerasan terhadap anak merupakan fenomena gunung es dan dianggap sebagai permasalahan domestik atau rumah tangga, bukan dianggap sebagai permasalahan publik.

“Dalam kasus Engeline, guru dan tetangga ingin membantu namun tidak ada niat serta kemampuan,” ungkapnya.

Meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak membuat pemerintah dan Presiden menyatakan bahwa kejahatan terhadap anak merupakan kejahatan extraordinary crime. Oleh sebab itu, Presiden telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.1 Tahun 2016, yang mana Indonesia dinyatakan darurat kejahatan seksual.

“Jadi mudah-mudahan nanti kita punya satu hari anti kekerasan terhadap anak, yang disimbolkan dengan engleine. Engeline sebagai pahlawan hari kekerasan terdahap anak, ya tanggal 20 Juli, dan dapat mengakhiri adanya kekerasan terhadap anak di Indonesia,” tutupnya.

Data Komnas Perlindungan Anak pada Desember 2015 menyebutkan, kekerasan terhadap anak sejak lima tahun terakhir mencapai 21.689.987 kasus yang tersebar di 33 provinsi dan 202 kabupaten kota. Sebanyak 58 persen dari seluruh kasus pelanggaran hak anak tersebut merupakan kekerasan seksual.

Seperti diketahui, kasus pembunuhan Engeline sempat menjadi perhatian masyarakat luas. Gadis malang berusia 8 tahun itu meninggal dengan cara mengenaskan. Engeline ditemukan tak bernyawa dengan kondisi jenazah membusuk di kediaman orang tua angkatnya, di dekat kandang ayam. Dia terbujur kaku sambil memeluk sebuah boneka.

Tags:

Berita Terkait