Pengujian Pemeriksaan HUM Terbuka Kandas
Berita

Pengujian Pemeriksaan HUM Terbuka Kandas

Mahkamah tetap menganggap Pasal 40 ayat (2) UU MA tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Agung. Foto: SGP
Gedung Mahkamah Agung. Foto: SGP
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima pengujian Pasal 40 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2009  tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (MA) terkait pembacaan putusan MA “terbuka untuk umum” termasuk proses hak uji materi. Alasannya, Pemohon perkara ini, Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), dianggap tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum).

“Mahkamah tidak menemukan adanya kerugian hak konstitusional Pemohon,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto saat membacakan pertimbangan putusan bernomor 92/PUU-XIII/2015 di ruang sidang MK, Kamis (28/7) kemarin.

Aswanto melanjutkan dalam persidangan Pemohon tidak dapat membuktikan FKHK mengajukan uji materil ke MA, sehingga tidak ada kerugian hak konstitusional Pemohon baik bersifat aktual maupun potensial. Dengan begitu, tidak terdapat kepentingan hukum Pemohon terhadap berlakunya Pasal 40 ayat (2) UU MA. “Telah terang tidak terdapat kerugian hak konstitusional,  sehingga Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum mengajukan permohonan ini,” tegasnya.

Kalaupun, Pemohon memiliki kedudukan hukum, Mahkamah tetap menganggap Pasal 40 ayat (2) UU MA tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sebab hakikatnya, persoalan ini sudah pernah diputus melalui putusan MK No. 30/PUU-XIII/2015 tentang pengujian Pasal 31A ayat (4) UU MA yang dimohonkan sejumlah buruh. Dalam putusan itu ditegaskan tidak ada pertentangan konstitusionalitas norma Pasal 31A ayat (4) UU MA dengan UUD 1945.

Mahkamah beralasan Pasal 40 ayat (2) UU MA tidak dapat dipisahkan dari ketentuan hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU, terutama Pasal 31A UU MA.MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang (hak uji materiil) sesuai amanat UUD 1945. Sidang pemeriksaan dan pengucapan putusannya dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum.

Pada dasarnya persidangan di MA juga bersifat terbuka untuk umum, hanya saja proses mengadili tidak melalui proses pemeriksaan menghadirkan para pihak. “Permasalahannya, apakah batas waktu 14 hari (sejak berkas diterima) dalam mengadili perkara HUM waktu yang cukup melaksanakan sidang secara terbuka seperti dilakukan MK yang tidak diberikan batas waktu?” ujarnya mengutip pertimbangan putusan itu.

Faktanya, perkara yang ditangani MA begitu banyak meliputi perkara HUM, perkara kasasi dan perkara peninjauan kembali yang membutuhkan waktu penyelesaiannya. Alasan ini menjadi kendala bagi MA melakukan persidangan yang dihadiri pihak-pihak, saksi, dan atau ahli dalam sidang terbuka untuk umum dalam perkara HUM. Jika  Pemohon mengharapkan sidang perkara HUM terbuka untuk umum dan dihadiri para pihak, MA harus diberikan waktu cukup, sarana dan prasarana memadai.

“Hal ini menurut Mahkamah merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang (open legal policy) dan bukan merupakan konstitusionalitas norma.”

Sebelumnya, FKHK mempersoalkan Pasal 40 ayat (2) UU MA terkait pembacaan putusan MA “terbuka untuk umum” termasuk HUM. Soalnya, selama ini proses sidang HUM (judicial review) di MA tidak transparan atau tertutup. Padahal, aturan itu sudah menjamin bahwa setiap putusan MA harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Menurutnya, MA sebagai judex jurist  hanya memeriksa penerapan hukumnya, tidak menggelar sidang terbuka layaknya pengadilan tingkat pertama. Namun, putusan MA juga wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Jika tidak, putusannya tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum. Pemohon meminta Pasal 40 ayat (2) UU MA konstitusional khususnya sidang HUM seharusnya dimaknai seperti sidang di MK.
Tags:

Berita Terkait