Logika Ahok, Diskresi, dan Tambahan Kontribusi yang "Ditodong" di Awal
Utama

Logika Ahok, Diskresi, dan Tambahan Kontribusi yang "Ditodong" di Awal

Tak mau berdebat soal payung hukum, penuntut umum sudah dapatkan fakta bahwa tambahan kontribusi dibayar di awal.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Logika Ahok,  Diskresi, dan Tambahan Kontribusi yang
Hukumonline
Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok memiliki logika sendiri, mengapa ia "menodong" pengembang reklamasi untuk membayar tambahan kontribusi di awal. Ahok beralasan, pengalaman masa lalu dengan PT Manggala Krida Yudha (MKY) membuatnya meminta pengembang reklamasi membayar tambahan kontribusi di awal.

Pengembang reklamasi dimaksud adalah PT Muara Wisesa Samudra (MWS) dan PT Jaladri Kartika Pakci (JKP). Keduanya merupakan anak perusahaan PT Agung Podomoro Land (APL) yang mendapatkan izin pelaksanaan reklamasi di Pulau G dan I. Ahok tidak ingin pengalaman Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dengan PT MKY pada 1997 lalu terulang kembali.

Ahok menceritakan, dahulu, PT MKY selaku pemegang izin reklamasi dan Pemprov DKI Jakarta telah membuat perjanjian, dimana PT MKY akan membangun pompa Sentiong sebagai bagian dari penataan kembali. Namun, karena pada 1998 terjadi krisis moneter, perjanjian dibatalkan, sehingga Sentiong tidak dibangun dan mengakibatkan banjir dimana-mana.

"Dulu, karena 1998 krismon, (perjanjian dengan MKY) dibatalin. Pompa sentiong tidak dibangun, sehingga banjir dimana-mana. Sejak pengalaman ini, saya  minta APL, kalian kerjakan dulu, baru saya izinkan," katanya saat bersaksi dalam sidang perkara korupsi Ariesman Widjaja dan anak buahnya, Trinanda Prihantoro di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (25/7).

Sebagaimana diketahui, Ariesman adalah mantan Presiden Direktur PT APL. Ariesman didakwa menyuap Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta  dari Fraksi Gerindra, Mohamad Sanusi sejumlah Rp2,5 miliar. Pemberian uang itu diduga terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

Ariesman diduga meminta bantuan Sanusi untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan Raperda, serta mengakomodir pasal-pasal sesuai keinginan Ariesman. Salah satu permintaan Ariesman adalah untuk menganulir atau mengubah pasal mengenai ketentuan tambahan kontribusi 15 persen yang dibebankan kepada pengembang reklamasi.

Dalam Raperda yang diajukan Pemprov DKI Jakarta ke DPRD DKI Jakarta, ada pasal yang mengatur mengenai kewajiban, kontribusi, dan tambahan kontribusi. Tambahan kontribusi dihitung sebesar  15 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) total lahan yang dapat dijual tahun tambahan kontribusi tersebut dikenakan.

Namun, sebelum pembahasan Raperda, ternyata Ahok dan PT APL telah membuat perjanjian tanggal 18 Maret 2014. Dimana, Ahok meminta pengembang reklamasi memenuhi kewajibannya terlebih dahulu, membayar tambahan kontribusi 15 persen dalam bentuk pembangunan, seperti rumah susun Daan Mogot dan pengerukan Waduk Pluit.

Perjanjian yang meminta tambahan kontribusi di awal ini akhirnya menjadi pertanyaan. Pasalnya, Raperda yang mengatur tambahan kontribusi belum disahkan. Payung hukum apa yang digunakan Ahok? Ahok pun menjelaskan dirinya menggunakan Keputusan Presiden (Keppres) No.52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara sebagai payung hukum.

Dalam Keppres No.52 Tahun 1995, ada konsideran yang berbunyi: bahwa untuk mewujudkan fungsi Kawasan Pantai Utara Jakarta sebagai Kawasan Andalan, diperlukan upaya penataan dan pengembangan Kawasan Pantai Utara melalui reklamasi pantai utara dan sekaligus menata ruang daratan pantai yang ada secara terarah dan terpadu.

