Tanpa Pengacara, Sri Royani Perjuangkan Constitutional Complaint
Berita

Tanpa Pengacara, Sri Royani Perjuangkan Constitutional Complaint

Majelis menyarankan materi permohonan ini ditempuh melalui mekanisme legislative review.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: SGP
Gedung MK. Foto: SGP
Wacana constitutional complaint ternyata tak hanya muncul ruang perdebatan publik, tetapi bisa saja muncul dalam ruang sidang. Ini terlihat dalam sidang pengujian beberapa pasal dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pemohon mempersoalkan kewenangan MK terutama ketika mengadili dan memutus pengujian undang-undang.

Adalah Sri Royani yang mencoba mendorong perlunya MK diberi kewenangan constitutional complaint lewat judicial review Pasal 1 ayat (3), Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 30 huruf a, Pasal 51 ayat (1), Pasal 51 ayat (3) huruf b, Pasal 51A ayat (1), Pasal 51A ayat (2) huruf b, Pasal 56 ayat (3), Pasal 57 ayat (1), Pasal 59 UU MK. Juga Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Kekuasaan Kehakiman. Pasal-pasal itu mengatur kewenangan MK termasuk proses pengujian undang-undang.

Dalam sidang pendahuluan, Pemohon tidak didampingi penasihat hukum. Sri Royani berharap agar MK bisa menjalankan kewenangan constitutional complaint ketika ada aparat/pejabat negara yang salah atau lalai menerapkan undang-undang yang berujung melanggar hak seseorang. Sebab, dirinya pernah kecewa terhadap sikap Polda Jawa Barat yang menggantungkan kasus penipuan dan penggelapan yang dilaporkan sejak 2011.

Berbagai upaya mulai mendatangi semua pejabat-pejabat kepolisian hingga mengirim surat ke Ombudsman, Kompolnas, Propam Polda Jabar, dan Propam Polda Jabar dilakukan Sri Royani. Hingga sidang kode etik dan disiplin pun sempat digelar terhadap enam penyidik.

“Ketika saya tanya kepada kanit (kepala unit—red)dan beberapa penyidiknya mengenai kelanjutan kasus ini. Seolah semuanya angkat tangan. Saya sendiri jadi bingung sampai akhirnya saya mengajukan judicial review ini,” tutur Sri Royani di hadapan Majelis Panel yang diketuai Suhartoyo.

Kasus ini berawal ketika Sri Royani membeli tanah pada seseorang bernama Yani seharga Rp800 juta. Belakangan diketahui objek tanah yang sama dijual lagi oleh Yani kepada tiga orang lain. Lalu, Sri Royani melaporkan kasus penipuan dan penggelapan ini ke Polda Jabar. Tapi penyidik menilai kasus ini kasus perdata, bukan pidana. Buktinya, ada fakta akta pembatalan jual beli yang dibuat di hadapan notaris. Namun, diduga akta tersebut palsu.

Pemohon menuding penyidik dianggap lalai karena tidak pernah melakukan upaya penyitaan terhadap akta pembatalan yang diduga palsu sebagai alat bukti; penyidik tidak mempersilahkan kepada notaris untuk memusnahkan alat bukti tersebut; dan penyidik tidak mau melakukan lab forensik terhadap akta yang diduga palsu tersebut.

“Sudah saatnya MK bisamenggunakan kewenangan constitutional complaint. Sebab, MK masih memiliki tingkat kepercayaan publik yang tinggi seperti halnya KPK,” kata dia.

Dia menjelaskan konstitusional komplain adalah upaya hukum untuk memberikan perlindungan hukum maksimal kepada warga negara yang merasa terganggu, dilanggar hak-hak dasarnya oleh pejabat negara, pejabat publik, atau putusan pengadilan. Mekanisme ini sudah diterapkan di Jerman, Amerika Serikat, Korea Selatan, Aljazair, Afrika Selatan, Australia, Spanyol, Kroasia, Prancis, Portugal, Rusia.

“Hingga saat ini MK tidak memiliki pengaduan constitutional complaint. Tentu, kewenangan inidiperlukan mengingat banyak pelanggaran hak dasar warga negara atau abuse of power oleh pejabat publik di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif,” harapnya.

Anggota Majelis Panel Wahiduddin Adams menilai permohonan ini pada dasarnya meminta ada penambahan kewenangan constitutional complaint kepada MK. Namun, dia mengingatkan penambahan kewenangan ini tetap difokuskan pada problem konstitusionalitas norma dan mengujinya dengan pasal UUD 1945. Sebab, petitum Pemohon lebih mengarah pembentukkan norma baru yakni menambah kewenangan.

“Kami sarankan, materi permohonan ini dapat ditempuh melalui mekanisme legislative review. Nah, apalagi sekarang revisi UU MK masuk dalam Prolegnas 2016. Artinya, dalam bulan-bulan ini kalau tidak mundur, Saudara bisa memberi masukan. Sebab, putusan MK tidak bisa menjadi positive legislator (menambah norma baru),” kata Adams menjelaskan.

“Kalaupun permohonan ini dikabulkan hanya menyangkut penambahan satu kewenangan saja, tetapi tidak termasuk hukum acara. Nah, nantinya hukum acara constitutional complain-nya bagaimana? Nah, kalau legislative review yang ditempuh dapat sekaligus merumuskan hukum acaranya.”

Sebagai diketahui, wacana perlunya MK diberi kewenangan mengadili perkara constitutional complaint sebenarnya sudah cukup lama muncul, bahkan sejak awal-awal MK berdiri. Dorongan agar MK diberi kewenangan ini sempat digaungkan sejumlah kalangan, tetapi terkendala dengan amandemen UUD 1945. Sebagai solusi jangka pendek, ada usulan agar kewenangan constitutitional complaint diputus melalui pengujianUU. Usulan lain, kewenangan ini mesti dikukuhkan lewat putusan MK yang nantinya dijadikan yurisprudensi.
Tags:

Berita Terkait