Terabaikan, 50 Juta Anak Indonesia Tidak Memiliki Akta Kelahiran
Hari Anak Nasional

Terabaikan, 50 Juta Anak Indonesia Tidak Memiliki Akta Kelahiran

Hanya karena masalah administrasi. Ketika Negara melakukan pembiaran terkait hal itu, maka akan terjadi hilanganya hak anak untuk mendapatkan pelayanan apapun, baik hak kesehatan, pendidikan dan hak lainnya.

Oleh:
HAG/YOZ
Bacaan 2 Menit
Contoh akta kelahiran. Foto: disdukcapil.depok.go.id
Contoh akta kelahiran. Foto: disdukcapil.depok.go.id
Akta kelahiran merupakan dokumen kependudukan yang sangat penting untuk kepastian hukum. Selembar kertas yang dikeluarkan Negara ini berisi informasi mengenai identitas anak yang dilahirkan yaitu nama, tanggal lahir, nama orang tua serta tanda tangan pejabat yang berwenang

Sayangnya, tidak semua anak Indonesia memiliki akta kelahiran alias terabaikan. Padahal, dengan memiliki akta kelahiran akan lahir hak-hak lain untuk anak. Setidaknya, ada 50 juta anak Indonesia yang belum memiliki akta kelahiran. Mayoritas hal ini disebabkan permasalahan administrasi.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait, mengatakan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, terdapat 50 juta anak Indonesia yang belum memiliki akta kelahiran. Hal ini lantaran terbentur masalah administrasi. Seharusnya, dalam membuat akta kelahiran para orang tua tidak boleh dibenturkan masalah administrasi karena anak dilahirkan bukan atas kehendaknya sendiri, sehingga anak tidak boleh menjadi korban administrasi.

“Berdasarkan data BPS, ada 50 juta anak yang belum memiliki akta lahir karena masih dibenturkan dalam pemenuhan adminitrasi,” tuturnya kepada hukumonline, Jumat (22/7).

Arist menjelaskan permasalahan administrasi tersebut di antaranya tidak ada perkawinan dan nama. Padahal, saat ini banyak anak yang tidak seperti itu. “Contohnya kawin siri. Di dalam UU tentang Administrasi Kependudukan, yang dimaksud legal adalah yang tunduk oleh negara. Kalau tidak ada itu, anak dihukum tidak dapat akta. Kalau tidak dapat akta itu sapu jagat untuk hak yang seharusnya dia yang dimiliki,” papar Arist.

Dia juga menyayangkan negara yang masih membiarkan banyak anak belum memiliki akta kelahiran. Padahal, negara harus bertanggung jawab terhadap hal tesebut. Soalnya, memiliki akta kelahiran merupakan hak yang tidak dapat dikurangi (non derogable right).

“Merujuk ke konvensi PBB mengenai hak anak yang sudah diratifkikasi pemerintah Indonesia dinyatakan bahwa akta kelahiran itu adalah bagian dari hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi. Akta adalah hak yang tidak bisa dikurangi anak Indonesia harus punya hak itu. Supaya hak itu terpenuhi, jadi kalau ada anak Indonesia tidak punya akta lahir maka hak-nya tidak dipenuhi oleh negara,” ujarnya.

Menurutnya, akan banyak dampak yang akan diderita oleh seorang anak apabila tidak memiliki akta. Kalau ada 50 juta anak yang tidak punya, kata Arist, hal itu merupakan salah satu bentuk pelanggaran negara atas anak. Ketika Negara melakukan pembiaran terkait hal itu, maka akan terjadi hilanganya hak anak untuk mendapatkan pelayanan apapun, baik hak kesehatan, pendidikan, dan hak lainnya.

”Hak atas pendidikan, hak atas makan, hak atas kesehatan yang harus difasilitasi negara, itu tidak akan bisa dipenuhi. Hak anak bermain, hak mendapat perlindungan dari kekerasan fisik maupun seksual. Hak itu adalah kunci basis dari keseluruhan. Tanpa itu hak yang lainnya akan hilang,” jelasnya.

Pengacara Publik (public interest lawyer) di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Alghiffari Aqsa, mencatat setidaknya perlindungan hak atas identitas anak diatur dalam beberapa peraturan.

UU Dasar 1945
Pasal 28B ayat (2): Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Pasal 28H ayat (2): Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Pasal 28I ayat (1): Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Pasal 28I ayat (2): Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 5 (1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.
(2) Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak.
(3) Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Pasal 52
(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.
(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
Pasal 53
(1) Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.
(2) Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraannya.
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 3
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 5 Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Pasal 27
(1) Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya.
(2) Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.
(3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran.
Pasal 28: (1) Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa.
(2) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan.
(3) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dikenai biaya.
UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik
Pasal 24
(1) Setiap anak, tanpa diskriminasi yang berkenaan dengan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, asal-usul kebangsaan atau sosial, harta benda atau kelahiran, berhak atas upaya-upaya perlindungan sebagaimana yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak di bawah umur, oleh keluarga, masyarakat dan Negara.
(2) Setiap anak harus didaftarkan segera setelah lahir dan harus mempunyai nama.
(3) Setiap anak berhak memperoleh kewarganegaraan.
Konvensi PBB tentang Hak Anak (United Nation’s Convention on The Rights of The Child)
Pasal 7
(1) Anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya, dan sejak kelahirannya berhak untuk memperoleh sebuah nama, untuk memperoleh kewarganegaraan, dan, sebisa mungkin, untuk mengetahui orang tuanya dan dibesarkan oleh orang tuanya.
(2) Negara-negara Pihak harus menjamin penerapan hak-hak ini, sesuai dengan hukum nasional dan kewajiban mereka menurut instrumen internasional yang relevan dalam bidang ini, khususnya apabila anak menjadi tanpa kewarganegaraan.
Pasal 8
(1) Negara Pihak berjanji untuk menghormati hak anak untuk mempertahankan identitasnya, termasuk kewarganegaraan, nama dan hubungan kekeluargaannya sebagaimana diakui oleh hukum tanpa campur tangan yang tidak sah.
UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
Pasal 2
Setiap Penduduk mempunyai hak untuk memperoleh:
a. Dokumen Kependudukan;
b. pelayanan yang sama dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil;
c. perlindungan atas Data Pribadi;
d. kepastian hukum atas kepemilikan dokumen;
e. informasi mengenai data hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil atas dirinya dan/atau keluarganya; dan
f. ganti rugi dan pemulihan nama baik sebagai akibat kesalahan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil serta penyalahgunaan Data Pribadi oleh Instansi Pelaksana.
Menurut Arist, normatifnya setiap penduduk mempunyai hak untuk memperoleh dokumen kependudukan dan pelayanan yang sama dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Untuk mendapatkan hak itu setiap penduduk memang perlu mengikuti prosedur dan mekanisme yang sudah ditentukan.

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang Administrasi Kependudukan tersebut, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No.37 Tahun 2007. PP itu mewajibkan setiap penduduk melaporkan setiap peristiwa kelahiran kepada instansi teknis paling lambat 60 hari sejak hari kelahiran. “Setelah mendapat laporan, biasanya petugas catatan sipil mencatatnya pada Register Akta Kelahiran. Dari situlah kemudian terbit akta kelahiran,” pungkas Arist.
Tags:

Berita Terkait