Kemudian, Pasal 12 Keppres No.52 Tahun 1995 mengatur, segala biaya yang diperlukan bagi penyelenggaraan Reklamasi Pantura dilakukan secara mandiri oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta bekerja sama dengan swasta, masyarakat, dan sumber lain yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mengacu Keppres ini, pada 1997, Pemprov DKI Jakarta membuat perjanjian kerja sama dengan PT MKY untuk menata kembali daratan. Praktik tersebut diikuti oleh Ahok. Bedanya, Ahok membuat perjanjian bukan setelah izin pelaksanaan reklamasi dikeluarkan sebagaimana tahun 1997, melainkan sebelum izin pelaksanaan reklamasi diterbitkan.

Ketika disinggung mengenai Keppres No.52 Tahun 1995 yang sudah tidak berlaku lagi dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No.54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, Ahok beralasan, Perpres itu tidak mencabut kewenangan Gubernur untuk mengeluarkan izin.

Dengan demikian, Ahok menerbitkan Surat Gubernur DKI Jakarta No.2238 Tahun 2014 tanggal 23 Desember 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT MWS dan No.2269 Tahun 2015 tanggal 22 Oktober 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau I kepada PT JKP.

Sebelum izin diterbitkan, Ahok membuat perjanjian dengan PT MWS dan PT JKP. Ahok meminta pembayaran tambahan kontribusi di awal karena tidak mau mengulang kejadian dengan PT MKY. Setelah itu, ia baru mau mengeluarkan izin. "Makanya, saya bilang ga mau ketipu lagi kayak dulu. Saya ingin ada niat baik. Dia setuju kok. Boleh tanya sama Ariesman," ujarnya.

Lagipula, menurut Ahok, jika ia tidak menetapkan tambahan kontribusi bagi pengembang reklamasi, justru akan menjadi pertanyaan. Sebab, bila pada 1997 saja ada tambahan kontribusi, mengapa sekarang tidak ada? Ahok menegaskan, tambahan kontribusi itu demi kesetaraan dan mengamankan aset Pemprov DKI Jakarta.

Lantas, apa dasar Ahok menetapkan angka 15 persen untuk tambahan kontribusi? Ahok menerangkan, saat Pemprov DKI Jakarta membuat perjanjian PT MKY, memang tidak ada angka yang jelas. Oleh karena itu, ia menggunakan hak diskresinya dengan membuat angka tambahan kontribusi yang jelas untuk pengembang.

Akan tetapi, bukan sembarang diskresi. Ahok mengaku angka 15 persen didapat dari hasil kajian. Kajian itu mengacu best practice di dunia bisnis yang pernah diterapkan dalam perjanjian bagi hasil antara Ancol Barat dan BUMD. Dengan menggunakan perhitungan resmi dari appraisal itulah didapat angka 15 persen.

"Kebayang kalau saya tidak menggunakan diskresi saya untuk menetapkan angka. itu memberikan keuntungan triliunan untuk (Pemprov) DKI. Jadi, bagaimana diskresi saya dipertanyakan? Kalau saya tidak membuat diskresi, justru bapak perlu curiga sama saya, berarti ada permainan dengan pengembang," tuturnya.

Sementara, penuntut umum Ali Fikri mengatakan, mengacu keterangan Ahok, tambahan kontribusi 15 persen sudah berdasarkan kajian. Yang menarik adalah ketika tambahan kontribusi dibayar di awal. Ia berpendapat, Pasal 12 Keppres No.52 Tahun 1995 yang dijadikan Ahok sebagai dasar, keliru. Namun, ia enggan berdebat karena tidak termasuk esensi sidang.

"Tetapi, Pasal 12 itu bukan masalah tambahan kontribusi, melainkan pembiayaan oleh Pemda dan swasta. Ini kan tafsirannya, seolah-olah masalah kontribusi dan yang lainnya. Yang penting, sudah titik, bahwa betul ada pembayaran di awal. Itu jadi fakta sidang, mengenai apakah dapat dibenarkan secara hukum, itu nanti dikaji lagi," tandasnya.
Tags:

Berita Terkait